Lulusan yang memiliki link and match dengan dunia kerja menjadi fokus pengembangan pendidikan vokasi dalam tiga tahun terakhir.
Dengan menumpukan kegiatan pendidikan 70% di lapangan dan 30% persen di kelas
diharapkan mampu menelurkan lulusan pendidikan vokasi yang lebih terampil di
dunia kerja. Sayangnya fakta menunjukkan bahwa lulusan SMK, salah satu sekolah
dengan sistem pendidikan vokasi, justru menyumbang angka pengangguran tertinggi
di negeri ini.
“Fakta
ini menunjukkan masih ada ketimpangan dalam konsep link and match antara dunia sekolah dengan dunia usaha dan dunia
industri. Padahal sistem pendidikan vokasi sudah mengakomodir 70% praktek
lapangan dan 30% teori. Artinya masih ada yang tidak klop dengan konsep link and
match ini, bisa dari soal kerja lapangannya, tenaga kependidikannya maupun
dari kurikulumnya,” kata anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah
Ledia
menguraikan, meskipun 70% waktu siswa digiatkan dalam kerja praktek lapangan
namun pada kenyataannya masih banyak perusahaan mitra yang memperlakukan siswa
hanya sebagai helper, bukan sebagai
siswa magang yang tengah memenuhi target kerja sesuai kurikulum.
“dari
berbagai masukan dan serap aspirasi terungkap kalau Dunia Usaha dan Dunia Industri
(DUDI) yang menjadi mitra sekolah kerap
hanya menjadikan anak-anak magang sebagai helper,
tenaga bantu-bantu di beberapa unit. Kadang bahkan tidak berkesuaian dengan
rencana ajar, yang penting magang. Padahal siswa magang seharusnya memiliki
rencana, target dan evaluasi pencapaian yang ditentukan dan terukur, serta
sebelum magang antara sekolah dengan mitra DUDI sudah ada kesepahaman akan
rencana, target dan evaluasi pencapaian praktek lapangan dari siswa tersebut.”
Soal
kompetensi guru juga diingatkan oleh Ledia. “Guru yang mengajar pada sekolah
vokasi perlu ditingkatkan keahliannya, diantaranya dengan memastikan mereka
memperoleh pelatihan yang tepat sampai memiliki sertifikat kompetensi yang
sesuai dengan bidang ajar.”
Sebab
hampir semua sekolah vokasi memiliki jumlah guru yang cukup untuk mengajar
tetapi ternyata banyak diantara para guru ini belum memiliki sertifikat
kompetensi yang berkesesuaian. “padahal logikanya kalau siswa didorong untuk
menjadi terampil dan ahli tenaga pengajarnya harus lebih terampil dan ahli dong. Salah satunya ya dibuktikan dengan
sertifikat kompetensi yang dimiliki,” katanya
Lebih
lanjut aleg Fraksi PKS ini meminta implementasi kurikulum sekolah vokasi juga
perlu pula diawasi dan dievaluasi secara berkala. Sebab kalau kurikulumnya
sudah menitikberatkan pada soal ketrampilan, keahlian, link and match, maka pencapaian ketrampilan minimal dan kompetensi
minimal dari setiap siswa dapat harus dilihat secara terukur. Sebelum magang,
sesudah magang, selama di sekolah, semua pencapaian pemahaman teori dan
ketrampilan peserta didik harus terukur sesuai dengan kurikulum yang ada.
Apakah akan melibatkan DUDI? “Bisa saja, ini artinya sekolah pun perlu proaktif
membangun komunikasi dengan mitra DUDI agar terjadi implementasi kurikulum
dengan kebutuhan link and match yang
tepat.”
Terakhir
aleg dapil Kota Bandung dan Cimahi ini juga mengingatkan pemerintah agar
memastikan koordinasi yang sinergis antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk
mewujudkan program revitalisasi pendidikan vokasi yang link and match dengan DUDI. “Sebab dunia usaha itu kan berada di
bawah tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota, tanggungjawab SMK berada di
tangan Pemerintah Propinsi sementara Politeknik berada di bawah tanggung jawab Pemerintah
Pusat. Maka kalau satu sama lain kurang lancar ngobrolnya, koordinasinya dan belum satu visi misinya soal
penguatan link and match pendidikan
vokasi dengan DUDI ke depannya tentu pengokohan SDM unggul pun bisa terhambat”
0 Komentar