AGUL KU PAYUNG BUTUT


google




oleh : Miarti Yoga

(Bidang Seni Budaya DPD PKS Kota Bandung)

Satu lagi fenomena bangsa kita adalah sikap narsis. Sikap yang sebetulnya wajar. Bahkan bisa jadi menuai banyak manfaat jika pesannya berupa isnpirasi. Namun menjadi tak wajar saat kebiasaan itu berlebihan dan bertolakbelakang dengan kondisi yang sebenarnya. Contoh yang mengemuka adalah fenomena pencitraan. Pencitraan inilah yang termasuk ke dalam sikap narsis tak wajar. Karena itikadnya, semata-mata untuk pamer. Pun kesan yang diterima publik, sangat nyata sebagi sebuah konteks “seolah-olah”.
Tentang sifat narsis, Andrew Morisson berpendapat bahwa bila seorang manusia memiliki sifat narsis dalam kadar yang cukup maka akan membuat hidupnya seimbang. Ini berlaku sebaliknya. Artinya, jika kadar narsisme dibuat berlebihan, maka akan sangat mengganggu terhadap kehidupan bersosial. Karena, dengan sendirinya atau secara refleks, orang-orang berpribadi narsis, baik secara perlahan maupun reaktif, akan dijauhi oleh lingkungan sekeliling. Bagaimana tidak, karena orang-orang narsis terbiasa mengedepankan kepantasan pribadi, terbiasa untuk habis-habisan memunculkan dan menjaga kharisma, terbiasa menonjolkan harta, terbiasa membanggakan paras atau ketampanan, terbiasa tampil dengan elegan, terbiasa mencari perhatian orang sekitar, serta terbiasa  memastikan agar dirinya selalu lebih eye catching dari orang lain walau dengan cara apapun mengupayakannya.
Pun dengan konteks bangsa kita dimana sekian permasalahan dan aneka kasus mengemuka dari masa ke masa. Bila keaadannya demikian, bisa disimpulkan bahwa kadar narsisme bangsa kita jelas-jelas sudah berkelebihan, dimana kerugian dan dampak negatifnya lagi-lagi harus ditelan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali.
Tahun 2012, barangkali publik masih teringat dengan rencana DPR untuk merenovasi gedung. Menyusul kemudian, rencana untuk memperbaiki toilet dengan estimasi dana sekian miliar rupiah. Adapun motif dari rencana tersebut, konon untuk mengejar sebuah kepantasan. Tidak jadi soal sebetulnya mengejar kepantasan sebuah lembaga tinggi negara dengan berbagai upaya yang perfect. Tetapi menjadi sangat ironis akhirnya ketika rencana tersebut dibuat diatas sebuah kondisi permasalahan negara yang belum tertuntaskan. Sebut saja, kemiskinan, ketidakberdayaan, ketergantungan, dan kesimpangsiuran.
Memang wajar adanya, ketika penyakit narsisme mewabah di negeri kita yang sudah jelas kaya akan kasus. Karena kalau terkait sifat narsis sendiri, sebetulnya sudah menjangkiti individu manusia di hampir seluruh belahan dunia. Hal ini dibeberkan oleh Jean M Twenge dan W Keith Campbel dalam buku The Narcism Epidemic: Living in the Age of Enlitlement. Ini artinya, jika di luar negeri saja yang konon pengelolaan negaranya sudah jauh lebih sistematis dan mekanistis tetapi masih terjangkiti wabah narsisme, apalah lagi dengan bangsa kita yang sudah jelas-jelas pragmatis, massif dan obsesif. Tentu narsismenya menjadi sebuah epidemik tersendiri.
Selanjutnya, sudah bukan lagi cerita dari negeri dongeng ketika ada orang atau ada pihak yang habis-habisan mengeluarkan dana untuk mendongkrak kemenangannya di kompetisi pencalonan anggota legislatif. Untuk tujuan apalagikah kalau bukan untuk sebuah obsesi narsisme. Bahkan hal-hal tak wajar yang menyelingkuhi hukum pun ditempuhnya dengan leluasa. Contoh sederhananya, politik uang, transaksi posisi, memberi iming-iming yang menggiurkan, dan lain-lain.
Kedudukan, jabatan, dan posisi-posisi penting lainnya memang telah menjadi obsesi narsisme bagi sebagian besar masyarakat bangsa kita. Dan hanya sebagian orang atau sebagian pihak saja yang motif utamanya adalah untuk sebuah pengabdian atau untuk sekadar aktualisasi diri. Bahkan kedudukan itu dengan sendirinya menjadi batu loncatan menuju sebuah kepuasan materi. Padahal kalau direfleksi, negara kita sudah terlalu berbeban menanggung aneka kebutuhan. Maka betapa semakin berbebanlah bangsa kita ketika ada tugas tambahan untuk mengakomodir aneka kepentingan. Dan lebih ironis lagi ketika para elit yang berkepentingan untuk menempati sebuah posisi pemerintahan, dengan mudahnya mengatasnamakan ketimpangan dan keterpurukan yang ada untuk ia perjuangkan dan tuntaskan. Seoalah-olah, merekalah yang paling mampu mengembalikan kondisi bangsa yang tengah carut cemarut. Seolah-olah, merekalah yang paling mampu membenahi sistem pemerintahan terbaik. Seolah-olah, merekalah yang paling memungkinkan mengentaskan kemiskinan yang bergelimpangan dimana-mana.
Cukup mengerikan rasanya menyaksikan narsisme bangsa kita yang sudah mewabah ke hampir semua lini. Ini sebuah penyakit kronis yang tak cukup hanya untuk ditonton. Melainkan perlu banyak lakon-lakon perubahan yang dimunculkan, dimana para lakon itu semangat berkarya dan ikhlas bekerja serta tidak sekadar cerdas dalam retorika.
Maka terbukalah kita pada peta politik yang ada. Jangan sampai terjebak pada performa. Jangan pula terjebak pada retorika. Karena performa dan retorika belum sepenuhnya bisa dijadikan indikator kualitas calon penegak pemerintahan yang adil. Pertimbangkan kembali pilihan kita, sehingga tidak jatuh pada elit yang keberadaannya laksana Narcis yang melegenda dalam The Alchemist-nya Paolo Coelho. Narcis habis-habisan menjaga kharismatiknya, walau dengan cara-cara arogan sekalipun. Ia  menghabiskan waktunya hanya untuk mematut-matut diri, mencermati bayangan diri dan melakukan penolakan terhadap setiap perempuan cantik yang mengaguminya sebagai pertanda kegagahan dan keeksklusifannya.
Barangkali kita semua sepakat untuk menolak pemerintahan yang berkutat pada panggung narsis, dimana para lakonnya sibuk mematut-matut citra dirinya. Dan rupanya kita perlu lebih analitis dalam mencermati fenomena yag ada. Dampak politik narsis bersayap ke berbagai ranah kehidupan, mulai dari ranah hukum, pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain. Cara berpikir narsis, melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang seringkali tidak bersubstansi. Perubahan kurikulum, perubahan mekanisme ujian nasional, perubahan manajemen pelayanan kesehatan, dan lain-lain, malah cenderung membingungkan dan berdampak pada tumbuh suburnya sifat-sifat pragmatis dan kekanak-kanakkan.
Dan pengembangan-pengembangan yang dialakukan pun lebih berupa pengembagan fisik yang hanya berupa polesan, bukan pengembangan sumber daya manusia yang keterandalannya jelas-jelas diperlukan untuk mengorkrestasi negeri ini menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi. Bahkan upaya penataan kota untuk lebih tampil lebih cantik pun kadang-kadang hanya untuk obsesi piala adipura atau karena hendak disambangi tamu dari luar negeri. Alluhualaam. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar

0 Komentar