Berdialog Dengan Realitas



Lantas apakah kita tetap diam tertegun, menyaksikan realitas jauh dari apa yang kita mimpikan selama ini. Lalu di manakah hasil kerja-kerja yang telah dilakukan selama ini, mengurai mimpi dengan peluh, waktu dan biaya yang tak sedikit.

Selalu keluar dari lontaran terhadap ketidakpuasan hasil kerja yang susah payah kita lakukan untuk menguraikan sesuatu yang menjadi impian. Entah berupa penyesalan, umpatan, atau dorongan untuk melakukan yang lebih baik daripada sebelumnya. Namun ini semua menyadarkan kita bahwa ada jarak antara realitas dan mimpi.

Mimpi merupakan alam imajiner yang ada dalam pikiran dan kita sangat ingin mewujudkannya, sedangkan realitas adalah kenyataan yang terkadang tidak dapat dielakkan dan dikendalikan. Menyadari hal ini, tentu muncul dari dalam benak kita adakah jembatan yang indah untuk dapat dilalui, memindahkan mimpi menjadi sebuah kenyataan.

Realitas adalah takdir yang berwujud rimba belantara liar. Kita tidak sendirian berdiri di sana. Ada keinginan dan kepentingan yang liar bergerak dengan jumlah tak terhingga. Bagi sang pengecut, kefrustasian membuat mengurungkan niatnya untuk bermimpi. Alih-alih bermimpi, menggerakkan raganya pun tampak paranoid.

Life is never flat. Panorama kehidupan ini bukanlah sesuatu yang datar dan rata. Ada ketinggian yang harus didaki, adapula lubang yang tiba-tiba membuat terperosok. Dan memang roda kehidupan dapat menghantarkan si tuannya kepada beragam posisi dan kondisi. Meletakannya pada zenith kehormatan yang melenakan, atau bahkan pada nadhir kehinaan yang memilukan. Semua itu adalah ketetapan Allah Yang Maha Kuasa, dan ada hikmah yang bisa dipetik bagi orang-orang yang berpikir.

“Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al Imran, 3:26)

Sebuah berita yang menenangkan jiwa telah termaktub dengan gamblang, bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Qs. Al Baqarah, 2:286).

Ayat ini merupakan ayat penenang jiwa dan sekaligus motivasi yang luar biasa bagi kita, bahwa tak ada persoalan yang tidak dapat diatasi oleh diri kita sendiri. Setiap kita memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengatasi setiap persoalan yang kita hadapi. Namun jalan seakan tak pernah terbuka, terhalang kabut tebal ketidakpercayaan terhadap diri dan gigantisme persoalan hidup yang menyeramkan, hingga kita tak mampu bangkit dari tidur untuk menguraikan mimpi-mimpi.

Allah tak pernah berdusta atas apa yang Ia firmankan. Ketika Allah menunjuk manusia sebagai khalifah, wakil Allah di muka bumi untuk memimpin makhluk-makhluk ciptaan-Nya dan mengelola urusan dunia serta memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada sesuai dengan kehendak-Nya, maka Ia memberikan karunia kepada manusia dan meninggikan derajat manusia di antara makhluk lainnya dengan nikmat akal yang diberi kemampuan untuk memilih dan menentukan. Tentu hal ini berlaku dan dimiliki oleh setiap insan manusia, segenap potensi untuk mengemban tugasnya sebagai khalifah.

Ada kemungkinan bahwa kita tak pernah membaca peta diri dan menyusun segenap langkah untuk dapat berdialog pada realitas. Sesungguhnya realitas akan terus bergulir. Sedangkan kita dibatasi oleh ajal yang datang secara tiba-tiba. Mimpi haruslah berdialog dengan realitas, sehingga perdamaiannya akan menciptakan kehidupan yang indah.

Berdialog dengan realitas adalah pembacaan atas potensi yang kita miliki. Apa yang kita mimpikan bukanlah angan-angan hampa yang tiada makna. Ia terbangun dari perenungan yang panjang, yang dilahirkan dari pengalaman-pengalaman hidup yang terhayati oleh jiwa dan diolah dalam pikiran. Dengan demikian, bangunannya haruslah rasionalistis dan realistis.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Al Jauzi dalam Shahidul Kathir “Jadilah lelaki dengan kaki yang berpijak di bumi. Namun cita-cita tergantung di atas langit nan tinggi.” Ada dua perspektif yang terbangun dalam ungkapan tersebut, pertama yaitu ketegaran dalam menghadapi realitas kehidupan. Kedua adalah cita-cita untuk meraih kegemilangan harus senantiasa  hadir dalam kehidupan dengan tanpa menafikan realitas yang ada.

Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Memetakan potensi diri adalah langkah pertama yang memudahkan kita untuk bergerak menguraikan mimpi. Ia adalah ukuran yang dapat mengukur sejauhmana kemampuan kita untuk dapat berinteraksi dengan realitas. Apabila terdapat titik kelemahan dan kekurangan, maka bersegeralah untuk meningkatkan kualitas diri. Sebab semakin tinggi mimpi yang ingin kita capai, maka haruslah diiringi oleh peningkatan kapasitas diri yang maksimal dan membekalinya dengan beragam pelatihan dan sarana-sarana lainnya.

Berdialog dengan realitas adalah sebuah manajemen waktu dan kedisiplinan. Waktu dan kondisi bergerak begitu cepat. Ia datang menghantam kita secara tiba-tiba. Hal tersebut yang mengharuskan kita untuk mengukur waktu dalam setiap langkah yang kita lalui. Sejauhmanakah kita menggunakan setiap detik waktu dengan efektif. Kehilangan sedetik momentum dapat memaksa kita untuk kembali bekerja ke titik nol.

Berdialog dengan realitas adalah hukum prioritas. Setiap program kerja haruslah bertahap dan berada dalam struktur yang rapi. Setiap pekerjaan haruslah disusun sesuai dengan skala prioritas dan diletakkan ditempatnya secara seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, setiap detik yang kita lalui dapat bermanfaat.

Berdialog dengan realitas adalah keberanian dan kebulatan tekad. Hasan Al Bana, seorang tokoh pergerakan dari Mesir, pernah berkata “Sesungguhnya, sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”

Keberanian merupakan fitrah yang terdapat dalam setiap diri manusia. Ia terlahir dari keyakinan yang kuat di dalam diri. Anis Matta, dalam buku Mencari Pahlawan Indonesia, mengungkapkan “keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas baik tindakan maupun perkataan.............dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan risiko yang akan diterima.” Keberanian dan kebulatan tekad untuk merealisasikan mimpi akan melahirkan keoptimisan untuk mencapai mimpi. Ia akan membuat mimpi tervisualisasi dengan jelas.

Berdialog dengan realitas adalah doa yang bersungguh-sungguh kepada Yang Maha Kaya. Doa merupakan sarana interaksi antara hamba dan Allah. Melalui media ini kita dapat mengadukan segala keluh kesah dan memohon pertolongan kepada Allah Sang Penguasa Alam.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”  (Qs. Al Baqarah, 2:186)

Allah SWT akan senantiasa memberikan pertolongan kepada hamba-Nya, sepanjang ia senantiasa beriman, memenuhi segala perintah Allah dan tidak menyekutukannya dengan apapun. Tak ada tempat bagi seorang mukmin untuk berputus asa. Bahkan keadaan terjepit, ketika segala daya dan upaya dikerahkan, terkadang pertolongan Allah turun dari arah yang tidak disangka-sangka.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw menceritakan kisah tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua (Ashhabul ghaar). Lalu setiap mereka berdoa kepada Allah dengan amal-amal kebaikan yang mereka perbuat agar Allah membukakan pintu gua yang tertutup dengan batu besar. Setiap kali mereka berdoa, batu yang menutupi gua itu bergeser. Hingga orang ketiga selesai berdoa gua itu terbuka dan mereka dapat keluar dengan selamat. Satu di antara mereka bertawassul dengan iffahnya (penjagaannya) dari zinah, yang kedua dengan birrul walidain (berbakti kepada orang tua) dan yang ketiga dengan amanah atas upah pegawainya.

Hikmah dari kisah itu, bahwa setiap amal kebaikan yang kita perbuat merupakan investasi yang membuat pertolongan Allah turun, baik di kehidupan dunia maupun di akhirat. Bahkan dalam kondisi terjepit, ketika tidak ada jalan lain selain mengharap pertolongan Allah, kita dapat berdoa dengan bertawassul atas amal kebajikan yang pernah kita perbuat. Inilah sebuah pelajaran yang sangat berharga, mengapa kita harus senantiasa ikhlas dan istiqomah dalam melakukan amal-amal shalih.

Berdialog dengan realitas adalah kesiapan dalam menerima takdir. Takdir adalah suatu kondisi yang sudah menjadi ketetapan Allah. Ia datang secara tiba-tiba dan tidak ada seorang pun yang mampu menolaknya. Bisa jadi hasil dari apa yang telah kita rencanakan   dan kerjakan jauh dari harapan. Namun ia adalah sebuah cobaan yang menguji sejauhmana keteguhan kita dan sebagai bukti tentang kerendahan dan ketidakberdayaan  kita di hadapan Allah SWT.

Imam Ibnu Al Jauzy, dalam Shaidul Khathir, menasihati kita “Barangsiapa yang memahami keadaan lautan kehidupan dunia dan tahu bagaimana gelombang itu pasang dan surut, tahulah ia bagaimana harus bersabar menghadapi keganasan hari-hari kehidupan dan tak akan pernah merisaukan turunnya bala serta tak akan pula pernah begitu kaget dengan kegembiraan yang terkadang datang begitu tiba-tiba.”     

Dari setiap kondisi dan situasi yang telah menjadi ketetapan Allah, ada sejuta hikmah yang dapat kita petik. Dari titik inilah seharusnya kita tanggap untuk menentukan langkah selanjutnya dan mengevaluasi kembali setiap langkah yang telah dilakukan. Setiap ketidakmungkinan adalah sebuah keniscayaan yang akan terjadi bila Allah telah menghendaki.

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Qs. An Najm, 53:39)

Mimpi merupakan sebuah spirit yang memotivasi kita untuk bergerak dalam realitas yang penuh dengan kehendak dan keinginan. Keimanan yang menggelora dalam jiwa mendorong kita untuk berjuang menghadapi realitas untuk menguraikan mimpi-mimpi. Bukankah realitas hari ini merupakan kontribusi dari mimpi-mimpi besar orang-orang berjiwa besar yang berjuang untuk menguraikannya. Sebesar apakah mimpi dan perjuangan untuk merealiasasikannya, maka sebesar itu pula hasil yang akan kita peroleh. “Jangan takut ....!!!” Bermimpilah dan hiasilah bumi ini dengan hasil perjuangan yang kita mimpikan. [Abi Farhan]

Posting Komentar

0 Komentar