![]() |
Sumber Gambar: indobeta.com |
Jika Manusia menelantarkan pendidikan, dia akan menjalani hidup yang memalukan hingga akhir hayatnya -Plato
If a man neglects education, he walks lame to the end of his life. - PlatoDeprivasi relatif. Caroline Sack adalah tokoh yang diceritakan di buku Malcolm Gladwell berjudul David and Goliath. Caroline termasuk mahasiswa cerdas. Dia memilih Universitas Brown untuk berkuliah. Dia cukup cerdas, tapi ternyata kawan-kawannya lebih cerdas. Dan dia merasa kaget akan hal tersebut. Siswi terpintar ini tiba-tiba mendapat nilai rendah di kelas. Dia merasa dirinya bodoh, putus asa, dan memutuskan menyerah. Cita dan cintanya pada sains hancur. Dia pergi meninggalkan bidang yang dicintainya. Ketika ditanya, apa yang terjadi bila Caroline memilih universitas lain, bukan universitas favorit? Dia menjawab “ Saya bakal masih di bidang Sains”
Memasuki perguruan tinggi favorit
menyimpan resiko tersebut. Kita akan bersaing dengan para raksasa. Kita beresiko
akan dilumat habis karena merasa diri tak akan mampu bersaing. Apakah masuk ke
sekolah dan kampus unggulan seperti ITB,
UNPAD, UI, UPI, dan PTN lainnya selalu lebih baik?
Buku tersebut menceritakan sebuah
kampus favorit, kita sebut kampus A dan kampus tidak favorit (Kampus Z).
Kemudian peneliti menilai bagaimana pencapaian akdemik mahasiswa di kedua
kampus. Penilaian diberi index dengan nilai 0 berarti rendah dan semakin besar
nilainya semakin baik.
Ranking
|
1
|
2-5
|
6-10
|
11-15
|
16-20
|
21-25
|
26-30
|
31-35
|
36-40
|
40-100
|
Kampus A
|
4,31
|
2,36
|
1,47
|
1,04
|
0,71
|
0,41
|
0,30
|
0,21
|
0,12
|
0,07
|
Kampus Z
|
1,05
|
0,31
|
0,12
|
0,06
|
0,04
|
0,02
|
0,01
|
0,01
|
0,00
|
0,00
|
Untuk masuk ke kampus A tentu
tidak mudah. Ranking 100 dari kampus A diperkirakan lebih cerdas daripada
Ranking 1 kampus Z. Tapi kita lihat pencapaian akademiknya. Ranking 1 kampus Z
lebih tinggi nilainya daripada ranking 11 kampus A (1,05 > 1,04). Ranking
100 siswa kampus A adalah siswa yang berada di lingkungan yang salah akhirnya
dia menjadi siswa “underdog” dan terlihat tidak pintar. Padahal mungkin bila
dia masuk kampus Z (dan tentu dia mampu melewati passing gradenya), kisahnya
akan berbeda. Setidaknya dia punya nilai 1,05. Dia punya potensi menjadi hebat
tapi lingkungan mencampakkannya dan membuat dia terlihat sebagai orang kalah. (Penjelasan
dari tabel ini bisa dilihat lebih jelas di buku David and Goliath halaman 88
atau analisis yang kontra dapat dilihat di sini : http://statisticalideas.blogspot.com/2014/01/david-and-goliath-in-phd-programs.html)
Saya masih ingat dulu di SMP
kelas 1 ketika baru lulus SD, ada teman SD yang menelepon saya dan memberi
kabar bahwa dia masuk ranking 3 besar di kelasnya. Sedangkan saya ranking 10 di
SMPN 5 Bandung. Kami beda sekolah. Padahal dulu di SD saya selalu ranking 5
besar dan kawan saya tersebut tidak masuk 10 besar. Saya ikut bahagia. Beliau
menemukan kolam yang tepat untuk berenang
dan berprestasi. Sehingga tidak perlu dihantui perasaan kalah terus.
Deprivasi relative. Kita
memandang diri kita tergantung lingkungan kita. Saat lingkungan kita terlalu hebat, kita akan membentuk citra diri sebagai orang bodoh.
Optimis
Bagi kawan-kawan dan adik-adik
yang gagal masuk sekolah unggulan atau Perguruan tinggi favorit, jangan
bersedih. Bisa jadi Allah sedang melindungi kita dari menjadi seperti Caroline.
Kita ditempatkan di sekolah dan kampus yang tepat agar kita mendapatkan kolam
yang tepat. Sehingga kita bisa mengoptimalkan potensi diri kita, mengeluarkan
prestasi terbaik kita, tanpa harus dihantui perasaan bodoh. Jadi mari tetap
bekerja keras di sekolah baru kita. Kita harus dapat nilai yang bagus, ikut
berbagai lomba, ahli dalam bidang kita, dan membuat ilmu kita bermanfaat untuk
peradaban manusia.
Fokus
Bagi kawan-kawan dan adik-adik
yang berhasil masuk sekolah unggulan atau Perguruan tinggi favorit,
berhati-hatilah, pertarungan baru saja dimulai, badai baru akan meniup,
persaingan yang akan kau hadapi akan membuatmu kaget. Jadilah pemenang bila
bisa jadi pemenang. Bilapun tidak bisa, tetap fokus dan ikhlas. Dirimu adalah
dirimu apapun kondisi lingkunganmu. Kau tetap pintar, meskipun rankingmu
rendah (Dibandingkan orang lain yang
lebih pintar). Mari buat prestasi semampu yang kita bisa sesuai keunikan diri
kita.
Unggulan dan Tidak Unggulan
Baru-baru ini pemerintah
mensosialisasikan tentang konsep KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia). Singkatnya kerangka tersebut membuat semua institusi pendidikan
mempunyai kualitas standar yang sama. Bahkan orang yang tidak kuliah pun bisa
memiliki sertifikat yang senilai dengan ijazah kuliah. Karena saat bekerja,
mereka mendapatkan ilmu dan pengalaman yang sulit didapatkan di bangku kuliah.
Seharusnya dari kampus manapun kita lulus, kita akan melalui proses yang sama,
dan mendapatkan hasil yang sama. Konsep unggul dan tidak unggul menjadi tidak
relevan lagi.
Saya pernah mengajar matematika
seorang siswa SMP di Cimahi. Saya tahu betul SMP nya bukan SMP unggulan. Namun
saya bisa merasakan bahwa anak tersebut berbakat menjadi jago matematika. Di
manapun kita bersekolah, kita akan mampu sukses asalkan mau berproses.
Ada kisah lain, seorang bernama
Stephen Randolph, seorang yang cerdas. Ia belajar Aljabar SMA sejak kelas 4 SD.
Waktu SMP ia sudah belajar sains SMA. Wajar jika saat lulus SMA ia diterima di
dua kampus elit; Harvard dan MIT. Ia
memilih MIT. Namun ia sama frustasinya dengan Caroline. Saat tingkat tiga ia
belajar mekanika kuantum dan mendapat nilai B minus. Ia merasa bodoh karena
sepertinya teman-temannya dengan mudah mengerti. Sulit untuk merasa pandai di
sana. Pada akhir tahun ketiga kuliah, Randolph memutuskan ikut ujian masuk
sekolah hukum. Sesudah lulus dari sana, dia bekerja di kantor pengacara di
Manhattan. Harvard kehilangan satu ahli fisika dan memberi satu lagi pengacara.
“Bidang saya sekarang hukum pajak,” kata Randolph. “Lucu. Ada banyak mahasiswa
matematika dan fisika yang akhirnya masuk hukum pajak.”
Semua fakta dan opini di atas
demikian kuat saya rasakan. Mengapa? Karena saya pun menjadi salah satu
“korban” meskipun tak seekstrem Caroline dan Randolph. Saya mengawali SD di
sebuah SD Percobaan yaitu SDPN Setiabudhi. Di kota Bandung setahu saya hanya
ada 3 SDPN. Melanjutkan di SMP Unggulan, SMPN 5 Bandung, lalu ke SMA Unggulan;
SMAN 3 Bandung dan akhirnya berkuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung)
jurusan yang termasuk favorit; Teknik Industri. Terkesan jalur akademik yang
lancar. Tapi kenyataan tak semudah itu. Saya menjalani proses kuliah sebagai
mahasiswa klasemen bawah. Saya heran mengapa kawan-kawan saya seperti dengan
mudahnya memahami penjelasan dosen yang rumit. Saya gagal di matakuliah Kimia
dan Matrix Ruang Vektor. Nilai kuliah Inti bernilai B saya dapatkan dengan
susah payah. Jika ada 160 Mahasiswa sepertinya ranking 100 pun saya tak sampai.
Akhirnya saya lulus dengan IP yang kurang; di bawah 3. Terlihat aneh bukan, SMP
dan SMA unggulan tapi tak begitu sejahtera nilai kuliahnya. Deprivasi relative.
Jadi kepada adik-adik dan
kawan-kawan semua. Di manapun kita diterima bersekolah dan kuliah sekarang,
yakinlah bahwa itu kabar gembira untuk kita semua dari Allah. Bukan karena
Kulit Manggis ada Ekstraknya, tapi karena kita punya peluang berhasil yang
sama. Mari berkarya, berprestasi, dan belajar dengan giat. Allah Maha Adil, tak
akan dzolimi makhluk-Nya. (Rio Aurachman)
Referensi: David and Goliath, karya Malcolm Gladwell
0 Komentar