Jarang Tersorot, Banjir di Kewilayahan Pun Harus Jadi Perhatian Pemerintah

 

Anggota DPRD Kota Bandung Sani Muharam mengatakan salah satu masalah yang kerap menjadi sorotan di Kota Bandung adalah banjir. Namun dari hasil evaluasi bersama instansi terkait, banjir yang sering menjadi perhatian adalah banjir yang ada di jalan protokol.

“Sementara banjir yang ada di kewilayahan kurang terpublikasikan. Padahal Sebagian masyarakat itu merasakan dampak banjir kewilayahan. Dan saya lihat juga anggaran untuk ini minim,” ungkap Sandi.

“Anggaran untuk (perbaikan, red) drainase kewilayahan juga muncul ketika reses-reses dewan. Karena kita reses di kewilayahan di tingkat RT/RW, barulah muncul soal banjir di kewilayahan,” sambung politisi PKS ini.

H. Sandi Muharam

Pihaknya, kata Sandi, tentu akan melakukan advokasi terkait hal ini pada dinas terkait. Advokasi ini disampaikan melalui pokok-pokok pikiran dewan, ketika penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Biasanya pokok pikiran ini muncul dari ajuan-ajuan masyarakat, salah satunya reses. Dari sini baru kita tahu bahwa banjir di kewilayahan. Pemerintah sendiri kadang-kadang luput perhatiannya pada banjir kewilayahan ini,” katanya.

Lebih lanjut Sandi mengatakan, banjir di kewilayahan ini juga bentuk dari kekumuhan. Hal ini bisa terjadi karena drainase tidak ada, atau drainase ada namun kurang berjalan baik atau di atasnya terdapat bangunan. Karena ada pula warga yang mendirikan bangunan di atas drainase, sehingga membuat saluran air tak maksimal.

“Tanggungjawab kekumuhan ini di pemerintah. Kalau pun ada warga menutupi drainase, yang punya hak membongkarnya adalah pemerintahan, sementara warga lain, enggak punya kewenangan. Jangankan warga, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman pun enggak punya kewenangan membongkar, harus Satpol PP karena ini pelanggaran Perda,” jelasnya.

Sandi mengatakan, dirinya pernah menjadi wakil ketua pansus rancangan peraturan daerah penanggulangan kawasan kumuh tahun 2019. Dimana suatu pemukiman masuk dalam kriteria kumuh, misalnya bila ada rumah kumuh, tidak ada sarana air bersih, tidak ada sarana untuk penanggulangan kebakaran, banjir, dan genangan.

“Bilangan ada Perda, pemerintah wajib secara khususnya itu adalah menghilangkan kawasan kumuh di permukiman,” ungkapnya.

Menurutnya, Perda ini sudah berjalan, Cuma gregetnya masih kurang. Dul pernah ada program Kotaku yang berasal dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan persoalan kawasan kumuh. Lewat program ini, maka persoalan yang ada di sebuah RW seperti masalah air, jalan lingkungan, perumahan dan lainnya diselesaikan secara luas.

“Dulu Bandung itu termasuk kota besar kedua yang memiliki kawasan kumuh cukup luas di Indonesia. Tapi sekarang belum ada report-Nya lagi. Makanya dulu saya mengusulkan program untuk penanganan kawasan kumuh, misalnya dari nasional daerah mana, dari provinsi dan kota,” ungkapnya.

Untuk Kotaku, ungkap Sandi, program itu berhenti saat pandemi Covid-19 melanda. Padahal, program ini bisa menghilangkan kekumuhan di sebuah tempat. Sandi pun sempat berkomunikasi dengan sekretaris daerah secara informal terkait masalah ini.

Namun saat itu, semua pembangunan diarahkan pada pemulihan ekonomi akibat Covid-19. “Saya pun sampaikan pemulihan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja dengan padat karya. Nah biasanya, penanggulangan kawasan kumuh itu dengan padat karya. Saya dengar yang melakukan pembersihan gorong-gorong adalah warga setempat. Jadi di satu sisi pembangunan berjalan dan ada penyelesaian soal lingkungan, dan di sisi lain warga dapat penghasilan," ujarnya.

Melalui program padat karya, imbuh Sandi, masalah seperti drainase yang kurang optimal atau sampah yang menumpuk bisa diselesaikan. Selain program pembangunan, edukasi soal lingkungan dan sanksi terhadap pelanggar harus selaras.

Untuk edukasi dan penyadaran, lanjutnya, pernah dibahas juga. Salah satu upayanya dengan merekrut tokoh-tokoh setempat baik tokoh agama, tokoh masyarakat yang disegani, RTRW.

"Untuk sanksi harus ada, tapi landasan hukum atau aturannya harus jelas. Semua aturan memang harus ada sanksi karena orang itu ada kecenderungan melanggar. Makanya harus ada sanksi, tapi harus proporsional," ungkapnya.

Selain banjir, ujar Sandi, sampah pun menjadi masalah di Kota Ban- dung. Karena masih ada warga yang membuang sampah sembarangan, termasuk ke sungai. Untuk menangani masalah ini, maka kesadaran warga harus dibangun dan aturan pun harus ditegakkan.

"Menyelesaikan sampah ini tidak sederhana. Jadi pemerintah harus secara kuat melaksanakan program 3R (reuse, reduce, dan recycle) atau kang Pisman," ungkapnya.

Sandi mengatakan, dirinya termasuk dalam lingkungan yang orang-orangnya itu susah memilah. Karena juga banyak masukan dari warga dimana sampah sudah dipilah, tapi saat masuk ke TPS disatukan lagi.

"Karena belum ada tempat untuk sampah basah kemana atau sampah kering ke mana. Kalau sampah keringsebagian bisa dimanfaatkan, jadiyang dibuang itu hanya yang tidak termanfaatkan lagi seperti botol bekas atau Pampers," ungkapnya.

Menurutnya, program Kang Pisman ini belum merata berjalan, hanya di sebagian tempat. "Jadi belum tuntas masalah Kang Pisman ini. Jadi konsepnya sudah bagus, cuma penyelesaian secara teknis atau praktiknya belum tuntas," ungkapnya.

Namun, diakuinya, kunci terbesar dari penyelesaian sampah di Kota Bandung adalah Kang Pisman karena Kota Bandung tidak memiliki TPA mandiri. Karena itu membangun kesadaran masyarakat sangat penting.

Setelah Kang Pisman, kata Sandi, diperlukan lahan dan teknologi yang tepat. Karena dari program Kang Pisman ini, ada sampah organik yang bisa dijadikan magot atau pupuk organik yang tentunya perlu lahan. Kemudian, sampah anorganik yang harus diolah atau dimanfaatkan kembali, dan tentunya memerlukan teknologi yang tepat.

"Kota Bandung lahannya terbatas, tapi dengan teknologi yang tepat bisa diselesaikan. Kemarin juga di Banyumas seperti itu, setelah sampah dipilah, disimpan di lahan tertentu dan diolah dengan teknologi yang tepat," tuturnya.




Ahmad Farid Fakhrullah

Posting Komentar

0 Komentar