Tak dipungkiri, banyak aspirasi
dan masukan dari masyarakat mengenai isu lingkungan ataupun permasalahan
sampah.
Ketua DPRD Kota Bandung Asep
Mulyadi mengungkapkan hal tersebut cukup beralasan, sebab ada kekhawatiran Kota
Bandung darurat sampah jilid kedua, menyusul kondisi kritis di tempat
pembuangan akhir (TPA) Sarimukti dalam dua minggu terakhir.
sampah di kota Bandung |
“Memang terkait ini (sampah) salah satu isu lingkungan yang juga banyak aspirasi ke kami di dewan. Karena sampah ini bisa jadi kawan bisa jadi lawan. Ya, kalau kita bisa menjadikan bahwa sampah itu kita kelola dengan baik bisa jadi kawan bahkan bisa menghasilkan. Sebaliknya ketika kita tidak kelola dengan baik maka (sampah) bisa jadi lawan kita,” terang Kang Asmul biasa disapa.
Kang Asmul akui, Kota Bandung
pernah mengalami darurat sampah, sehingga sampah numpuk dimana-mana, di jalanan
hingga setiap sudut kota.
“Hari ini ketika kita bicara
sampah memang tidak bisa dikelola hanya oleh Kota Bandung saja. Tentu
dibutuhkan keterlibatan atau partisipasi daerah lainnya. Intinya untuk tempat
pembuangan sampah pasti melibatkan kota kabupaten lain. Makanya kita bicara tentang
cekungan Bandung, tak hanya Kota Bandung tetapi kita bicara tentang Kota
Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung Barat, dan Sumedang juga,”
jelasnya.
Menurutnya, mau tidak mau harus
ada alternatif lain ketika sampah sudah berat masuk atau overload ke Sari
Mukti.
“Menyikapi itu, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat harus menyiapkan lahan, karena tadi ini urusannya bukan
sekedar Kota Bandung, tetapi ada kota dan kabupaten lain yang memiliki masalah
dan dampak yang sama. Maka peran di situ kehadiran Pemerintah Provinsi Jawa
Barat untuk menanggulangi, menyediakan tempat itu, harus segera dilakukan,”
katanya.
Disamping itu, lanjut Kang Asmul,
kota kabupaten termasuk kota Bandung juga harus mampu mengurangi buangan sampah
bahkan idealnya yang dibuang itu sebetulnya cukup hanya sampah non organik.
“Kita harus mengupayakan sampah
organik itu selesai di setiap kota kabupaten. Masing-masing tentunya ada proses
untuk memilah sampah organik dan non organik. Seperti di Kota Bandung melalui
kang pisman,” ujarnya.
Kendati demikian, dirinya
memandang bahwa untuk mengedukasi masyarakat terkait pemilahan sampah butuh
waktu.
“Mengedukasi dan memberikan
pencerahan pada masayarakat memang perlu proses, dimana disitu ada proses
perubahan budaya prilaku dan sebagainya. Tapi kalau itu dilakukan dengan serius
dan sungguh-sungguh secara terencana dengan baik maka mungkin saja bisa direalisasikan,”
tuturnya optimistis.
Penanganan pun dimungkinkan bisa
dilakukan kerjasama dengan pihak swasta. Apalagi, lanjutnya, ke depan tidak
cukup sampah itu dikumpulkan dan dibuang.
“Sampai kapanpun tidak akan
selesai kalau dikumpulkan dan dibuang. Dulu sudah ada program namanya misalnya
Kampus Manis, bagaimana masyarakat dididik untuk pengolahan sampah. Dan
pengolahan itu kemudian dimanfaatkan. Nah hari ini juga Alhamdulillah sebetulnya
pemerintah kota sudah berupaya terus semisalnya bikin tempat pembuangan
sementara yang lebih terpadu. Memisahkan mana sampah organik dan unorganik.
Lantas yang organik didaur ulang hingga ya macam-macam. Ada juga sistem
magotisasi,” urainya.
Pengelolaan pun bisa dilakukan
dengan melibatkan kewilayahan, tetapi dirinya menilai kewilayahan itu tidak
cukup hanya diinstruksikan tetapi butuh pula didukung dengan anggarannya.
“Mereka (pemerintah wilayah) juga
harus disupport dengan anggaran. Contoh nih di wilayah itu mereka misalnya
bikin magotisasi, dan mereka akan bersemangat kalau bisa menghasilkan.
Magotisasi bisa menghasilkan buat pakan ikan, bisa juga untuk tanaman dan sebagainya.
Kan kalau itu menjadi daur ulang, itu manfaatnya akan lebih besar,” jelasnya.
Untuk mengelola ini diperlukan
keseriusan semua stakeholder, butuh juga kerlibatan dan kerjasama pentahelix
termasuk peran pers di dalamnya untuk memberikan penyadaran kepada warga.
“Kita sadari, isu lingkungan ini
merupakan tantangan bagi kita. Kita berharap semoga segera tertangani dengan
baik,” pungkasnya.
0 Komentar