Menyoal politik, Aristoteles pernah berkata, "Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama."
Tetapi kemudian, langkah-langkah yang ditempuh warga negara itu mengerucut jadi perjuangan sekelompok orang (baca: partai politik) yang memiliki gagasan dan cara pandang yang sama dalam melihat keadaan negara. Gagasan dan visi inilah yang akhirnya memunculkan ujaran bahwa, "Dalam politik, tidak ada kawan abadi yang ada yaitu kepentingan abadi."
Maka, kemampuan setiap kelompok untuk memelihara ikatan persaudaraan (baca: kepentingan) dengan kelompok lainnya akan sangat dinamis. Pergerakannya teramat cepat. Mereka bisa mengabaikan kegaduhan di luar demi meluluskan kepentingannya yang terbaru.
Dengan kata lain, napas panjang untuk memelihara suatu kemesraan politik adalah barang yang langka. Sehingga ketika ada partai politik yang dapat menjalin relasi dengan partai lainnya dalam tempo yang cukup lama, dapat dikatakan itu merupakan hal yang istimewa.
Seperti yang terjadi pada partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua-duanya mulai intens menjalin relasi politis pada Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2014. Riset daring kecil-kecilan sempat saya lakukan untuk tulisan ini. Setelah pelan-pelan penghuni Koalisi Merah Putih (KMP) satu demi satu mundur, hanya tinggal Gerindra dan PKS yang ada di dalamnya, bahkan Gerindra menyebut PKS paling setia (https://m.merdeka.com/politik/gerindra-sebut-cuma-pks-yang-setia-di-kubu-prabowo.html). Berita tersebut dilansir pada 19 September 2014. Dan setelah dua tahun kemudian, kemesraan Merah (Nasionalis) yang direpresentasikan Gerindra dan Putih (Relijius) yang disimbolkan PKS ini masih terus berlanjut.
Pada Pilkada Serentak 2015, khususnya pilkada Propinsi, kedua partai ini terbilang cukup percaya diri mengusung calon bersama, walaupun hanya berdua saja. Misalnya di Pilkada Sumatera Barat.
Mengapa harus Propinsi yang menjadi indikator? Karena di tingkat inilah peran elit-elit partai besar sekali otoritasnya.
Tampaknya, langkah politik yang seperti itu hendak diulangi dalam pilkada serentak 2017.
Di propinsi etalasenya Indonesia DKI Jakarta, Gerindra dan PKS sepakat berpasangan mengusung calon gubernur dan wakil gubernur, Anies Baswedan - Sandiaga Uno.
Chemistry Merah-Putih kesannya telah begitu mengental; menguat; menyerap. Walaupun ditengah-tengah kurun waktu tersebut sempat timbul intrik-intrik tapi sifatnya kecil-kecilan dan tidak menggoyahkan substansi.
Sebagian kalangan berpendapat kemesraan ini akan pudar setelah berakhirnya era Anis Matta - Fahri Hamzah. Menurut mereka, Prabowo - Fadhli Zon lebih karib dengan presiden lama PKS daripada presiden baru Muhammad Shohibul Imam. Tetapi, inilah politik, memiliki kemampuan untuk membuat oranglain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti Max Webber bilang.
Yang disangkanya merenggang malah menguat. Yang disangkanya akan menjauh malah kian mendekat.
Jadi, mengapa Gerindra dan PKS kembali percaya diri untuk berdua saja bertarung di Jakarta?
Opini saya, selain perkara taktis-taktis politik, seperti peta kekuatan, mesin politik, analisa kemampuan rival calon lain, peluang untuk memenangkan kantong-kantong massa, elektabilitas calon untuk bersaing dengan petahana, kalkulasi strategis atas hadirnya pasangan ketiga, saya melihat adanya ikatan akademis antara Anies - Sandiaga - Shohibul. Kenyataan bahwa ketiganya sama-sama memiliki latarbelakang Kampus Paramadina adalah rahasia umum yang telah diketahui publik selama ini. Anies dan Shohibul adalah mantan Rektor, sementara Sandiaga tercatat dalam situs Yayasan Paramadina sebagai Bendahara Umum. Kiranya, dengan pendekatan akademis seperti ini cukup ampuh. Meski tidak ada satupun pernyataan resmi dari para elitnya akan hal ini.
Membaca peta politik modern di Indonesia tidak lagi terpaku pada teks hitam dan putih. Tetapi kemampuan untuk menelaah konteks itulah yang perlu digiatkan. Kemampuan untuk mengangkat wilayah abu-abu yang selama ini terkesan terabaikan. Kita perlu membaca bahwa pertempuran politik di Indonesia bukanlah pertempuran yang pilihannya hanya hidup dan mati. Pertempuran politik di Indonesia adalah menyoal eksistensi. Inilah wilayah abu-abu itu.
Semakin panjang napas yang dimilikinya, semakin besar peluang mengeksistensikan diri di negaranya.
Selamat berjuang PKS dan Gerindra, di Pilkada DKI Jakarta.
Akhir kata cukuplah kata-kata hikmah Utsman bin Affan Dzunnurain Sang Khalifah ketiga membingkai itu semua, "Allah akan mengubah melalui kekuasaan, sesuatu yang tidak dapat diubah melalui Al Quran."
Rancaekek, 24 September 2016 (HD Gumilang)
0 Komentar