Ironi Aktivis Islam, Minggir, dipinggirkan dan terpinggirkan



oleh : Mang Hadi
Percayalah, jika anda pernah merasakan rezim Orde Baru, akan berpikir dua kali jika memfatwakan bahwa menjadi golput itu adalah pilihan yang heroik. Hanya karena perpolitikan belum ideal, golput jadi pilihan? saya kira itu terlalu naif. Jika negara represif kepada oposisi, dan parpol serta PEMILU yang JURDIL di zaman ORBA hanya dagelan semata, maka Golput waktu itu menjadi pilihan yang masuk akal. Golput jadi bernilai heroik karena, siapapun yang golput dan mengajak golput pasti dicokok oleh aparat dengan alasan subversif.
Zaman ORBA umat Islam dipinggirkan secara politik. KArena, kalaupun ada partai Islam waktu itu, hanyalah buah semangka berdaun sirih, atau seperti semangka kuning, di luar hijau di dalam kuning. Jangan harap ada ustadz lulusan pesantren yang jadi bupati, gubernur atau presiden. Yang ada ummat Islam harus satu suara, dengan pemerintah. Menuntut ditegakkan syari'ah sambil berdemo? sama saja dengan bunuh diri.
Terpinggirkan? sudah pasti. 
Kini, saat ada peluang Umat Islam eksis secara politik, masihkah jiwa terpinggirkan ada didalam benak kaum muslimin?. Disaat kaum nasionalis, dan non muslim semangat untuk eksis dalam mengelola negara, justru umat ISlam terpecah antara ikut atau golput, dengan kadar keharaman yang nyaris sama. 
Haruskan kita MINGGIR justru disaat ada peluang untuk melakukan perubahan? betul tidak dan belum ada yang ideal dari parpol Islam, tetapi itu bukan alasan untuk meninggalkan peluang ini. Sampai kapan kita terus terpinggirkan? hanya saat inilah parpol ISlam betul-betul diperhitungkan. 
Apakah anda memilih dipinggirkan, terpinggirkan atau MINGGIR?... dalam agama aja tidak ada paksaan, apalagi dalam pemilu. tapi setiap pilihan pasti ada konsekuensinya

Posting Komentar

0 Komentar