Kalo bicara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), mungkin banyak
yang belum faham kenapa mesti menolaknya, Ini dapat difahami bila kata-kata
yang digunakan sama terkadang maknanya berbeda.
Jadi kalo ditanya “memangnya yang
mengkontra RUU ini setuju dengan kekerasan seksual?” Ya engga.
Rita Hendrawaty sedang memaparkan RUU P-KS
Masalahnya adalah kekerasan yang ada di pikiran kubu kontra RUU P-KS tidak
sama dengan yang pro RUU definisikan. Seksualitas yang ada di pikiran kubu kontra
RUU P-KS fahami tidak sama dengan seksualitas yang pro RUU definisikan. Itu
problemnya.
“Kalo teman-teman membayangkan
bahwa kekerasan seksual adalah ketika ada hubungan seksual antara suami dengan
istri lalu ada kekerasan, siapa sih yang ngga setuju kalo itu harus dihapus,
semua setuju. Siapa sih ngga setuju pemerkosaan harus dihukum dengan keras,
semua setuju, dan kami akan mendukung hukuman paling keras bagi pelaku yang seperti
itu,” kata Rita Hendrawaty Soebagja Ketua AILA Indonesia.
Masalahnya adalah didalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang
didefinisikan dengan kekerasan seksual termasuk diantaranya adalah merendahkan
hasrat seksual artinya kalo bicara tentang penyimpangan seksual.
“Katakanlah ada seorang laki-laki
punya hasrat seksual dengan sesama laki-laki atau homoseksualitas di negara
kita yang adat ketimuran dan religius, hal semacam ini kan dianggap menyimpang,
nah kalo kita menyatakan hal tersebut sebagai penyimpangan, itu sudah termasuk
kekerasan seksual. Ini problemnya,” ujarnya.
Ternyata kekerasan seksual bukan hanya masalah kekerasan fisik tapi kalo
kita menyatakan merendahkan hasrat seksual maka itu dianggap sebagai kekerasan.
Apa ideologi dibalik RUU ini?
Dalam draft awal dikatakan bahwa termasuk cara berpakaian pun itu
termasuk seksualitas ini begitu berbahaya.
“Gimana anak laki-laki kita
tiba-tiba ingin mengenakan pakaian perempuan atau ketika anak perempuan kita
perintahkan berhijab sementara dia ngga mau, itu sudah didefinisikan kekerasan
seksual. Ini problem,”ujarnya.
Suasana saat pembahasan RUU P-KS
Jadi bisa melihat bahwa ideologi dibalik RUU ini adalah liberalisme,
kebebasan, yang mereka perjuangkan adalah kebebasan seksual, dan itu kita bisa
melihat lebih jelas lagi cara mendefinisikan kekerasan seksual, paling tidak di
draft terakhir ada 9 macam kekerasan seksual diantaranya pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan
seksual.
“Apakah kita ngga setuju bahwa itu
harus dihapus? Sangat setuju, tapi kenapa ada kata paksa, lalu apakah pelacuran
kalo tidak paksa lalu dibolehkan? Apakah aborsi kalo ngga dipaksa berarti
dibolehkan? Ini yang menjadi masalah buat kita. Kita bisa melihat ideologi,”
ujarnya.
Bila menanyakan pasal yang membolehkan zina, tentu saja itu tidak ada, karena
bukan itu masalahnya, tapi dari filosofi bagaimana landasan berfikirnya dan
kalo dilihat RUU nya masalah agama, pancasila sama sekali tidak disebut, wajar
RUU ini membawa wajah pemikiran yang sangat barat, sekuler dan liberal.
“Mungkin ada juga yang berkilah,
saya pernah denger sendiri mengatakan bahwa kalo masalah zina jangan di RUU
ini, ini RUU penghapusan kekerasan seksual, kalo bicara tentang perzinahan tapi
di KUHP,” ujarnya.
AILA Indonesia (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia) telah berjuang hampir
2 tahun di Mahkamah Konstitusi, meminta 3 pasal di yuridicial review, salah satu pasalnya melarang perselingkuhan,
lalu AILA Indonesia ingin memperluas makna perselingkungan menjadi perzinahan
karena beda perselingkuhan dan perzinahan.
“Kalo kita sudah punya pasangan
lalu kita berhubungan dengan orang lain itu Namanya perselingkuhan, itu ada
pasalnya di KUHP, problemnya bagaimana dan siapa yang melarang hubungan
diantara dua orang yang tidak sah tapi sama-sama tidak punya pasangan, nah ini
yang kita minta untuk diubah,” ujarnya
AILA Indonesia melihat kondisi dilapangan ternyata orang-orang yang
menentang perubahan tersebut, yang menganggap bahwa zina adalah hak privat,
adalah orang yang sama yang sekarang memasukan RUU P-KS.
“Disitulah makanya kami katakan
kalau memang anda tidak pro zina kenapa anda menghalangi kami dulu?”
ujarnya
Ketika di Mahkamah Konstitusi, Lembaga-lembaga yang meminta supaya yuridicial review digagalkan adalah
Komnas Perempuan juga, ini masalahnya.
Jadi jelas bagi AILA Indonesia RUU ini mewakili atau merepresentasikan
pemikiran sekuler dan liberal, pemikiran sesungguhnya yang tidak berasal dari
ketimuran, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, dan tentu saja bentrok
dengan pemahaman agama.
Oleh karena itu AILA Indonesia mengusulkan, tidak hanya menolak tapi
mengusulkan supaya jangan hanya menghapus kekerasan seksual tapi mari hapus
kejahatan seksual karena ada kejahatan yang tidak menggunakan kekerasan
misalnya pelacuran, meskipun tanpa kekerasan itu adalah kejahatan, perzinahan
meskipun tanpa kekerasan itu adalah kejahatan.
AILA Indonesia sangat setuju kekerasan seksual untuk dihapuskan, tapi
pertama jangan menggunakan paradigma barat, jangan pakai paradigma sekuler dan
liberal, dan yang kedua kita lebih setuju jangan hanya kekersan seksual yang
dilarang tapi juga kejahatan seksual.
“Mari menjaga Indonesia supaya
lebih kondusif lagi supaya lebih bermoral, kasian anak cucu kita negeri apa
yang akan kita persembahkan kepada mereka nanti, jangan-jangan kondisinya jauh
menyedihkan daripada sekarang. Mudah-mudahan kita bisa menjaga Indonesia
sebagai amanah dari Tuhan agar bisa dinikmati oleh anak cucu kita,”
pungkasnya.
0 Komentar