Ridwan Kamil memutuskan maju menjadi calon Walikota Bandung, tanpa retorika politik. Ia ingin mengembalikan citra kota tempatnya dilahirkan.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mendukung seorang kandidat calon Walikota Bandung. Tulisan ini hanya menangkap fenomena kepemimpinan jenis baru yang mulai banyak muncul di negara kita. Fenomena Joko Widodo adalah awal itu semua. Kepindahannya dari Solo untuk memimpin Jakarta untuk membawa perubahan. Ternyata warga Jakarta cukup berani memberikan kesempatan padanya. Orang daerah lain, yang lebih dulu sukses memimpin dengan cara unik di daerahnya. Namanya yang besar dan wangi tercium sampai Jakarta. Kini Jokowi bukan hanya milik Solo, tapi juga warga Jakarta.
Itu yang terlihat saat sosok Ridwan Kamil, akrab dipanggil Kang Emil, memutuskan untuk maju menjadi calon Walikota Bandung. Tentu mengejutkan, karena ia sama sekali tidak terlihat ingin berkecimpung di bidang baru itu. Kami pikir ia akan tetap fokus di profesinya sebagai arsitek, dosen, sambil terus menggiatkan kegiatan Indonesia Berkebunnya yang kini sudah merambah 27 kota (awalnya cuma 2 kota). Dan sama seperti Joko Widodo, Kang Emil lebih dulu membuktikan keberhasilan dan banyak pencapaiannya sebelum memberanikan diri masuk ke ranah politik. Sama seperti Joko Widodo pula, kang Emil sangat didukung oleh keberadaannya di media sosial. Di mana suara-suara generasi muda yang mendukung perubahan banyak mengidolakannya.
“Saya tidak merasa status saya sekarang sebagai politikus. Kita manusia adalah mahkluk politik. Dalam tiap aspek hidup kita. Sayang, di negara kita politik praktis keburu mendapat kesan negatif. Saya maju karena saya ingin memperjuangkan hak saya sebagai warga. Pilihannya hanya dua, terus mengeluh atau bergerak dan membuat perubahan nyata. Saya ingin punya kewenangan lebih besar untuk bisa mengubah Bandung,” papar kang Emil saat kami hubungi.
Bandung, menurut kang Emil, sudah berada di titik darurat. Titik daruratnya adalah, infrastruktur yang tidak berkembang selama 20 tahun terakhir, jelasnya kemudian. “Apalagi sejak ada tol Cipularang, Bandung butuh perbaikan infrastruktur, kapasitas jalan yang lebih panjang dan besar,” lanjutnya. Sesuatu yang sangat kita pahami sebagai warga Jakarta yang kerap mengunjungi Bandung. Tidak ada jalan yang begitu lebar di Bandung, kan? Kondisi diperparah saat warga Jakarta ikut habiskan akhir pekan di sana.
“Di mana saya ditempatkan, saya selalu berusaha jadi yang terbaik, dan memberikan banyak manfaat,” jelas Kang Emil tentang pesan orang tuanya. Emil sadar kemampuan dan keilmuannya justru banyak dipakai di kota lain, bahkan negara lain, sementara ia membiarkan kota kelahirannya semakin sakit dan terpuruk. Kepopuleran dan keberhasilan sosoknya, membuat kang Emil banyak dikejar partai politik yang ingin memasangnya sebagai calon. Tapi kini ia sudah didukung dua partai besar yang rela tidak mengambil calon dari kader sendiri, memberikan kesempatan Emil untuk maju. “Bila saya terpilih, pendekatan yang saya lakukan pasti tata kota terlebih dahulu, karena kondisi darurat Bandung saat ini memang masalah tata kotanya. Sampah, banjir, kemiskinan, miskin drainase, tapi yang lain juga akan saya terus perhatikan.” Tiap jaman punya urgency-nya masing-masing, tambah Kang Emil.
Nama Ridwan Kamil bukan nama asing bagi pemerhati arsitektur dan hal-hal berbau kreatif. Sepak terjang Ridwan sebelum memberanikan diri maju sebagai calon Walikota Bandung, mirip dengan Joko Widodo yang sudah lebih dulu sukses memimpin Solo sebelum hijrah ke Jakarta. Kang Emil sudah sukses dengan Bandung Creative City Forum di mana ia menyulap kampung preman di Babakan Asih menjadi kawasan asri bernuansa seni. Kemudian Babakan Asih menjadi icon wisata jalan-jalan di Bandung. Gerakan Indonesia Berkebun mendorong banyak orang untuk kembali mencintai tanam menanam. Di mana Indonesia Berkebun berinisiatif menggunakan lahan kosong di perkotaan untuk berkebun, sehingga dapat memenuhi kebutuhan sayuran warga. Ridwan juga baru menerima Urban Leadership Award dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat (Februari, 2013). Ia adalah orang Indonesia pertama yang meraih penghargaan itu. Sosoknya sebagai pemimpin informal kota, atau komunitas, yang dianggap peduli dan berhasil memberikan solusi untuk sebuah wilayah.
Terkait dengan keberadaannya di media sosial yang dianggap banyak orang mampu mengumpulkan banyak suara, Kang Emil mengaku ia bersyukur sudah sejak lama ‘berada’ di twitter. “Tentu media sosial menjadi alat komunikasi yang efektif. Karena twitter pulalah, kegiatan Indonesia Berkebun bisa berkembang seperti sekarang. Media sosial menjadi kendaraan bagi gagasan-gagasan saya untuk bisa menjangkau siapa saja,” jelasnya. Bila calon Walikota Bandung lainnya baru membuat akun twitter saat akan berkampanye, Kang Emil tentu diuntungkan dengan jumlah followers twitter-nya yang hingga kini akan sangat efektif mendukung aktivitasnya sebagai calon Walikota Bandung. “Jujur sekarang saya nggak bisa seaktif dulu, karena sekarang juga aktif blusukan,” tambah Kang Emil.
Terlepas dari agenda politik yang nanti mengekori usaha Kang Emil untuk lebih dahulu membereskan tata kota Bandung, bila ia terpilih sebagai Walikota, sosoknya yang muda dan penuh inisiatif kreatif adalah tipe pemimpin yang bukan hanya Bandung, tapi semua kota butuhkan. Dengan elektabilitas tinggi, Kang Emil punya kans sangat besar untuk bisa memenangkan pemilihan nanti. Bisakah Kang Emil menggabungkan kepemimpinan kreatif dan bumbu politik dalam satu mangkuk yang sama, sekiranya ia terpilih? Seperti apa Bandung lima tahun kedepan – bila ia terpilih? Jalan-jalan di kota Bandung semakin lebar, atau factory outlet akhirnya menghilang? Diganti dengan fashion market yang lebih terpusat di satu wilayah untuk mengeliminasi kemacetan? Semua orang penasaran, termasuk kami.
Ridwan Kamil's image courtesy of attalicious.files.wordpress.com
0 Komentar