pksbandungkota.com - Di
dunia bisnis, pernah ada jargon yang mengatakan “The Power of Rp 500,-”, yang kurang lebih mempunyai makna: jika masyarakat
sedang mengalami krisis ekonomi, sehingga uang sebesar Rp 500,- pun sangat
berharga.
Saat
krisis terjadi, banyak perusahaan besar yang membuat kemasan baru untuk
produk-produk mereka, dikarenakan lesunya pasar. Dan kemasan baru itu ialah
kemasan sachet. Kemasan ini membantu penjualan para perusahaan besar itu, dan
menyelamatkan mereka dari penjualan yang merosot tajam. Produk-produk yang
menggunakan kemasan sachet ini bukan hanya produk untuk kelas C – D saja, tapi
juga produk-produk yang dicitrakan sebagai kelas A-B, mulai dari shampo, hingga
minuman cepat saji. Semua memanfaatkan celah ini dan berlomba-lomba membuat
kemasan sachet secantik mungkin dan tersedia sebanyak mungkin di pasaran[1].
Hasilnya?
Penjualan terdongkrak. Perusahaan senang karena konsumen tidak lari ke lain
hati, dan konsumen juga senang karena dengan bujet terbatas, mereka masih bisa
memenuhi kebutuhan sehari-harinya tanpa harus meninggalkan kebiasaan untuk
mengkonsumsi produk tertentu. Ini adalah win-win
solution. Benar begitu?
Bagi
lingkungan, setidaknya hal tersebut bukan hal yang menguntungkan. Jumlah sachet
yang beredar berbanding lurus dengan jumlah sampah yang ditimbulkan. Meski saya
tidak mempunyai data mengenai hal tersebut, namun sangat logis jika jumlah
sachet yang beredar menambah jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat. Kemasan
sachet juga menunjukkan masyarakat yang semakin modern dan menyukai hal-hal
yang instan. Kemasan satu kali pakai, lalu buang.
Kemasan
besar/bulky tampak sebagai salah satu
solusi pengurangan sampah, sekaligus sebagai bahan setor ke tabungan bank
sampah. Kenapa begitu? Kemasan besar biasanya terbuat dari jerigen (jika cair
seperti minyak, sabun cuci cair, pelembut, dll), dan jerigen bisa dijual ke
bank sampah. Kemasan besar lain juga bisa terbuat dari gelas kaca, misal kecap,
bisa dijual dan dihitung per kg. Kemasan besar lainnya misal terbuat dari
plastik agak lebar, bisa dimanfaatkan oleh komunitas pengrajin untuk jadi tas
kecil atau tas belanja sedang. Kemasan lain yang besar bisa juga berbungkus
karton, yang bisa didaur ulang, dipakai ulang, atau bahkan dijual. Intinya,
kemasan besar biasanya lebih bisa dimanfaatkan kembali.
Sayangnya,
kemasan bulky ini memang tampak lebih
mahal. Padahal, jika kita hitung secara seksama, kemasan ini justru lebih
ekonomis dibanding kemasan yang berlabel “ekonomis”. Gubernur Jawa Barat, Ahmad
Heryawan, pernah mengutarakan bahwa pembangunan yang tidak memperdulikan
lingkungan ialah paradigma kuno[2]. Mungkin saatnya perusahaan
besar mengambil tanggung jawab pengolahan sampah dari hulu hingga hilir, yaitu
mulai dari produksi hingga konsumsi akhir oleh masyarakat, misalnya dengan
gerakan menyetorkan kembali kemasan lama untuk mendapatkan potongan harga, atau
mulai mengambil peran melalui pembiayaan pengolahan dan pengelolaan sampah yang
kita tahu tidak sedikit menelan dana pemerintah.
Nah
sekarang, jika kita berada di posisi yang bisa memilih antara sachet atau tidak
sachet, mana yang akan kita pilih? (LH)
0 Komentar