Catatan Harian Bunda : Anak dan Tontonan



Serial Catatan Harian Bunda
By : Danik Easteria

Bandung. Semalam saat pengajian RT, Ibu-Ibu heboh membicarakan berita anak jatuh dari tingkat 19 sebuah apartemen. Hampir tiga tahun tanpa televisi di rumah ini membuat penulis harus browsing mencari tahu ada apa gerangan. Ternyata… MasyaAllah, Innalillahi wa inna ilahi roojiuun.. Terlepas dari pembahasan mengenai aman tidaknya apartemen tersebut, salah satu penyebabnya ternyata sang anak terinspirasi oleh sosok jagoan impor.

Sebelumnya, berita meninggalnya Renggo juga sudah mengiris-iris perasaan penulis. Belum lagi geger kasus JIS dan pornografi yang telah merasuki generasi muda kita. Dipikir-pikir, mengapa permasalahan sosial, terutama yang yang terkait anak dan rumah tangga, sekarang menjadi begitu mengerikan? Ada apa dengan keluarga-keluarga Indonesia? Atau apakah ada yang salah dengan pola pendidikan kita?

Wallahua'lam bishawab. Penulis yakin permasalahannya pastilah sangat kompleks. Tak hanya soal pola pendidikan. Namun ada satu hal yang kiranya bisa kita amati : anak jaman sekarang, bahkan mulai usia batita, semakin erat, lekat, akrab dengan yang namanya tontonan. Mulai dari yang hampir di tiap rumah ada; televisi dan vcd/dvd player, hingga berbagai jenis gadget : tablet, iphone, smartphone, dan kawan-kawannya. 

Beberapa keluarga yang
(terpaksa maupun memilih untuk) tidak memiliki televisi pun ternyata anak-anaknya masih tidak lepas dari tontonan. Contoh sederhananya keluarga kami, anak-anak masih bisa menonton film melalui dvd maupun youtube dari komputer. 'No, I'm not saying we are perfect', masih banyak kekurangan kami sebagai orang tua. Namun pilihan ini membuat kami minimal masih bisa menyeleksi apa-apa yang mereka tonton. 

Masalah tontonan ini adalah hal yang sedang benar-benar keluarga kami perhatikan, terutama karena kami rasa kualitas tontonan di televisi swasta kita sekarang sungguh parah. Jangankah program-programnya. Iklan pun sekarang sudah banyak yang berbau pornografi dan ‘tidak bermutu’. Lebih parahnya lagi, orang tua sudah tidak sempat lagi mendampingi, apalagi memberikan penjelasan maupun counter atas apa yang disaksikan anak-anak di televisi. Akibatnya, dari film kartun populer yang biasa disuguhkan di televisi saja, anak-anak sejak dini sudah disuguhi kekerasan. Anak dengan imajinasinya yang tengah berkembang tentu belum faham bahwa memukul, berkelahi, menendang, dll itu adalah tindakan berbahaya. Anak-anak mengira itu semua tidak apa-apa, karena yang mereka saksikan disana si korban tetap sehat wal afiat, baik-baik saja. Mengapa anak salah kira? Karena mereka menontonnya sendirian…


Poin kedua yang membuat heran selanjutnya adalah golongan menengah keatas. Banyak status para orangtua yang miris dan prihatin dengan kasus pelecehan seksual dan seks bebas, akan tetapi mereka melenggang anteng menggenggam tangan anak usia SD dan SMP mereka masuk ke bioskop dan menonton (maaf) Amazing Spiderman 2, misalnya. 'Duuuh…. Bunda… Yanda.. Film-film seperti Spiderman, Superman, dll adalah film dewasa. BUKAN film semua umur.' Mengapa anak-anak mereka diajak menonton film seperti itu? 


Satu lagi tentang para golongan menengah ke atas ini (biasanya) adalah kebebasan memberikan gadget pada anak, bahkan pada anak yang masih duduk di bangku SD kelas 1. Lagi-lagi, tanpa pengawasan melekat. Internet untuk anak-anak itu bukan barang aneh lagi. Video, games, gambar-gambar “aneh” bisa dengan mudah terakses. Kekerasan dan pornografi pastilah menjadi ancaman. Untuk orang tua yang permisif namun ignoran, apa namanya ini kalau bukan mengundang penyakit?


Maka, ayolaaaaah para ibu, terutama. Hilangkan hobi menonton. Kurangi jam bermain computer/games/PS dll buah hati kita. Ajak anak-anak bermain diluar, main petak umpet, bola, berkebun, atau… #JumatBersepeda. Apapun yang lebih sehat bagi perkembangan mereka. Intinya mari kita perbanyak aktivitas-aktivitas yang bisa mendekatkan kita dengan anak-anak. Mumpung masih ada umur. Mumpung masih punya kesempatan. Mumpung anak masih mau diajak bermain. Mumpung….

Posting Komentar

0 Komentar