Oleh : Miarti Yoga
(Early Childhood Consultant)
Dear Ayah Bunda.. Semoga kabar terbaik selalu menyertai kita. Semoga kekuatan imanlah yang membuat kita semakin mampu memberikan pengasuhan terbaik.
Ayah Bunda yang bahagia. Rasulullah Saw tampil sebagai figur di muka bumi. Seorang selebriti idaman yang dijaminkan Allah SWT untuk nikmati surga dengan cuma-cuma. Namun kita tahu bahwa kebahagiaan masa kecilnya tak begitu sempurna. Penderitaan menderanya secara bertangga-tangga. Mulai dari ditinggalkan Ayah tercinta menghadap Yang Maha Kuasa, ditinggalkan pula oleh sang Bunda beberapa kurun kemudian, hingga menjalani kisah yatim fiatu bersama segudang cerita yang menguras air mata.
Siapa mengira, jika sang Muhammad yang sempat hidup menjajakan jualan ke pasar-pasar, tumbuh dewasa sebagai sosok yang menginpirasi dunia. Siapa pula yang mengira bahwa liku-liku masa kecilnya mengantarkan beliau sebagai manusia utama yang membawa risalah sebuah agama besar. Islam rahmatal lil ‘aalamiin.
Jika meminjam istilah Paul G. Stoltz, PhD dalam bukunya Adversity Quotient, maka rasulullah Saw adalah sebenar-benarnya climber. Beliau bukan manusia yang berada pada level camper apalagi quitter. Climber itu istilah yang diberikan kepada mereka yang berjibaku meraih impian. Sementara camper adalah istilah bagi mereka yang sudah mencoba berusaha, namun memutuskan untuk berhenti karena alasan lelah, jemu, skit hati, atau alasan lain yang sebetulnya tidak begitu prinsip. Dan quitter adalah istilah untuk mengkategorikan orang-orang yang tidak punya inisiatif, malas berusaha, berharap secara pragmatis dan memilih diam dari ajakan untuk turut berkontribusi. Barangkali kisah Ka’ab bin Malik yang sempat di didiamkan selama empat puluh hari oleh Rasul dan sahabat, adalah karena Ka’ab lebih memilih menjadi quitter pada saat Perang Tabuk diserukan. Sementara orang-orang bersegera dengan jihad yang mengangkasa.
Ayah Bunda… Banyak pelajaran berharga terkait nilai ketangguhan bagi anak-anak kita. Dan anak-anak Palestina adalah sosok-sosok yang menunjukkan pada dunia tentang kekuatan jiwa mereka. Mereka jauh sekali dari beberapa mental yang kita kenal dengan istilah ngeyel, manja, mundur sebelum bertempur, cepat lelah, cepat bosan dan berpangku tangan. Darah yang berhamburan di sekitar penglihatannya, membuat mereka lebih bertahan dan tak lagi merasa berdebar. Mustahil bagi mereka untuk jatuh pingsan saat melihat tumpahan darah. Musuh-musuh yang berlalu lalang dengan persenjataan legkap, menjadikan anak-anak hebat itu tak lagi merasa gentar dan semakin bertambah energi untuk bersikap berani. Apapun, berani mereka lakukan untuk menghadiahkan sebuah perawanabn. Melempar batu, salah satu yang mereka buktikan untuk memerdekakan negerinya. Pun dengan kondisi terbatas yang sangat familiar, membentuk mereka untuk lebih cepat dewasa dan tak banyak merajuk pada orangtuanya.
Kita memang tak berharap untuk dicabut rasa tenang dan tentram dari hidup kita, sehingga kita bisa menjadi lebih tangguh. Kita juga sangat tak berharap dan tak mau menunggu saat dimana Allah kurangi keberlimpahan harta kita. Karena PR besar kita sebagai orangtua adalah bagaimana menjamin anak-anak kita tetap berjiwa tangguh meski dalam kelengkapan dan kenikmatan yang ada. Bagiamana membentuk mereka untuk tahan banting bukan bukan berada pada kondisi yang sulit atau memprihatinkan.
Kiranya kita juga perlu miris saat ada sepasang orangtua yang sengaja mendaftarkan putrinya untuk sekolah di luar negeri, lebih karena alasan supaya bersedia mencuci piring. Karena di luar negeri sana harus serba melayani sendiri. Tak bisa menyimpan pembantu di tempat kost. Dan untuk berangkat kemana-manpun pun harus menggunakan transportasi publik. Sementara di Indonesia, dia bebas membawa pamer mobilnya ke tempat manapun dia mau. Makaa keserbamudahan yang ada, telah menjadikannya tak punya satu kesempatan sidikit pun untuk sekadar mengurus dirinya sendiri. Segalanya serba dilayani dan semua keinginannya serba dipenuhi. Alhasil, untuk mencuci piring saja tak pernah dilakukan. Karena tertutup sudah segala keharusan untuk dirinya. Lalu bagaimana dengan pekerjaan semacam mencuci dan menggosok pakaian. Mungkin telah dianggap mengerikan.
Memang tak mudah menjamin anak-anak kita untuk terbebas dari sikap manja, bergantung, dan lari dari tanggung jawab. Namun banyak cara yang bisa kita siasati supaya mereka tetap tumbuh dengan wajar tanpa berlebihan.
- Milikilah Prinsip Konsisten
Baik dalam keadaan finansial terbatas atau suatu saat kita bergelimang harta, kita tak mengubah takaran dalam memenuhi keinginannya. Serba ada bukan berarti serba boleh. Dan berkelebihan bukan berarti boleh menghambur-hamburkan.
- Tak Tertumpu pada Pembantu
Bagi diantara Ayah Bunda yang memiliki khadimat, ajari anak-anak untuk tetap bisa mandiri. Karena hadirnya khadimat bukan untuk membebaskan tugas anak-anak. Mereka tetap perlu sadar akan kewajiban yang sifatnya personal. Menyimpan tas dan perlengkapan sekolah, menyimpan piring kotor bekas makanannya sendiri, mempersiapkan air minum untuk bekal sekolah, dan lain-lain. Hal-hal kecil ini sangat ringan untuk dilakukannya. Karena berat itu persoalan rasa. Persoalan mental.
- Bijak Memberi Tahapan Kepuasan
Sekiranya anak kita belum tepat untuk difasilitasi handphone, maka tak perlu dilakukan. Kecuali, jika alasannya untuk memudahkan komunikasi akibat seharian penuh beraktivitas di tempat yang berbeda. Fasilitasilah ia dengan handphone biasa. Tak perlu memilihkan yang canggih dan kaya aplikasi, meski sangat mungkin untuk kita belikan. Pun ketika menginjak remaja atau usia SMP, tak perlu juga terburu-buru untuk menhadiahkannya motor. Apalagi sekadar untuk memenuhi gengsi. Karena urusan gengsi tak kan pernah ada habisnya.
- Berikan Tugas yang Mendewasakan
Menjaga adik, adalah salah satu cara efektif yang akan membuat anak kita punya rasa tanggung jawab. Setahap dari menjaga adik, kita juga bisa mencobanya untuk menjaga rumah. Artinya, saat kita keluar rumah untuk beberapa jam, cobalah berikan tanggung jawab pada mereka dengan cara tidak ikut pergi.
- Deklarasikan dan Bakukan Sebuah Amanah
Pada dasarnya, pekerjaan rumah itu menjadi sangat ringan jika terbagi secara bijak. Contoh, si sulung yang berusia 7 tahun bisa kita minta dia untuk punya bagian mengangkat jemuran. Si Adik yang masih berusia 4 tahun, bisa kita minta dia untuk membuang sampah ke penampungan di sekitar rumah. Namun syaratnya adalah harus dideklarasikan. Karena mereka akan memiliki rasa bangga tersendiri ketika memiliki “surat keputusan” khusus, meski disampaikan secara lisan. Dengan cara seperti ini, layaknya sebuah alarm, mereka akan refeks dengan jadwal yang harus mereka lakukan.
- Libatkan dalam Sebuah Persoalan
Mengeluh di hadapan anak memang tak layak. Namun kita bisa mendewasakan mereka dengan cara mengkomunikasikan perkara yang tengah kita hadapi. Mungkin tak perlu seluruhnya secara gamblang atau secara verbal. Cukup sampai dia mengerti bahwa kita sedang tidak bisa sekehendak saat menginginkan sesuatu. Pada poin ini, saya juga sempat menyaksikan sepasang suami istri yang pada saat itu harus pindah rumah, karena rumah cukup megah yang ditempatinya harus dijual untuk memenuhi utang. Sebelum benar-benar pindah, ketiga anaknya dikumpulkan dan diajak ngobrol bahwa untuk sementara waktu mereka akan tinggal di sebuah rumah dengan kondisi cukup terbatas. Takjubnya, kalimat itu tetap disampaikan dengan sangat optimis meski utang berat tengah melilitnya. Dan tak sampai menunggu lima tahun, mereka kembali ke rumah idamannya setelah do’a-do’a malam mereka panjatkan. Satu pelajaran yang berharga dari poin adalah bahwa realita hidup itu perlu dikenalkan. Meski hanya sebuah cerita. Dan saat menghadapi fakta yang sebenarnya, biarkan anak-anak kita merasakan sebuah rasa bernama pahit. Rasa yang tak diharapkan namun membutuhkan cara untuk dinikmati dengan nilai berharga bernama qana’ah.
- Kenalkan Padanya Hukum Sebab Akibat
Yakinkan pada anak kita bahwa setiap keputusan yang kita ambil tentu diikuti dengan resikonya masing-masing. Maka mintalah mereka menabung untuk memenuhi salah satu impiannya. Ketika suatu hari mereka menginginkan sepeda, ajaklah terlebih dahuu untuk menabung. Paling tidak, mereka bisa merasakan sebuah perjuangan dalam mendapatan sesuatu. Terkait poin ini, saya sempat melihat raut muka putra sulung saya yang tampak gelisah dan tak nyaman. Ia berada dalam antrian wahana kuda tunggang di sebuah tempat wisata keuarga. Hampir satu jam ia berdiri dan berjalan perlahan untuk sampai pada pemberhentian kuda. Merespon ketidaknyamanan dalam raut mukanya, saya menghampiri dan berbisik ; “Sebentar lagi, insyaAllah. Yang lain juga rela mengantri.” Hal ini sy lakukan, tidak lain untuk memahamkan dirinya bahwa resiko mengantri dan menunggu lama adalah konsekuensi dari sebuah keinginan.
Ayah Bunda. Semoga setiap ikhtiar kita tak ada yang sia-sia. Bahkan sesederhana membiasakan mereka menyimpan kembali mainan pada tempatnya sekalipun, adalah bagian dari rangkaian pendewasaan. Apalagi jika kita renungi seberapa berat beban atau ujian masa depan. Tentu butuh persiapan yang tak sederhana. Maka kita butuh profil anak-anak yang siap hadapi tantangan. Bukan profil yang sangat mudah berkata malas dan ringan berkata bosan. Dan kita perlu tahu bagaimana akibat buruknya, jika mereka terbiasa kita perlakukan dengan serba nyaman. Kita akan merasakan dampak buruknya di kemudian hari ketika kita terbiasa menyuapinya sampai besar. Kita juga akan direpotkan untuk memenuhi semua keinginannya yang tidak bisa ditunda, akibat terlalu asyik memfasilitasi mereka dengan apa saja yang mereka minta.
Sebagai refleksi, kiranya kita perlu mengingat keshalihan Ismail saat hadapi keputusan penyembelihan. Sadar bahwa dia haus pasrah pada perintah Allah, ia berulangkali memastikan sang ayah tercinta untuk tak ragu mengeksekusi perintah sang Tuhan. Bahkan ia menelungkupkan badannya supaya sang Ayah tak berat menyaksikan ekspresi wajahnya saat meregang nyawa. Ini peristiwa yang sangat menakjubkan. Bukti ketaatan seorang Ayah dan kemengertian seorang anak akan beban perasaan orangtua.
Demikian yang saya bagikan pada edisi kali ini. Salam tangguh untuk Ananda. Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.
0 Komentar