ilustrasi |
Oleh : Adi Supriadi
Kita
selalu mendapatkan nasehat "Diam itu Emas", Bersikap diam itu lebih
baik daripada bicara, karena diam itu emas. Sebagian Kita dengan kaidah
ini banyak memilih menjadi diam karena khawatir bicara jadi bencana.
Padahal disisi lain, Kita diperintahkan juga untuk bersuara lantang
kepada segala bentuk kezaliman terutama para penguasa.
Baiklah,
Penulis mencoba menguraikan kapan nasehat "Lebih Baik Diam, Karena Diam
itu Emas" ini seharusnya Kita praktekan, dikisahkan dulu ada seorang
lelaki miskin yang mencari nafkahnya hanya dengan mengumpulkan kayu
bakar lalu menjualnya di pasar. Hasil yang ia dapatkan hanya cukup untuk
makan. Bahkan, kadang-kadang tak mencukupi kebutuhannya. Tetapi, ia
terkenal sebagai orang yang sabar.
Pada
suatu hari, seperti biasanya dia pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu
bakar. Setelah cukup lama dia berhasil mengumpulkan sepikul besar kayu
bakar. Ia lalu memikulnya di pundaknya sambil berjalan menuju pasar.
Setibanya di pasar ternyata orang-orang sangat ramai dan agak
berdesakan. Karena khawatir orang-orang akan terkena ujung kayu yang
agak runcing, ia lalu berteriak, “Minggir… minggir! kayu bakar mau
lewat!.”
Orang-orang
pada minggir memberinya jalan dan agar mereka tidak terkena ujung kayu.
Sementara, ia terus berteriak mengingatkan orang. Tiba-tiba lewat
seorang bangsawan kaya raya di hadapannya tanpa mempedulikan
peringatannya. Kontan saja ia kaget sehingga tak sempat menghindarinya.
Akibatnya, ujung kayu bakarnya itu tersangkut di baju bangsawan itu dan
merobeknya. Bangsawan itu langsung marah-marah kepadanya, dan tak
menghiraukan keadaan si penjual kayu bakar itu. Tak puas dengan itu, ia
kemudian menyeret lelaki itu ke hadapan hakim. Ia ingin menuntut ganti
rugi atas kerusakan bajunya.
Sesampainya
di hadapan hakim, orang kaya itu lalu menceritakan kejadiannya serta
maksud kedatangannya menghadap dengan si lelaki itu. Hakim itu lalu
berkata, “Mungkin ia tidak sengaja.” Bangsawan itu membantah. Sementara
si lelaki itu diam saja seribu bahasa.
Setelah
mengajukan beberapa kemungkinan yang selalu dibantah oleh bangsawan
itu, akhirnya hakim mengajukan pertanyaan kepada lelaki tukang kayu
bakar itu. Namun, setiap kali hakim itu bertanya, ia tak menjawab sama
sekali, ia tetap diam. Setelah beberapa pertanyaan yang tak dijawab
berlalu, sang hakim akhirnya berkata pada bangsawan itu, “Mungkin orang
ini bisu, sehingga dia tidak bisa memperingatkanmu ketika di pasar
tadi.”
Bangsawan
itu agak geram mendengar perkataan hakim itu. Ia lalu berkata, “Tidak
mungkin! Ia tidak bisu wahai hakim. Aku mendengarnya berteriak di pasar
tadi. Tidak mungkin sekarang ia bisu!” dengan nada sedikit emosi.
“Pokoknya saya tetap minta ganti,” lanjutnya.
Dengan
tenang sambil tersenyum, sang hakim berkata, “Kalau engkau mendengar
teriakannya, mengapa engkau tidak minggir?” Jika ia sudah
memperingatkan, berarti ia tidak bersalah. Anda yang kurang
memperdulikan peringatannya.”
Mendengar
keputusan hakim itu, bangsawan itu hanya bisa diam dan bingung. Ia baru
menyadari ucapannya ternyata menjadi bumerang baginya. Akhirnya ia pun
pergi. Dan, lelaki tukang kayu bakar itu pun pergi. Ia selamat dari
tuduhan dan tuntutan bangsawan itu dengan hanya diam.
Artinya,
Kapan diam itu harusnya dilakukan? Ketika bersuara tidak lagi bisa
menolong, tetapi tatkala memang harus bersuara seperti ketika memberikan
peringatan agar orang-orang terhindar dari malapetaka maka harus tetap
lantang disuarakan, terlebih malapetaka yang dapat ditimbulkan dari
kezaliman penguasa, Diam itu bisa dilakukan ketika Berbicara bukan lagi
solusi dari sebuah persoalan
0 Komentar