"Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggungjawab? Bila semua pihak menghindar, biarlah saya yang menanggungnya, semua atau sebagiannya."
Siapa yang tak ingat dengan kalimat tersebut dalam cuplikan film Sang Murabbi. Ya, kata-kata itu diucapkan ustad Rahmat Abdullah ketika ditanyakan mengapa ia mengajak para preman dan pemabuk untuk ikut mengaji. Sosok ustad Rahmat Abdullah yang menjadi tokoh sentral dalam film tersebut menjadi panutan bagi seluruh kader dakwah untuk tidak pernah berhenti dalam berdakwah, sesuai dengan puisinya tentang dakwah.
Memang seperti itu dakwah
Dakwah adalah cinta
Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu
Sampai pikiranmu
Sampai perhatianmu
Berjalan, duduk, dan tidurmu
Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah
Rahmat Abdullah dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 3 Juli 1953. Putra kedua dari 4 (empat) bersaudara ini hidup dari keluarga asal Betawi yang sederhana dan taat beragama.
Rahmat Abdullah muda sangat berbeda dengan teman seusianya saat itu. Beliau taat beribadah, disamping mempunyai karakter dan akhlaq yang mulia. Hari-harinya dihabiskan untuk belajar dan membaca. Kegemarannya membaca Al Qur'an dan berbagai macam buku membuatnya jauh lebih cepat matang dibandingkan dengan remaja-remaja pada umumnya. Kebersihan jiwanya telah mengantarkan Rahmat Abdullah menjadi pemuda pembelajar yang sangat cemerlang bagaikan sebuah lautan ilmu tanpa menyandang gelar. Beliau perpaduan antara khazanah ilmu-ilmu keislaman klasik dan pandangan Islam modern yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang sudah berlabel ustadz.
Dunia seni dan sastra sebagai media komunikasi budaya juga merupakan bagian yang tak lepas dari dirinya. Semangat hidup dan dakwah beliau tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
Sikap tegas beliau menjadikannya sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Anak-anak muda, preman, seniman semuanya dirangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering digelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah. Disinilah beliau sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto. Selepas pentas pun, tak ayal beliau dipanggil untuk menghadap KODIM.
Namun beliau justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya," ungkapnya menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya.
Sebagai da’i beliau habiskan waktu, tenaga serta pikirannya untuk berdakwah. Siang dan malam dilaluinya untuk berdakwah tanpa kenal lelah dan keluh kesah. Keasyikan dalam dakwah, rupanya menjadikannya tak sadar telah dimakan usia. Beliau baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah beliau menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32. Akhirnya beliau menikahi Sumarni, salah satu muridnya, yang setelah menikah memiliki panggilan kesayangan "nay".
Awal tahun 80-an, beliau memasuki dunia harokah Islamiyah yang saat itu mulai tumbuh di Indonesia dengan bermodalkan sepeda motor tua beliau keluar masuk kampung, keluar masuk kampus menabur fikrah Islamiyah yang shahih dan syamil. Fikrahnya ternyata mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PK. Proses perjalanan dakwah yang panjang dan berliku membawanya pada keterlibatan dalam dunia politik. Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah bagian dari dirinya. Beliau adalah salah satu pendiri dari partai yang berbasis islam intelektual itu. Di akhir hayatnya, beliau masih sempat mengikuti rapat Lembaga Tinggi PKS Selasa (14 Juni 2005) di Gedung Kindo Duren Tiga Jakarta Selatan yang dimulai ba’da Ashar sekitar jam 16.30 WIB tak ada tanda-tanda kalau beliau sedang sakit. Wajahnya cerah seperti biasa. Namun, ketika beliau wudhu untuk menunaikan shalat Maghrib, beliau merasakan sakit di sekitar kepalanya. Beliau wafat dalam usia 52 tahun, meninggalkan satu istri dan tujuh orang anak.
(Ishma)
0 Komentar