Aku masih berdiri tepat di depan jendela, menatap langit kelam berhias
kilat yang menyilaukan mata. Suara petir yang bersahutan bergemuruh menyesakkan
dada. Saat melihat jam dinding, ternyata sudah hampir tiga puluh menit aku
berdiri di sini.
“Andai saja... andai saja waktu bisa di putar” bisikku pada diriku
sendiri. Tak terasa pipi ini sudah di basahi bulir-bulir hangat yang bening
itu. Tak bisa di tepis, peristiwa itu kembali melintas menghantui pikiranku.
***
Dua tahun yang lalu.
Suasana
makan malam selalu menyenangkan karena semua anggota keluarga
kembali berkumpul setelah kesibukan masing-masing sepanjang hari.
Setelah makan
malam, semua berkumpul di ruang tengah. Seperti biasa, Ayah menyimak
bacaan Al
Quran adik-adik. Di luar, hujan masih belum berhenti. Sementara Bunda
masih sibuk mempersiapkan camilan dan minum hangat untuk membuat nyaman
badan kami.
Aku
masih di kamar dan bersembunyi di balik selimut. Sejak pagi tadi
badanku hangat, kepala terasa begitu berat. Jangankan ada makanan yang
bisa memasuki perut, mencium baunya saja langsung muntah-muntah. Asam
lambungku kambuh. Persediaan
obat di rumah tidak ada lagi. Tadi pagi ayah lupa membawa resep obat
yang sudah
diberikan dokter.
Sepertinya hujan malam ini enggan untuk berhenti turun. Ayah yang sudah
dari tadi menunggu hujan reda, akhirnya memutuskan untuk tetap pergi ke apotek. Menebus obatku.
Ayah baru saja keluar dari gerbang. Tiba terdengar suara motor yang melaju
kencang, brmmm.. brmmm...!! BRAAAKK!!!
Aku mendengar keributan di luar sana. Sepertinya semua orang sudah
berhamburan keluar rumah seketika itu juga. Aku berusaha untuk bergerak bangun
dari tempat tidur. Tapi Sulit. Dunia terasa berputar tanpa arah. Perlahan aku merebahkan
kembali tubuhku. Aku tak mampu membayangkan apa yang sedang terjadi di luar sana.
Sepertinya begitu dekat namun sangat jauh untuk terjangkau olehku yang masih
terbaring tak berdaya di tempat tidur.
Tiba-tiba suara keributan itu mendekat dan semakin mendekat. Terdengar
seperti kerumunan lebah. Pikiranku semakin kacau tak menentu. Rasanya ingin sekali melihat apa
yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana. Sekarang aku merasa suara seperti kerumunan lebah itu
sudah berada di dalam rumah. Terdengar suara adik-adik memanggil “Ayaaah.. Ayaahhh...”. Nadanya pilu. Tak
pernah
aku mendengar tangisan mereka yang seperti ini. Sejak kecil mereka
sudah dibiasakan Ayah menjadi anak laki-laki yang malu menangis, apalagi
merengek.
Isakan menajam di sana-sini. Terdengar raungan ambulance semakin mendekat
hingga akhirnya ia berhenti. Aku hanya menerka dan menebak dalam hati. Sepertinya sedang
terjadi kecelakaan di jalan tadi. Aku tak berpikir panjang tentang itu.
Orang-orang berkerumun dan banyak polisi itu pemandangan biasa di depan rumah
kami. Tikungan dekat rumahku memang sudah menjadi langganan kecelakaan
tabrakan karena ketidak hati-hatian pengendaranya. Apalagi saat cuaca hujan begini.
Sekarang satu hal yang aku pikirkan. Rengekan adik-adikku itu sangat
berbeda dari biasanya dan mereka memanggil-manggil ayah! Aku masih mencoba
mengontrol pikiranku sendiri. 'Aahhh... tidak! Tidak mungkin... bukankah Ayah
tadi sudah lama berangkat?!' Berusaha meyakinkan diri. Argghhh!! Pikiranku
semakin tak terkontrol lagi. Aku semakin cemas... asam lambungku terus meningkat.
Dalam keadaan seperti ini migrainku pasti kambuh. Aku semakin tak berdaya. Limbung.
Aku
berusaha memanggil bunda. “Bundaa.. Bundaa..”. Tapi parau. Suaraku
seperti tak keluar dari rongga mulutku, kalah ditelan bisingnya
kerumunan
lebah yang sejak tadi menggangguku. Aku berusaha tenang. Kukumpulkan
semua sisa tenaga yang kupunya. Sementara di tubuhku sedang terjadi
peperangan hebat. Aku melawan migrain sekaligus dunia yang
terus terasa berputar tanpa arah. Kupejamkan kedua mataku, sambil kuraih
tempat untuk menyandarkan
tubuhku. Sekarang posisi tubuhku seperti cicak yang sedang menempel di
langit-langit. Aku berusaha meraih gagang pintu dan berhasil!
Aku membuka pintu perlahan dan mulai membuka mata. Terlihat suasana di
luar sana begitu ramai dan mataku menangkap warna merah segar berceceran di
mana-mana. Aku melihat sosok laki-laki yang bersimbah darah di sana. Yaahh...
tepat di depan Bunda, Adik-Adik dan kerumunan orang-orang. Aku sangat mengenal
kemeja yang dikenakan orang yang terbaring tak berdaya itu. Kemeja warna biru,
hadiah ulang tahun dariku!
Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat. Entah dari mana kekuatan
itu datang. Aku berlari ke arah kerumunan itu. Aku memperhatikan wajah yang
sangat tenang itu. Aku sangat mengenalnya. Itu ayah, Ya.... aku sangat yakin
sekarang... itu Ayahku! Tubuhku terasa kehilangan berat, aku seperti melayang.
Bruuuk! Aku terjatuh.
Sebuah Fiksi karya : Fauziyah Humaira
0 Komentar