Apa yang Diperbuat Ketika Harus Memilih, Immunitas Apa Naik Kelas

Dimasa pandemi ini, jika Anda seorang Ibu, akan memilih mana jika dihadapkan pilihan 'anak naik kelas atau anak punya immunitas? 

Eit jangan buru-buru bilang tak apple to apple, Juru Catat pun di awal wawancara berpikir sama.

Nah lho, penasaran kan? Baiklah, jangan berlama-lama. Baca tuntas hasil wawancara dengan Ida Zuraida berikut.
ilustrasi

Agar tergambar jelas, penggal-penggal wawancara mewarnai tulisan ini.

Juru catat (JT) :"Maaf Bu, saya tak bisa langsung hadir, jadi obrol kita via WA aja ya."
Ida Zuraida (IZ) : "Gapapa Mom..kami di rumah masih pada gantian sakit..hehehe. Khawatir malah menular ". Begitu sapa pembuka saling saut.

(JT) : "Moga sakitnya ga lama..bosan kali ya di rumah aja."
(IZ) : "Suasananya aja dibuat betah, jadi ga pada bosan Mom, alhamdulillah."
(JT) : "Wow luar biasa..iming-imingnya apa dong? biar bisa dibagikan ke pembaca?." Jurus pancingan mulai beri umpan.

(IZ) : "Aku ga ada istimewanya Mom, malah diluar sana banyak keluarga yang mampu membina putra-putrinya lebih pintar dan lebih soleh/ah."
Stop sesaat laju melanjutkan,

"Hanya kalau saya disuruh memilih, naik kelas atau punya immunitas, aku pilih immunitas karena itu yang dibutuhkan tubuh saat pandemi Covid-19 ini." 

"Jadi kita ciptakan suasana kebersamaan se-enjoy mungkin, tanpa iming-iming. Mereka cuma disediakan pilihan...doing good or not."

Tambahan jawabnya makin bikin penasaran kan? Maka Juru Catat mencecar meminta kongkritnya. Mulailah Ida buka-bukaan. 

Sesungguhnya SFH (School For Home) yang sesuai jadwal di sekolah itu bikin stress anak, katanya. Maka dia memberi kelonggaran dengan tidak menekan, namun sesuaikan  kesanggupan anak.

Sikap itu dia ambil setelah menjalankan sebulan penuh program dari sekolah. Dampaknya seram. Anak-anak stress, dia sebagai ibu pun ikutan tewas kena DB mendapati anaknya sakit bergantian.

Akibat stress immun turun,  jadilah demam berdarah singgah. Maka istri Fuadi ini putar haluan. Kesehatan menjadi prioritas, tak peduli anak tak naik kelas.

Duar..benar perkiraan. Teguran guru datang meski  tak diundang. Untuk hal diatas dia bela diri memelas,

"Wajar Guru melontarkan teguran, karena itu tugasnya. Tapi andai guru di posisi saya dimana selain mengurus rumah, berbagi konsentrasi dengan urusan organisasi dan bisnis, ditambah jadi perawat dadakan dengan anak sakit bergantian, yakin guru tak akan apriori, main tegur dan bisa memaklumi."

"Tak banyak sih yang kami lakukan setelah ambil keputusan." Jawabnya ketika langkah apa mengatasinya.

"Pertama samakan persepsi semua anggota keluarga. Kasih sayang dan keceriaan tak boleh hilang. " Jeda sesaat lalu berlanjut lagi,

"Mendekatkan hati yang terjauhkan dan berusaha memperbaiki apa yang selama ini terabaikan. Intinya monev (monitor dan evaluasi) dan goalnya tercapai immunitas keluarga, Mom." 

"Siapa sih yang tak ingin anaknya naik kelas? tapi immunitas lebih jadi prioritas. Mudah-mudahan dengan atmosfir rumah yang nyaman tak ada tekanan, keinginan itu bisa kami wujudkan.Tentu dengan sepenuh doa kami panjatkan."

Hmm..ujung wawancara terkuak rahasia hatinya.

Tunggu..jangan segera close. Ada saran cantik atasi dampak SFH bagi anak didik. 
Akun facebook Mas Darwadi

Yuk simak penggalan akun Face Book  Mas Darwadi seorang Trainer Management System dari kota Bandung berikut ini, 

"Sementara lupakan dulu percakapan pendidikan anak tanggung jawab siapa ?. Karena jawabnya sdh jelas, orang tua, dan semua paham ini, hanya setiap orang tua punya strategi dalam memenuhi tanggung jawab pendidikan anak anaknya,

"Salah satunya adalah bekerja sama (mitra delegatif) dengan sekolah sekolah. Dan ini sepertinya yg paling banyak dilakukan orang tua sampai saat ini. 


Jadi, saat ini akan lebih produktif berbicara turunan taktis, yaitu bagaimana pola kerjasama pihak sekolah - guru - orang tua dan anak anak di masa SFH/LFH ini, sehingga tujuan pembelajaran tercapai dengan tetap memperhatikan suasana ceria dalam implementasinya"

Frieda Kustantina
#Juru Catat   







 

Posting Komentar

0 Komentar