Pansus 8 DPRD Kota Bandung Bahas Raperda Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren

 

Panitia Khusus (Pansus) 8 DPRD Kota Bandung sedang membahas Raperda tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.

Wakil Ketua Pansus 8, drg Susi Sulastri mengatakan, Pansus ini semangatnya untuk memberikan payung hukum yang memfasilitasi Pesantren di Kota Bandung.

Pesantren di Kota Bandung

“Adanya Perda Pesantren agar bisa lebih mudah berkembang dan berkreasi sehingga bisa menjadi tempat yang bermanfaat lebih bagi lingkungannya baik dari segi ekonomi, sosial , budaya bahkan kehidupan beragama,” ujar Susi, Senin (14/7/2025).

Menurut Susi, untuk melengkapi Perda, tim Pansus akan survei ke beberapa Pesantren di Kota Bandung.

“Kita akan lihat bagaimana pesantren-pesantren di Kota Bandung berkembang, kita akan gali apa yang bisa kita bantu dari DPRD Kota Bandung terutama dalam hal kebijakan hukum dan bantuan anggaran tentunya,” ujar Susi.

Susi mengatakan, selama ini tidak benar jika dikatakan pesantren di Kota Bandung tidak berkembang. Pesantren di Bandung justru mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari segi jumlah maupun kualitas.

“Banyak Pesantren di Bandung telah beradaptasi dengan perkembangan zaman, menghadirkan fasilitas modern, dan kurikulum yang beragam, termasuk pesantren yang berfokus pada pendidikan teknologi dan bahasa asing,” ujarnya.

Susi mengatakan, Pesantren di Bandung telah bertransformasi menjadi pesantren modern, yang memadukan nilai-nilai agama dengan pendidikan umum dan teknologi terkini dan juga mengasah bisnis UMKM para santri.

Menurut data Kementerian Agama Kota Bandung, terdapat 97 Pondok Pesantren di Kota Bandung dengan jumlah santri 15.085 orang 8.608 santri mukim 6.477 santri non mukim.

Namun menurut Susi, secara umum, Pondok Pesantren di Kota Bandung menghadapi masalah yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas sarana-prasarana, ketersediaan pembiayaan, kualitas SDM, kurikulum dan strategi pembelajaran, serta manajemen/tata kelola pesantren.

“Modal sosial pondok pesantren di Kota Bandung juga sangat rentan oleh friksi/konflik antar pengurus dan/atau akibat ulah “oknum” ustadz yang melakukan perbuatan melawan hukum,” ujarnya.

Susi mengatakan, secara eskternal, Pondok Pesantren di Kota Bandung juga menghadapi permasalahan belum kuatnya ‘jejaring kerja’ antar pondok pesantren dan pihak luar pesantren, masih adanya resistensi atau stigma negatif ‘radikal’ akibat kasus-kasus yang dilakukan ‘oknum’ pesantren, termasuk masih adanya ‘mis- rekognisi’ kepada lulusan Pondok Pesantren.

“Selama ini aspirasi masyarakat terkait dukungan terhadap pesantren masih sulit diakomodasi karena keterbatasan regulasi,” ujarnya.

Susi mengatakan, hibah yang diberikan kepada pesantren terbatas hanya pada nominal kecil, seperti Rp 50 juta untuk operasional, dan maksimal Rp 250 juta untuk pembangunan. Selebihnya, pesantren masih harus mengandalkan swadaya masyarakat.

“Adanya landasan hukum berupa Raperda, dukungan dari APBD diharapkan lebih bisa membantu Pesantren dalam kegiatannya,” ujar Susi.

Susi mengatakan, dalam Perda tercantum kewajiban pemerintah daerah pasal 14. “Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya bertanggungjawab memfasilitasi penyelenggaraan Pesantren di Daerah”.

“Sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah khususnya pemerintah kota Bandung memfasilitasi semua penyelenggaraan Pesantren di Kota Bandung dan Pesantren mempunyai hak untuk mendapatkan perhatian, pengayoman, dan support anggaran dari pemerintah Kota,” ujar Susi.

Susi menegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren memberikan ruang yang cukup leluasa bagi Pemerintah Daerah untuk terlibat dan mengambil peran dalam mengembangkan dan memberdayakan lembaga pendidikan pesantren.

Posting Komentar

0 Komentar