sumber : Google |
Teringat kala SD, kebagian
tugas membacakan Pembukaan UUD 1945. Langkah tegap dan sigap membuka map, lalu
dibentangkan ke depan dengan penuh semangat membacanya. Kalimat yang melekat di
kepala sampai remaja, bahkan dewasa sampai hari ini adalah, “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
diatas dunia harus dihapuskan”.
Kalimat dari alinea awal
tersebut, bukan dibuat kebetulan dan main-main. Pendiri bangsa ini sudah
betul-betul memusyawarahkan sehingga keluar kalimat yang membuat merinding ini.
Saya sih membayangkan bahwa panitia 9 yang dibentuk BPUPKI ini, yang 8 orang
diantaranya adalah muslim yang shalih, mereka selalu meminta petunjuk pada
Allah agar dimudahkan dalam membentuk susunan kalimat yang bukan sekedar
rangkaian kata-kata biasa, tapi kalimat sarat makna karena ke depannya akan
dijadikan sebuah Konstitusi sebuah Negara yaitu INDONESIA.
Tatapan mata belia saya,
ditambah gelora jiwa yang membahana kala upacara itu, serasa memiliki ruh dalam
membacakannya. Pesan yang disampaikan yang menambah nilai sakral sebuah
kebiasaan yang namanya Upacara Bendera tiap hari senin, sepertinya menuai sedih
di hari ini. Hari ini negeri tercinta
bagai tak sanggup mewujudkan kalimat sakti yang tercantum di Muqadimah UUD
1945, yang asalnya merupakan Piagam Jakarta ini. Penjajajahan diatas dunia yang
harus dihapuskan, agaknya bagai selogan belaka. Karena sesungguhnya kita
seperti digiring untuk mewujudkan daerah jajahan asing lagi.
Berita di berbagai media tak
bisa dipungkiri, kalau ternyata jengkalan tanah yang diperjuangkan oleh
pahlawan bangsa ini akan tergadai kepada cukong-cukong asing yang diberikan
keleluasaan oleh sang Raja. Perjuangan dan tumpahan darah dalam nuansa merebut
kemerdekaan, sepertinya hanya ada dalam pelajaran sejarah di sekolah - sekolah.
Ironis dan Pragmatis.
Usia merdeka bumi pertiwi
yang ke-71, sejatinya belum sepenuhnya terbebas dari penjajahan. Problematika
bangsa yang beraneka wajah, seolah berlomba menghampiri dan menyatu dalam
sebuah keterpurukan. Bukan hanya melulu ekonomi, tapi negeri ini sedang
mengalami krisis di segala lini. Tengok saja dalam setahun terakhir ini,
berbagai masalah muncul menghiasi layar kaca. Kasus pemerkosaan Yuyun hingga
tewas, benar-benar mengoyak hati para orang tua. Was-was dan rasa takut yang
membayangi para ibu, senantiasa membayangi dalam pikiran. Belum lagi masalah
LGBT yang selalu menarik dibicarakan, hal ini juga membuat ngilu tak terperikan
bagi insan-insan yang memegang teguh norma Agama.
Kaum remaja masa kini,
dengan gaya yang memperihatinkan adalah buah dari penjajahan asing uang selama
ini tidak kita sadari. Kalaulah dulu, mereka terang-terangan mengeruk hasil
alam dan mendudukinya secara lahiriah, tapi penjajah masa kini menelusup masuk
ke ruang-ruang pribadi yang bernama televisi. Tayangan sinetron yang menjual
gaya hedonisme yang diperjuangkan kaum sekuler, telah mendapatkan tempat di
hati kawula muda. Di kalangan Netizen, kita dikagetkan dengan sosok Awkarin
yang telah menjelma menjadi idola para remaja. Menjadi idola bukan karena sosoknya sebagai gadis
ceria berhijab yang tinggal di kepulauan Riau dengan prestasi luar biasa dengan
Nem tertinggi yang rata-rata nilainya 9,5.
Tapi Awkarin telah menjadi sosok terkenal dan fenomenal justru setelah
terperosok ke dunia sekarang, yang jauh ketiak 3 tahun lalu berprestasi. Disini
saya tak akan membahas jauh tentang gadis ini, silahkan deh cari sendiri. Hanya
yang menjadi perhatian, betapa rapuhnya moral bangsa ini yang sangat gampang
terpengaruh dunia luar.
Siapa yang harus
dipersalahakan ? Yang jelas jangan sampai menyalahkan pendahulu bangsa ini,
yang telah bersusah payah ingin menjadi bangsa beradab dan disegani di mata
dunia. Banyak elemen yang harus bersatu padu untuk menyelamatkan negeri
tercinta ini. Keluarga dan orang tua yang sangat punya peranan sentral
dalam melahirkan pribadi tangguh di masa
datang, betul-betul harus kembali pada tatanan nilai dan norma Agama yang
serasa kendur selama ini. Setelah keluarga barulah peran sekolah yang membawa
anak terbentuk menjadi teladan dalam kehidupannya. Ini betul-betul harus
menyatu, karena lingkungan kondusif di sekolah tapi situasi rumah yang carut
marut, maka akan terjadi ketimpangan.
DIRGAHAYU NEGERIKU,
DIRGAHAYU BANGSAKU.
(Tiesna)
(Tiesna)
0 Komentar