Tidak Seperti Memilih Kerupuk

Banyak orang yang menawarkan dirinya menjadi seorang pemimpin di tempat ia bermukim. Berbagai macam cara agar dapat memikat hati para rakyat, entah itu menggelontorkan uang tak berseri hingga hanya sebatas ketok rumah ke rumah.

Tahun 2018 ini mata dan telinga dipenuhi dengan informasi-informasi yang nilai kebenarannya abu-abu sebab cerdiknya setiap pesaing mencari celah agar bisa menjatuhkan lawannya. Bila melihat profil secara dekat akan mengetahui kebenaran informasi dan kapasitasnya.

Kepempinan adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang membahas tentang ini. Hal ini bisa dimengerti. Karena pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu masyarakat.

Ummi (memegang mic) sedang berbincang-bincang dengan para ibu

Istri Calon Wali Kota Bandung Siti Muntamah tak kehabisan energi, berkeliling menyapa warga, langkahnya terhenti di RW 8 Kelurahan Situsaeur, kecamatan Bojongloa Kidul, Siti Muntamah bersilahturahmi dan berbincang-bincang dengan tokoh dan majelis taklim Ar Roja.

Ummi panggilan akrabnya, menjelaskan pentingnya memilih sosok pemimpin sebab jika pemimpin itu tidak amanah maka imbasnya warga Kota Bandung mendapatkan kekecewaan dan mengoceh saat Kota Bandung tak sesuai harapan.

"Memilih pemimpin tidak seperti memilih kerupuk, tapi juga harus lihat bagaimana agamanya, bagaimana hubungannya dengan Al-Quran, bagaimana hubungannya dengan keluarganya," kata Ummi

Islam mengenal empat sifat yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin (wakil rakyat). Sifat ini menjadi sebuah keharusan untuk membentuk tatanan masyarakat. Jika salah satu dari keempatnya hilang, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan. Korbannya, lagi-lagi, adalah masyarakat.

Empat sifat itu adalah, pertama, Shidiq. Makna sederhananya adalah kejujuran. Hal ini merupakan sikap utama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat. Tapi, bukan sekadar jujur. Shidiq ini memiliki arti yang lebih luas lagi, yakni sebuah sikap dalam menjalankan segala tugas dengan asas keterbukaan informasi (akuntabilitas) dan tanpa kecurangan.

Lawan dari sikap ini adalah kebohongan. Bayangkan saja, bagaimana jika seorang wakil rakyat terbiasa berbohong? Bagaimana sebuah negara ingin sejahtera dan maju jika pemimpinnya suka berbohong dan kerapkali menutupi fakta yang harus diketahui masyarakat, serta memutarbalikannya seenak sendiri.

Untuk itulah, islam sudah selayaknya menempatkan sifat ini posisi pertama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat.

Kedua adalah Amanah. Artinya, adalah kemampuan untuk menjaga segala sesuatu yang dipercayakan. Tentu kita sering mendengar, bahwa kepemimpinan merupakan sebuah amanah. Hal ini memiliki makna yang besar, bahwa menjadi wakil rakyat ia harus dituntut untuk selalu bertanggung jawab. Tanggung jawab ini bukan hanya kepada rakyat yang mengutusnya, tapi juga tanggung jawab kepada Allah Swt.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Ketiga adalah Fathonah. Makna sederhananya adalah cerdas. Dalam islam, seorang pemimpin haruslah seorang yang cerdas. Cerdas ini bukan sekadar urusan intelektual belaka, lebih itu, seorang wakil rakyat dituntut untuk handal dan taktis dalam menghadapi segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Bukan malah menjadi corong segala kerusakan atau malah jadi penghasut di tengah masyarakat.

Keempat, Tabligh. Sederhananya, sifat ini adalah penyampai yang baik. Banyak juga yang memaknainya sebagai komunikasi. Tapi, kita dapat mengartikan sifat ini sebagai bentuk penyampaian secara jujur, sekaligus bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (transparansi). Kata ini sering diperlawankan dengan menutupi atau melindungi kesalahan.

Seorang wakil rakyat tentu tidak boleh menutupi kesalahan yang ia perbuat, apalagi menutupinya. Inilah yang disebut pemimpin dzolim dalam islam. “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].



Posting Komentar

0 Komentar