Sebelum memasuki masa kampanye, INSTRAT mengadakan survei terhadap 1200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan cepat beberapa lembaga survei yang dirilis kemarin, maka akan terlihat perbedaan kondisi elektabilitas partai sebelum dan setelah kampanye.
Dari data tersebut, terlihat perbedaan terbesar adalah menurunnya suara Partai Golkar secara cukup drastis. Ini berarti Partai Golkar tidak berhasil memaksimalkan masa kampanye dengan baik. Peningkatan terbesar dialami oleh PPP yang berhasil meningkatkan suara selama masa kampanye. Selain PPP, hampir seluruh Partai Islam ternyata berhasil menambah jumlah suara selama masa kampanye.
Jika hasil QC dibandingkan dengan hasil pemilu 2009, peningkatan terbesar terlihat dialami oleh Gerindra dan PKB. Sedangkan penurunan terbesar dialami oleh Partai Demokrat. Partai Nasdem juga cukup fenomenal sebagai partai baru telah berhasil meraih suara sebagai partai papan tengah.
Peningkatan suara Gerindra dari Pemilu 2009 ke hasil saat ini nampaknya terjadi secara gradual dan berlangsung sebelum masa kampanye di mulai. Hal ini dikarenakan Gerindra dan Prabowo Subianto terlihat konsisten menampilkan diri ke publik, baik dalam bentuk iklan politik maupun keterlibatan dalam Pilkada, seperti DKI Jakarta. Sedangkan di masa kampanye justru suara Gerindra relatif tetap dengan sedikit penurunan
Pada kasus PKB, peningkatan suara terjadi sebelum masa kampanye dan ketika masa kampanye. Akan tetapi, perubahan signifikan nampaknya terjadi ketika PKB mulai menjalankan strategi pencapresan Rhoma Irama, Jusuf Kalla, dan Mahfudz MD. Strategi ini dijalankan sebelum masa kampanye dan sebelum survei dilakukan. Ini yang mengakibatkan suara PKB ketika survei juga relatif telah naik. Ketika masa kampanye, PKB memperoleh angin segar dengan masuknya Rusdi Kirana. Ini memudahkan PKB menggalang dana kampanye dan memaksimalkan masa kampanye yang tersisa.
Bagaimana dengan pengaruh pencapresan Jokowi? Kalau kita cermati, Elektabilitas PDI Perjuangan sebelum pencapresan Jokowi dengan hasil Quick Count tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan dugaan awal bahwa Jokowi tidak membawa pengaruh, berbeda dengan prediksi para pengamat politik. Para pengamat berasumsi fenomena tsunami Demokrat akan terjadi kembali ketika Jokowi dicapreskan.
Tidak adanya perbedaan suara antara sebelum deklarasi Jokowi dengan setelahnya bisa jadi disebabkan beberapa faktor.
Pertama, strategi capres bukan lagi strategi yang istimewa lagi. Hampir semua partai telah menggunakan strategi tersebut, berbeda dengan tahun 2009 ketika hanya Demokrat yang menggunakan strategi mendongleng suara SBY. Capres yang ditawarkan pun, meski tidak bisa meyaingi elektabilitas Jokowi, namun berhasil menawarkan pilihan bagi segmen yang berbeda. Ahmad Heryawan misalkan, berhasil meraih perhatian warga Jawa Barat sebagai satu-satunya Capres pituin. Mahfudz MD dari PKB berhasil memikat warga Jawa Timur bersama Ali Masykur Musa dari Demokrat. Sedangkan di luar Jawa terdapat Hatta Rajasa, Yusril Ihza Mahendra, Jusuf Kalla dan Anis Matta. Untuk kalangan berpendidikan rendah, pilihan Rhoma Irama berhasil menghadirkan alternatif lain. Ini membuat peta menjadi zero sum, dan akhirnya publik kembali melihat ke sosok caleg, bukan lagi capres.
Kedua, strategi Capres Jokowi pada dasarnya berhasil menambah jumlah dukungan dari nasionalis namun mengurangi dukungan dari kalangan Islam, sehingga secara umum suara PDI Perjuangan tidak berubah.Hal ini ditunjukkan dengan pengurangan suara Golkar serta stagnannya penambahan suara Gerindra, padahal sebelumnya suara Gerindra selalu meningkat secara gradual. Pada saat yang bersamaan hampir semua partai Islam mengalami peningkatan suara. Nampaknya ada kekhawatiran dari kalangan Islam terhadap pencapresan Jokowi, yang dipastikan akan menjadikan Ahok sebagai Gubernur jika terpilih sebagai Presiden.
(Jalu Priambodo, ST)
0 Komentar