Aleg FPKS Komisi X Ingatkan Dua Masalah Terkait Mandatory Spending Bidang Pendidikan

 

Ledia Hanifa

Pembahasan awal penyusunan RAPBN 2022 sudah dimulai saat Pemerintah menyampaikan keterangan tertulis terkait Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Tahun 2022 dalam Rapat Paripurna DPR-RI Masa Persidangan V awal pekan lalu.

 

Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dalam tanggapannya mengingatkan bahwa hasil pembahasan dokumen KEM-PPKF Tahun 2022 akan menjadi dasar penyusunan RAPBN Tahun 2022 sehingga harus benar-benar dicermati secara mendalam. Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa APBN disusun sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi.

 

Dıantara sekian banyak catatan darı Fraksı PKS salah satu penekannya adalah soal anggaran Pendıdıkan yang merupakan satu mandatory spending atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh Undang-Undang, di mana  Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib megalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4).

 

Dua puluh persen anggaran APBN ini tentu merupakan angka yang besar dan semestinya dapat mendorong meningkatnya kuantitas dan kualitas modal insani bangsa Indonesia. Pendidikan yang bermutu tentu akan mendukung tumbuhnya generasi unggul yang pada akhirnya akan mendorong kemajuan Bangsa Indonesia di masa datang.

 

Namun, hingga saat ini masih ada dua persoalan utama yang menurut anggota komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah harus segera dicari solusi perbaikannya oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

 

Pertama soal belum tercapainya 100% kepatuhan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewajiban mengalokasikan 20% dana APBN untuk lingkup pendidikan. Hingga saat ini, masih terhitung ratusan Kota/Kabupaten yang belum memenuhi kewajiban tersebut atau setidaknya tidak secara utuh menganggarkan dana APBD mereka untuk kebutuhan 20% dana pendidikan.

 

“Amanah UUD 1945 menegaskan kewajiban menganggarkan 20% dari APBN dan APBD untuk lingkup pendidikan. Namun memang tidak banyak yang sudah sepenuhnya memenuhi ketentuan tersebut. Sebagian besar daerah tidak bisa memenuhinya, bahkan yang menunjukkan anggaran 20% untuk pendidikan pun banyak yang menganggarkan sesudah ada transfer daerah dari pusat. Artinya adalah, anggaran ini sebenarnya tidak murni penganggaran dari APBD melainkan masih tergantung pada suntikan dana pusat.” kata Ledia mengkritisi.

 

Belum teralokasinya anggaran pendidikan sesuai amanah UUD ini tentu menjadi salah satu penghambat pembangunan bidang pendidikan, baik untuk persoalan peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun penyediaan sarana prasarana penunjang pendidikan.

 

Kedua, pemanfaatan alokasi anggaran pendidikan yang ada pun ternyata belum tercermin pada peningkatan mutu kualitas pendidikan maupun peningkatan kualitas sarana prasarana pendidikan.

 

“Penganggaran 20% APBN dan APBD untuk dana pendidikan ini besar sekali. Tetapi berdasarkan laporan BPK, sebagian besar alokasi anggaran pendidikan ini nyatanya habis terserap untuk belanja pegawai. Bahkan ada yang lebih dari 90% anggaran pendidikannya habis untuk keperluan penggajian.” lanjut Ledia

 

Padahal peningkatan kualitas baik SDM, kurikulum serta sarana prasarana penunjang sangat dibutuhkan untuk memastikan terjadinya peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.

 

“Pelatihan guru, penyiapan kurikulum dan bahan penunjang pembelajaran, pendampingan siswa, pada akhirnya menjadi prioritas kesekian pada banyak sekolah. Begitu juga ketersediaan kelengkapan sekolah seperti toilet yang memadai, ketersediaan air bersih dan sarana sanitasi lain,  perpustakaan, laboratorium, lapangan, ruang ibadah masih banyak yang belum bisa memenuhinya. Bahkan data BPS 2020 menunjukkan lebih 70 % sekolah dari tingkat SD hingga SMA punya masalah dengan ruang kelas atau sekolah rusak, dari skala ringan hingga berat. Kalau anggaran APBD habis lebih banyak pada belanja pegawai, maka persoalan sekolah dengan ruang rusak atau sarpras minimalis tentu semakin berat untuk diatasi.”

 

Karena itulah maka PKS meminta Pemerintah lebih ketat melakukan kontrol, pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan mandatory spending, khususnya di bidang pendidikan.

 

“Kita sama berharap bahwa kewajiban penganggaran 20% dana APBN/APBD ini benar-benar bisa terlaksana dan terserap untuk menjamin peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Baik dalam hal peningkatan kualitas SDM hingga perbaikan sistem pendidikan yang tercakup di dalamnya perbaikan kurikulum, bahan dan alat ajar serta terpenuhinya sarana prasarana pendidikan secara cukup, berkualitas dan terawat.”

 

Hj. Ledia Hanifa Amaliah, S.Si, M. Psi.T

Anggota Fraksi PKS DPR RI/ A-427

Komisi X: Pendidikan, Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Pemuda dan Olahraga

 

Posting Komentar

0 Komentar