Mukhoyyam, Selaksa Kisah Tak Terlupakan (Part III-habis)




Menit demi menit kami lalui bersama, tidak ada jeda untuk berleha-leha. Tidak ada waktu menyentuh gadget karena semua diambil panitia. Semua terpatri pada aktivitas yang tiada henti, meletihkan, menantang, berbagai kekonyolan pun kerap kali terjadi. Tapi semua itu berada dalam selimut ukhuwah. Bagaikan tegap langkah para pejuang yang selalu bergelora dalam ghiroh tiada tara. 

Kedisiplinan waktu terus ditempa, peluit panjang tiga kali pertanda kami harus kembali ke lapangan. Tak peduli peserta sedang memasak mie instan, tak peduli peserta sedang merebahkan raga barang sebentar, kalaulah peluit panjang sudah menggema semua aktivitas harus dihentikan. Begitulah dalam kehidupan sehari-hari semua kader diharapkan menghentikan segala aktivitas di kala panggilan dakwah memanggilnya. Di kala lelah datang, rasa letih meringkih ke sanubari, namun semangat dalam jiwa meluluh lantakkan rasa lelah. Karena kelelahan yang kami rasakan serta merta berlanjut dengan derap semangat ini. Senyum semangat selalu hadir dari saudara-saudara seperjuangan, kehangatan yang diselimuti balutan ukhuwah menjadi obat sehingga semangat terus bergelora hingga pada tujuan akhir. Ya, masih terngiang kata-kata para qiyadah, 'mukhoyyam tak akan tergantikan. walaupun dengan kegiatan tarbawi apapun', dan aku sempat berpikir infak yang hanya Rp. 150.000 sepertinya tak akan sanggup bila ditimbang dengan besarnya sensasi cinta sang mukhoyyam ini.

Mukhoyyam ini tak bisa diganti dengan mabit ataupun liqa tiap malam sekalipun. Karena disana banyak hikmah yang tak bisa diumbar oleh cerita atau rangkaian kata-kata indah sekalipun. Waktu 36 jam yang dikorbankan sehingga jauh dari keluarga tercinta telah berkisah banyak karena cinta yang terus tumbuh. Sederet fakta yang menyentuh segala lini. Bukan saja memperkuat ketahanan fisik atau jasadiyah, bukan juga untuk menguatkan fikriyah, bukan pula untuk mempertajam ruhiyah. Tapi mukhoyyam telah menghujam ke segala arah, yaitu jasadiyah, fikriyah dan ruhiyah. Di tengah kesibukan yang padat, bagaimana caranya kami harus qiyamullail serta menuntaskan tilawah satu juz. Hanya menggunakan headlamp yang cahayanya kadang meredup, mata ini berusaha menuntaskan kewajiban ini. Hal ini aku maknai, bahwa dalam jalan dakwah yang panjang ini kita harus pandai menuntaskan tugas dalam keadaan keterbatasan apapun.


KUREGUK CINTA DI PUNCAK MANGLAYANG

Jalan panjang berkelok nan sempit disertai onak dan duri. Sesekali keterjalan tak bisa dihindari,semua harus dilalui. Tangan harus kuat mencengkram, pijakan kaki haruslah kokoh. Alhamdulillah dalam hal ini aku tak mengalami kesulitan, mungkin karena persiapan berhari-hari yang kulakukan sehingga kendala yang ada dapat diatasi. Sesekali batin menerawang, 'barangkali perjalanan seperti ini dilakukan para pendiri negeri ini. Mereka bersusah-susah di hutan dengan perlengkapan seadanya', bahkan lebih jauh lagi aku membayangkan betapa terjal dan kerasnya medan yang dilalui Rasul dan para sahabatnya. Aaaaaaaah..... mimpinya rasanya, kalau hal secuil ini dibandingkan dengan mereka. Ini tak seberapa, ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan gelora juang mereka.

Semakin kami melangkah semakin terasa batin ini terseok-seok. Mata memandang jauh ke bawah, hamparan kota Bandung yang indah dari kejauhan laksana melambai penuh harap ingin dibelai sentuhan dakwah para kader.
Sementara di hadapan kami jalan panjang masih menanjak dibarengi terik mentari yang sungguh jadi rayuan hebat untuk mundur melangkah pulang.
Barangkali dari kisah sahabat Rasul yang kemudian mundur hanya gara-gara tak mampu melewati ujian yang padahal ujian tersebut bisa dilewati hanya atas dasar cinta.
Ya... aku pahami bahwa Jalan panjang ini harus dilalui biarpun cobaan terus menghadang.
Dan semua ini bisa dilewati dengan manis kalau ada cinta di dalam dada. Cinta karena Alloh yang akan melahirkan sensasi yang luar biasa.
Tekanan mental dari panitia yang mengusik emosi disertai kekesalan bahkan timbul rasa benci semua bisa diatasi karena ketulusan hati dan lurusnya niat dari awal.

Sahabatku yang tercinta, sampai disini aku berkisah yang hanya mengalir begitu saja. Mukhoyyam pun telah berlalu dan hari-hari kami kembali kepada kehidupan semula. Kemanjaan yang diberikan sang isteri yang membuat hati ini nyaman. Tidak ada aturan panitia yang memaksa, tidak ada sirine panjang yang membuat kesal tidur kami. Tapi, semua ini hanya membuat busur tanda tanya. Akankah kenyamanan ini bisa menuntaskan tilawah satu juz per hari, akankah kehidupan asli ini bisa menambah semangat dalam memenuhi panggilan dakwah? Atau akan menjadi segudang alasan untuk menjawab panggilan dakwah?

Ya Rabbana, Jadikanlah rangkaian kegiatan kami mendapat ridhoMu. Jadikanlah mukhoyyam yang indah ini akan menjadi kenangan yang menggugah semangat kami. (Kang Tiesna)

Posting Komentar

0 Komentar