R.E. Martadinata Teladan Bagi Rakyat Indonesia


Laksamana R.E. Martadinata patut menjadi teladan tidak hanya untuk masyarakat Jawa Barat, tetapi untuk Indonesia, karena berani berkata benar kepada atasan bahkan Presiden sekalipun, walaupun harus kehilangan jabatannya.

R.E. Martadinata bersalaman dengan prajurit AL 

Ketika terjadi pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, dalam kapasitas sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E. Martadinata segera memberikan reaksi mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan AD untuk menumpas G.30.S/PKI. Tindakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden Soekarno sehingga jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan digantikan oleh Laksamana Muda Mulyadi. Martadinata kemudian diangkat menjadi Duta Besar dan Berkuasa penuh RI untuk Pakistan.

Selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, RE Martadinata memiliki peranan cukup penting. Pada 1945, ia ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Jawa Barat. Selain itu, ia merupakan salah satu penggagas dibentuknya Barisan Banteng Laut di Jakarta. Bersama para pemuda laut, Martadinata berhasil merebut kapal-kapal milik Jepang di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok.

Dalam Barisan Banteng Laut, Martadinata merupakan tokoh sentral yang begitu intensif melakukan komunikasi dengan laskar-laskar pemuda guna mempersiapkan kemerdekaan, pasca-runtuhnya kedigdayaan kolonial Jepang di Perang Asia Timur-Raya.

Tak terhitung peran Martadinata dalam aksi militer untuk meredam berbagai pergolakan yang terjadi di Tanah Air selama masa mempertahankan kemerdekaan. Sosok yang dikenal dekat dengan Sukarno itu, pada Juli 1959 menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut Indonesia.

Laksamana R.E. Martadinata memiliki nama lengkap Raden Eddy Martadinata lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 29 Maret 1921. Dia mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS), Lahat. Kemudian, pada 1938 melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO; setara SMP) di Bandung, dan sekolah pelayaran milik kolonial Hindia Belanda, Zeevaart Technische School, pada 1941.

RE Martadinata tutup usia ketika musibah kecelakaan saat mendampingi tiga tamu kenegaraan dari Angkatan Laut Pakistan. Pada 6 Oktober 1966, Martadinata mengajak tiga tamunya berkunjung ke Puncak, Bogor, dengan menumpang helikopter yang dipiloti oleh Letnan Laut Charles Willy Kairupa.

Ketika akan kembali ke Jakarta, Martadinata mengambil-alih kemudi helikopter berjenis Alloute A IV 422 itu. Namun nahas, dalam perjalanan pulang cuaca tiba-tiba memburuk. Helikopter yang dikemudikan Martadinata hilang kendali dan menabrak tebing di Riung Gunung. Helikopter itu meledak, seluruh penumpang tewas.

Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini.








(Ahmad Farid Fakhrullah)

Posting Komentar

0 Komentar