Ssst..Dengarkan Bisikan Allah di balik Bulan Super Itu!


Apakah anda termasuk orang yang mengagumi fenomena astronomi? Jika ya, tentu anda tidak melewatkan fenomena Supermoon 10 Agustus lalu. Atau bahkan, anda juga tak lupa menyatroni hujan meteor di tiga hari selanjutnya? 

Bulan Super. Begitulah julukan yang disematkan pada fenomena langit yang tak bisa kita temui setiap hari ini. Dikatakan super, karena menurut pengamatan teliti menggunakan alat, Bulan yang biasa menghiasi langit di atas kepala kita seolah bertambah besar 10% dari ukuran aslinya. Banyak orang membahas hal ini. Tak hanya menarik perhatian para pengamat astronomi, fenomena ini pun menyihir mata para penyuka fotografi. Di seluruh dunia, selalu dapat kita temukan hasil jepretan para fotografer mengabadikan momen ini.



Sepuluh Agustus lalu barangkali menjadi penanda tanggal yang istimewa. Karena tak hanya Supermoon, fenomena hujan meteor atau yang beken dengan istilah comet show, terjadi dalam rentang waktu bersamaan. Meski sayangnya, justru karena silaunya cahaya Supermoon yang bertambah 30% dari cahaya bulan pada malam biasanya, hujan meteor justru tak bisa dinikmati dengan optimal. Namun, dibalik dua fenomena luar biasa tadi, adakah hal yang lebih istimewa dari sekedar visualisasi yang ditangkap mata?

Mari sedikit berjalan-jalan di dunia langit. Tahukah anda bagaimana fenomena Bulan Super 10 Agustus lalu dapat terjadi? Fenomena ini terjadi hanya ketika Bulan berada pada jarak terdekatnya (perigee) dengan Bumi. Karena itulah, muka Bulan terlihat lebih besar dari biasanya. Namun tak cukup itu, Bulan perigee ini harus bertepatan dengan fase Bulan Purnama, barulah Supermoon nampak. Jika tidak, maka tidak akan cukup istimewa. Misalnya saja kalau terjadi pada saat Bulan Sabit, maka fenomena membesarnya Bulan ini tidak akan terlihat. 



Jarak perigee Bulan terhadap Bumi pada saat Supermoon biasanya berkisar pada angka 350.000 - 360.000 km, sedangkan jarak terjauhnya mencapai lebih dari 400.000 km. Artinya, jarak Bulan mendekat ke Bumi sebesar 50.000-an km. Hal ini tentu memberikan efek kepada gaya gravitasi yang terjadi antara Bulan dan Bumi. Perubahan jarak tersebut dapat mengakibatkan bertambahnya Gaya Gravitasi antara keduanya sebesar 1/64 kali dari Gaya Gravitasi yang biasanya terjadi. Akibatnya, keadaan permukaan air laut di Bumi biasanya mengalami pasang lebih besar. Sedangkan bagi Bulan, penambahan Gaya Gravitasi ini memberikan dampak lebih besar, karena massa Bulan yang jauh lebih kecil dari massa Bumi.

Bagaimana, terdengar rumit?

Baiklah mari sejenak tinggalkan hitungan matematis di atas. Kita tengok QS. Al-Anbiya : 31-33.

"(31) Dan Kami telah menjadikan di Bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar ia (tidak) guncang bersama mereka, dan Kami jadikan (pula) disana jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.(32) Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dll). (33) Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya."

Perhatikan kalimat pertama pada ayat di atas. Allah menciptakan gunung-gunung di permukaan Bumi untuk mengokohkannya. Jika dikaitkan dengan fenomena Supermoon yang memberikan efek penambahan Gaya Gravitasi sebesar 1/64 kali dari biasanya, maka wajarlah jika Bumi tidak berguncang sebesar yang dialami Bulan. Selain karena ukuran massanya yang lebih besar, permukaan bergunung-gunung pun menjadikannya lebih kuat (penjelasan mengenai ini akan dibahas pada tulisan berikutnya*). 

Maha Besar dan Maha Benar Allah menceritakan bahwa sebenarnya setiap planet maupun benda langit lainnya mudah mengalami guncangan. Akan tetapi, dibuat permukaannya sedemikian agar guncangan tidak memberikan efek yang besar. Lalu bagaimana dengan fenomena bencana yang seringkali bertepatan dengan Supermoon? Hal ini dengan mudah dibantah. Karena penambahan Gaya Gravitasi yang hanya sebesar 1/64 kali biasanya itu tidak sebanding dengan ukuran massa Bumi yang sangat besar.

Ayat 32 di atas, menjelaskan mengenai Hujan Meteor yang sempat kita tinggalkan sejenak. Hujan Meteor yang datang 11-13 Agustus lalu sebenarnya merupakan kejadian yang biasa terjadi setiap tahun di Bulan Agustus. Hal ini karena pada Bulan Agustus, Bumi melewati orbitnya yang berdekatan dengan sisa debu peninggalan Komet Swift-Tuttle yang telah meluncur mengitari matahari jauh sebelum Bumi melewati debunya. Sehingga, penampakan langit yang kita sebut dengan hujan meteor itu sebenarnya hanya sisa debu yang bersentuhan dengan atmosfer Bumi.

Akan tetapi, tahukah anda bahwa sebenarnya komet Swift-Tuttle memiliki ukuran dua kali lipat dari komet yang dipercaya pernah menabrak Bumi dan memusnahkan Dinosaurus? Luar biasa, Maha Besar Allah yang memelihara langit sebagai atap yang aman bagi Bumi (QS. Al-Anbiya : 32). Langit (dalam bahasa kita dipercaya sebagai lapisan-lapisan atmosfer), menabrak puluhan hingga ratusan komet/meteor setiap tahunnya. Namun, sebanyak lebih dari 60% energi meteor habis saat bergesekan dengan atmosfer bunyi. Apatah lagi dengan kejadian Hujan Meteor sepekan lalu yang hanya merupakan persentuhan atmosfer dengan sisa debu komet saja? Maha Benar Allah, yang menjadikan Langit sebagai atap yang aman bagi makhluk yang menghuni Bumi.

Lalu, bagaimanakah dengan Ayat 33 di atas? Sesungguhnya Matahari dan Bulan (dan benda langit lainnya) beredar menurut waktunya. Allah Maha Pencipta yang sempurna sehingga sesekali Ia tampakkan kebesaranNya semisal dengan fenomena Supermoon dan Comet Show ini. Sungguh kedua hal ini hanya bisa terjadi, hanya jika orbit Bulan mengitari Bumi berbentuk Elips, dan hanya jika orbit Bumi bertemu orbit komet di angkasa. Maka, tidakkah kita mengambil pelajaran dari hal tersebut? (RD)

Posting Komentar

0 Komentar