Mengutuk Hujan (Bagian I)




Aku masih berdiri tepat di depan jendela, menatap langit kelam berhias kilat yang menyilaukan mata. Suara petir yang bersahutan bergemuruh menyesakkan dada. Saat melihat jam dinding, ternyata sudah hampir tiga puluh menit aku berdiri di sini.
“Andai saja... andai saja waktu bisa di putar” bisikku pada diriku sendiri. Tak terasa pipi ini sudah di basahi bulir-bulir hangat yang bening itu. Tak bisa di tepis, peristiwa itu kembali melintas menghantui pikiranku.

***
Dua tahun yang lalu.
Suasana makan malam selalu menyenangkan karena semua anggota keluarga kembali berkumpul setelah kesibukan masing-masing sepanjang hari. Setelah makan malam, semua berkumpul di ruang tengah. Seperti biasa, Ayah menyimak bacaan Al Quran adik-adik. Di luar, hujan masih belum berhenti. Sementara Bunda masih sibuk mempersiapkan camilan dan minum hangat untuk membuat nyaman badan kami.

Aku masih di kamar dan bersembunyi di balik selimut. Sejak pagi tadi badanku hangat, kepala terasa begitu berat. Jangankan ada makanan yang bisa memasuki perut, mencium baunya saja langsung muntah-muntah. Asam lambungku kambuh. Persediaan obat di rumah tidak ada lagi. Tadi pagi ayah lupa membawa resep obat yang sudah diberikan dokter.

Sepertinya hujan malam ini enggan untuk berhenti turun. Ayah yang sudah dari tadi menunggu hujan reda, akhirnya memutuskan untuk tetap pergi ke apotek. Menebus obatku.

Ayah baru saja keluar dari gerbang. Tiba terdengar suara motor yang melaju kencang, brmmm.. brmmm...!! BRAAAKK!!!
Aku mendengar keributan di luar sana. Sepertinya semua orang sudah berhamburan keluar rumah seketika itu juga. Aku berusaha untuk bergerak bangun dari tempat tidur. Tapi Sulit. Dunia terasa berputar tanpa arah. Perlahan aku merebahkan kembali tubuhku. Aku tak mampu membayangkan apa yang sedang terjadi di luar sana. Sepertinya begitu dekat namun sangat jauh untuk terjangkau olehku yang masih terbaring tak berdaya di tempat tidur. 

Tiba-tiba suara keributan itu mendekat dan semakin mendekat. Terdengar seperti kerumunan lebah. Pikiranku semakin kacau tak menentu. Rasanya ingin sekali melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana. Sekarang aku merasa suara seperti kerumunan lebah itu sudah berada di dalam rumah. Terdengar suara adik-adik memanggil “Ayaaah.. Ayaahhh.... Nadanya pilu. Tak pernah aku mendengar tangisan mereka yang seperti ini. Sejak kecil mereka sudah dibiasakan Ayah menjadi anak laki-laki yang malu menangis, apalagi merengek.

Isakan menajam di sana-sini. Terdengar raungan ambulance semakin mendekat hingga akhirnya ia berhenti. Aku hanya menerka dan menebak dalam hati. Sepertinya sedang terjadi kecelakaan di jalan tadi. Aku tak berpikir panjang tentang itu. Orang-orang berkerumun dan banyak polisi itu pemandangan biasa di depan rumah kami. Tikungan dekat rumahku memang sudah menjadi langganan kecelakaan tabrakan karena ketidak hati-hatian pengendaranya. Apalagi saat cuaca hujan begini.

Sekarang satu hal yang aku pikirkan. Rengekan adik-adikku itu sangat berbeda dari biasanya dan mereka memanggil-manggil ayah! Aku masih mencoba mengontrol pikiranku sendiri. 'Aahhh... tidak! Tidak mungkin... bukankah Ayah tadi sudah lama berangkat?!' Berusaha meyakinkan diri. Argghhh!! Pikiranku semakin tak terkontrol lagi. Aku semakin cemas... asam lambungku terus meningkat. Dalam keadaan seperti ini migrainku pasti kambuh. Aku semakin tak berdaya. Limbung.

Aku berusaha memanggil bunda. “Bundaa.. Bundaa..”. Tapi parau. Suaraku seperti tak keluar dari rongga mulutku, kalah ditelan bisingnya kerumunan lebah yang sejak tadi menggangguku. Aku berusaha tenang. Kukumpulkan semua sisa tenaga yang kupunya. Sementara di tubuhku sedang terjadi peperangan hebat. Aku melawan migrain sekaligus dunia yang terus terasa berputar tanpa arah. Kupejamkan kedua mataku, sambil kuraih tempat untuk menyandarkan tubuhku. Sekarang posisi tubuhku seperti cicak yang sedang menempel di langit-langit. Aku berusaha meraih gagang pintu dan berhasil!

Aku membuka pintu perlahan dan mulai membuka mata. Terlihat suasana di luar sana begitu ramai dan mataku menangkap warna merah segar berceceran di mana-mana. Aku melihat sosok laki-laki yang bersimbah darah di sana. Yaahh... tepat di depan Bunda, Adik-Adik dan kerumunan orang-orang. Aku sangat mengenal kemeja yang dikenakan orang yang terbaring tak berdaya itu. Kemeja warna biru, hadiah ulang tahun dariku!

Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat. Entah dari mana kekuatan itu datang. Aku berlari ke arah kerumunan itu. Aku memperhatikan wajah yang sangat tenang itu. Aku sangat mengenalnya. Itu ayah, Ya.... aku sangat yakin sekarang... itu Ayahku! Tubuhku terasa kehilangan berat, aku seperti melayang. Bruuuk! Aku terjatuh.

--Bersambung


Sebuah Fiksi karya : Fauziyah Humaira

Posting Komentar

0 Komentar