Taubat Paradigma


Oleh : Miarti Yoga

(Early Childhood Consultant)


Dear Ayah Bunda. Senang rasanya, saya masih bisa mengakrabi Ayah Bunda sekalian. Banyak hal yang ingin saya bagikan dalam setiap kali majalah ini terbit. Semoga semangat pengasuhan kita terjaga selamanya.
Ayah Bunda yang berbahagia... Tanpa sadar kita membatasi impian anak dengan cara memberikan pendapat yang melemahkan, mengsubordinatkan dan memvonis buruk terhadap minat atau hobi yang digelutinya. Konteks seperti ini banyak ditemukan pada beberapa orangtua dimana anaknya menekuni jenis profesi atau pekerjaan atau lahan bisnis atau dan semacamnya yang tidak sesuai dengan harapan orangtua atau tidak sesuai dengan standar yang berlaku di lingkungan.
Contohnya, mereka melarang anaknya untuk berbisnis dan lebih baik menjadi pegawai tetap, padahal dia yang dilarang berbisnis itu jauh lebih memiliki mental bisnis dan akan lebih melesat kehidupan ekonominya dengan cara berbisnis. Atau ada juga yang berpendapat bahwa berkarya di dunia akademis pasti sangat baik, padahal kelebihan anaknya berada dalam rumpun kreatif. Atau, ada juga yang menegaskan bahwa politik itu kotor sehingga sangat mewanti-wanti anak-anaknya untuk  bergelut di perpolitikan, padahal mereka seorang negosiator dan cerdas membuat keputusan.
Jika contoh diatas, terjadi pada pada para orangtua dimana anak-anaknya sudah dewasa, lain halnya dengan para pasangan muda yang putra-putrinya yang masih relatif anak-anak. Sampai saat ini masih banyak ditemukan, dimana orangtua bersikukuh mendaftarkan putra-putrinya ke sebuah lembaga les atau kursus tertentu dengan harapan supaya memiliki skill yang mumpuni, tanpa peduli terhadap minat atau kemistri anak-ananya di bidang apa. Sehingga anak yang jelas-jelas hobi melukis, malah diikutsertakan latihan bela diri hanya karena mengikuti ramainya para tetangga yang mendaftar. Lebih tidak manusiawi lagi, ketika ada sebagian orangtua yang dengan setengah memaksa mendaftarkan putra-putrinya yang baru kelas satu di bangu Sekolah Dasar untuk mengikuti les bimbingan belajar untuk mata pelajaran tertentu dengan motif supaya dapat mengungguli ranking teman-temannya di kelas.
Dengan dua contoh inilah, kiranya menjadi ladang refleksi bagi kita bahwa setiap anak memiliki kecenderungan yang berbeda. Selain itu, cara terbaik anak belajar adalah dengan cara memaknai dan memahami konsep, bukan sekadar hafal atau menguasai sebuah urutan. Dan yang dibutuhkan anak itu bukan ranking yang sempurna, melainkan mental. Atau dalam istilah lain, proses belajar itu bagian dari mental. Dan mental itu akan menjadi karakter ketika terbangun, terlatih, dan terkontrol. Contoh kecil, pelaksanaan shalat. Jika tidak dikenalkan dari kecil, jika tidak dibiasakan, dan jika tidak dikondisikan untuk sama-sama menunaikan, tentu tidak akan serta merta menjadi karakter. Begitu pun dengan keakraban dengan wawasan dan pengetahuan. Manalah mungkin akan melekat begitu saja, dan mana mungkin pula anak-anak kita akan haus denga wawasan, jika sejak kecil mereka tidak diakrabi dengan buku, dengan cerita, dengan hikmah-hikmah, dan sejenisnya. Sementara kita berharap dengan begitu pragmatis bahwa dengan mendaftarkannya ke sebuah lembaga bimbingan belajar, akan membuatnya menguasai banyak hal. Yuk kita arif menyikapi. Apakah hal ini semacam ini tidak serta merta? Sudahkah mental kecintaannya terhadap buku terbangun jauh-jauh hari?
Ayah Bunda…. Satu lagi contoh terkait kesalahan pola piker kita tentang anak-anak, dimana setiap merekaa yang hendak masuk ke jenjang Sekolah Dasar, harus sdah mampu membaca, menulis dan berhitung. Padahal sejatinya, hal ini bertolak belakang dengan aturan pemerintah. Dalam hal ini, kembali saya meyakinkan ketidaksetujuan saya terhadap paradigma bahwa anak itu ada yang pintar dan ada yang bodoh. Suatu pagi saya mengakrabi siswa kelas satu SD. Sekadar brain stormin" tentang pengelompokkan kosakata, saya meminta mereka menguraikan sebanyak-banyaknya kosakata berdasarkan perihal yang saya lemparkan. Contoh, perihal makanan, binatang, pekerjaan, dan lain-lain. Sadar akan perbedaan lemampuan mereka dalam menulis, saya mentoleransi satu anak untuk menyebutkan terlebih dahulu kosakata yang dia dapati secara spontan, lalu saya bantu menuliskan di papan tulis.
Namun apa yang terjadi, sang anak yang justru saya bantu membuatkan contoh penulisan kata yang dia sebutkan, justru menyampaikan beberapa kosakata yang membuat saya semakin yakin bahwa di cerdas. Untuk kelompok makanan, dia sebutkan "bubur ayam spesial", yang tak terucapkan oleh teman-temannya. Pun untuk kelompok pekerjaan, dia sebutkan "khatib". Padahal yang lain yang notabene lebih mahir menulis, cukup menyebutkan polisi, dokter, dan profesi yang familiar. Terakhir, masih untuk kelompok pekerjaan, dia sebutkan "perancang aplikasi handphone". Hati saya pun serentak berucap "wooow", lalu saya beri dia acungan jempol sambil berkata ; "Ayo Nak, sebutkan lebih banyak lagi. Tak perlu ragu untuk berpikir dan menyampaikan."
Kiranya, lagi-lagi ini menjadi sebatang refleksi bahwa setiap mereka itu tak terduga dan tak terkira kehebatannya. So, jangan biarkan kita meneriaki kelemahannya. Karena bongkahan gagasan berlian ada padanya.
Ayah Bunda… Yuk sama-sama sama-sama merefleksi, bahwa kita tak  harus terjebak dengan keinginan kita yang sepihak, bahwa kita tak perlu menyamaratakan potensi setiap  anak, bahwa kemampuan mengusai pengetahuan itu bukan satu-satunya mahkota yang menjadikan mereka berpredikat “hebat”, bahwa banyak sekali benih-benih kesuksesan yang bisa kita pupuk dari setiap sisi kelebihan mereka, bahwa begitu melimpah aneka profesi yang kelak dapat mereka seriusi.  Lalu, kenapa kita tidak lebih berpikir terbuka dan mencoba bertaubat paradigma...
Semoga semangat pengasuhan Ayah Bunda tetap terjaga dan menjadi spirit tersendiri bagi geliat berkarya anak-anak kita. Salam sayang untuk Ananda.
Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar

0 Komentar