By
: Miarti Yoga
(Bidang
Seni Budaya DPD PKS Kota Bandung)
Hingga kini, pesimisme masih
menggejala pada masyarakat bangsa kita. Cemas yang bertubrukan dengan targetan,
lelah yang bergesekan dengan impian, semua beradu menjadi rangkaian bahkan
mungkin gulungan masalah.
Padahal solusi sederhana dari
sekian masalah yang ada adalah dengan cara menguraikan dan mengeksekusinya satu
demi satu. Oleh karenanya, bediam diri tak kan pernah hadirkan solusi. Pun
dengan cara menyalahkan orang lain atau dengan cara menyesali kesalahan atau
kekurangan diri. Bukan solusi yang didapat, melainkan kerumitan hati yang kian
hari kian bertambah.
Sementara, hakikat dari semua
masalah yang mengemuka adalah fitrah. Fitrah setiap manusia. Bahkan Allah telah
begitu terstruktur mengemas skenario kehidupan kita, mulai dari kerumitan
tingkat wajar hingga kerumitan yang sangat dramatis. Dan Al-Qur’an pun
mengingatkan kita terkait hal ini. “Dan Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Dalam pepatah Sunda, ada sebuah qoute yang sangat familiar; “Cikaracak
ninggang batu, laun-laun jadi legok”. Kurang lebih, definisinya adalah bahwa
sesulit apapun sebuah masalah, seberat apapun sebuah beban, seburuk apapun
mental atau tabiat seorang, pada dasarnya bisa berubah. Yang keras bisa
melunak, yang berat bisa menjadi ringan, yang kusut bisa terurai.
Dengan langkah apakah perubahan
itu dapat mewujud? Perubahan itu dapat mengemuka dengan bekal komitmen.
Komitmen yang dibuktikan dalam bentuk konsistensi. Bukan komitmen yang
dicederai dengan penolakan atau penundaan.
Mungkin kita bisa berkaca pada
kisah Ka’ab. Beliau mengesampingkan keharusan untuk sigap menuju tabuk. Lalu
berdiam sementara waktu hingga tertinggal jauh dari pasukan yang dipimpin
langsung Rasuullah Saw. Alhasil, Ka’ab luput dari gempita peperangan. Ka’ab
menjadi minoritas yang tertinggal dari kebersamaan berjuang.
Satu kunci yang seringkali
terlupakan adalah pengolahan kata. Mengapa pengolahan kata dan ada apa dengan
pengolahan kata? Kata-kata yang baik adalah untuk kehidupan yang lebih baik.
Bahkan hanya dengan mengubah kata dari buruk menjadi baik, sesungguhnya hal
demikian adalah proses perubahan kehidupan. Singkatnya, mengubah kata berarti
mengubah kehidupan. Karena logikanya, persepsi adalah proyeksi (perseption
is projection) . Jika prsepsi kita adalah “mampu”, maka proyeksinya pun
demikian. Sebaliknya, jika kita berpersepsi buruk, maka demikianlah proyeksi
yang mengemuka. Dan di sinilah keyakinan kita diuji. Apakah akan berkata “bisa”
atau justru melemas sambil berucapa “tak berdaya”.
Sekian pesan tersirat dapat kita
tafakkuri dari pepatah Cikaracak Ninggang
Batu.
1.
Berpersepsilah dengan baik. Karena inilah yang
akan menguatkan yakin. Persepsi pulalah yang akan mendongkrak kesiapan diri
untuk berbuat dan bertindak.
2.
Berikan ruang husnudzhan pada orang-orang
sekitar. Pada anak, pada murid, pada tetangga, pada pegawai atau karyawan, pada
tim di organisasi, atau pada orang-orang sekitar yang memiliki hubungan dengan
kita, baik hubungan emosional, hubungan profesional dan hubungan transaksional.
Positiflah dalam mematok sudut pandang. Jika mereka terlihat kurang meyakinkan
dari sisi tampilan, maka belum tentu demikian dengan kompetensinya. Jika
diantara mereka belum juga menunjukkan kemajuan, maka evaluasi adalah jalan
kebaikan.
3.
Mulailah bergerak dengan apa yang kita mampu dan
dengan apa yang bisa kita persembahkan.
4.
Konsistenlah dalam kebaikan. Hindari langkah
emosional yang yang membuat jiwa kita rentan dari sikap jenuh dan sikap
defensif. Bekerjalah dalam takaran yang imbang. Hindari gelombang mood yang sangat merugikan.
5.
Tetaplah dalam permohonan terbaik. Tak ada yang
mampu kalahkan dahsyatnya do’a. Nikmati layanan waktu terbaik untuk kita
berdo’a sepuas hati.
6.
Yakinkan diri bahwa semakin ikhtiar kita
koheren, maka hasilnya pun tentu akan jauh lebih memuaskan. Biarkan kita
tersenyum takjub atas effort yang
kita hadiahkan.
Mari terus berkarya. Terus berbuat. Bismiilah.
0 Komentar