Tanggapan Dewan Soal Jalan Tol Dalam Kota, Perlu Solusi Jangka Panjang

 

"Bandung macet, apalagi kalau weekend". Keluhan klasik ini sering keluar dari masyarakat Bandung dan sekitarnya, juga kerap dilontarkan oleh orang-orang dari luar kota.

Hal tersebut mungkin baru terjadi dalam kurun 1 dekade terakhir ketika kawasan Bandung makin berkembang signifikan di berbagai aspek termasuk penduduk dan kendaraan bermotor.

Sampai tahun 2022 saja, wilayah Bandung Raya seluas 349.750 hektare yang meliputi lima wilayah kota/kabupaten, memiliki penduduk sekitar 9,76 juta jiwa.

Dengan penduduk sebanyak itu, mobilitas warga di kawasan ini merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia, dengan potensi peningkatan volume lalu lintas 10 sampai 15 persen per tahun.

Pergerakan orang di Bandung Raya dari barat ke timur didominasi oleh Kota Bandung dan Kota Cimahi, yaitu antara Cibiru sampai Cimahi, sementara dari Utara ke Selatan didominasi oleh Kabupaten Bandung seperti Bojongsoang, Kopo, Dayeuhkolot ke Kota Bandung dan sebaliknya.

Penggunaan jenis kendaraan terbanyak adalah angkutan pribadi sebesar 86,6 persen atau pergerakan 7,24 juta orang, dan angkutan umum sebesar 13,4 persen atau pergerakan 1,12 juta orang.

Hingga tahun 2023, Dinas Perhubungan Jabar mencatat per hari ada pergerakan 16,72 juta perjalanan dari sekitar 8,36 juta orang dengan kepadatan jalan sebesar 36,4 persen.

Dengan asumsi pertambahan penduduk dan jumlah kendaraan yang juga terus membengkak, jika tidak dilakukan langkah-langkah nyata yang berdampak, diprediksi pada tahun 2037 ada 22,12 juta perjalanan per hari dari 11,06 juta orang dengan kepadatan jalan 100 persen.

Dengan pertumbuhan masif kendaraan pribadi yang terjadi, akhirnya menyebabkan kemacetan yang berimplikasi pada kerugian ekonomi akibat memburuknya kualitas udara, bertambahnya waktu tempuh, bertambahnya konsumsi bahan bakar, hingga peningkatan biaya yang dikeluarkan dalam satu perjalanan.

Bappeda Jawa Barat mengungkapkan sejak 2018, kawasan Cekungan Bandung atau Metropolitan Bandung ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) lewat Perpres Nomor 45/2018.

Perpres ini mengamanatkan penataan kawasan metropolitan Bandung atas empat isu utama yakni tata ruang, sumber daya air, persampahan, dan transportasi.

Dalam penataan transportasi di wilayah Bandung Raya, digulirkan tiga konsep moda angkutan massal, yakni kereta api perkotaan (LRT), bus rapid transit (BRT), reaktivasi jalur kereta api, dan moda Kereta Gantung.

Rencana pelanjutan pembangunan Tol Dalam Kota Bandung atau Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR) menjadi perbincangan di masyarakat. Hal ini menuai pro kontra. Terkait hal ini Andri Rusmana anggota Komisi C DPRD Kota Bandung memberikan pandangannya.

“Jalan tol (dalam Kota Bandung) itu tidak akan menyelesaikan masalah (kemacetan),” tuturnya.

H. Andri Rusmana

Berdasarkan rencana, infrastruktur tersebut diharapkan dapat membangun konektivitas transportasi yang kuat dan mengatasi masalah kemacetan di Kota Bandung.

Namun, Andri mengatakan, proyek itu hanya dapat menjadi solusi jangka pendek, lantaran dalam beberapa tahun kemudian kapasitas maksimal jalan akan terpenuhi dan permasalahan kemacetan akan muncul kembali. Dengan dibangunnya tol pun, kemungkinan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi akan semakin meningkat.

Ia menjelaskan, dari komposisi lalu lintas, jalanan di Kota Bandung didominasi kendaraan roda dua. Adapun proyek tol yang akan dibangun tidak ditujukan bagi pengguna kendaraan roda dua. Selain itu, meninjau rute yang akan dibangun, tidak semua pengguna kendaraan roda empat akan memanfaatkan tol dalam kota karena keterbatasan rute yang dimiliki. Hal tersebut mengindikasikan bahwa infrastruktur itu hanya akan mengatasi sebagian kecil dari akar permasalahan kemacetan di Kota Bandung.

Pembangunan Tol Dalam Kota Bandung tentunya akan membawa berbagai dampak bagi masyarakat. Dalam jangka pendek, proses konstruksi akan menyebabkan kemacetan yang semakin parah di ruas-ruas jalan.

“Saat jalan tol sudah jadi, bukan berarti dia akan menyelesaikan masalah, karena yang berpindah mungkin tidak banyak. Tapi, bayangkan nanti kalau ada lalu lintas yang di-generated oleh jalan tol tersebut. Orang-orang yang tadinya nggak kepikiran naik mobil mungkin jadi naik mobil,” ujarnya.

Pola pergerakan masyarakat pun akan berubah, beban lalu lintas baru di daerah-daerah yang dihubungkan oleh tol akan muncul, dan kapasitas jalan akan tercapai. Pada akhirnya, kemacetan akan timbul kembali.

“Kita tidak bisa terus-menerus menyediakan prasarana untuk mengakomodasi demand yang ada. Demand akan terus meningkat. Kalau demand terus meningkat, berarti kita harus terus membangun jalan baru,” tuturnya.

Politisi PKS ini pun mengatakan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan kemacetan di Kota Bandung menurutnya adalah angkutan massal. Kendala yang mungkin dihadapi dalam membangun fasilitas angkutan umum massal adalah biaya dan kondisi eksisting jalanan di Kota Bandung. Badan jalan yang kecil tidak memungkinkan dibangunnya jalur khusus untuk transportasi umum tipe busway. Selain itu, transportasi umum eksisting seperti angkot dan Trans Metro Bandung (TMB) dinilai kurang efektif untuk dikembangkan karena jaringan jalan Kota Bandung sudah terlalu padat.

“Oleh karena itu, dibutuhkan angkutan umum massal yang memiliki jalur sendiri berupa jalur elevated (di atas permukaan tanah) dengan tipe transportasi Light Rail Transit (LRT). Dengan dikembangkannya fasilitas transportasi umum yang layak dan memadai, masyarakat lambat laun akan beralih sepenuhnya ke transportasi umum dan masalah kemacetan di Kota Bandung akan teratasi,” kata Andri.

Light Rail Transit (LRT)

Ia berharap kolaborasi sinergitas antar Pemerintah Kota, Provinsi dan Pusat dapat mengelola transportasi publik menghindarkan Bandung Raya dari kemacetan

“Sekarang kuncinya, ada di pemerintah daerah baik provinsi, kota dan kabupaten, untuk bisa bersama-sama dengan Kementerian Perhubungan dan pemangku terkait dalam mengelola kawasan Cekungan Bandung,” pungkasnya.

Posting Komentar

0 Komentar