Bandung [Senin, 4/9/2017] Selama beberapa hari kebelakang, dunia disajikan sebuah tragedi kemanusiaan yang mungkin tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa tragedi ini dilakukan oleh manusia terhadap manusia yang lain. Rakhine, sebuah Negara Bagian Myanmar yang terletak di pantai barat Negara tersebut. Wilayah yang memiliki luas 36.778 km² ini setara dengan luas Provinsi Jawa Barat, dengan menguasai hampir semua pantai barat Myanmar adalah tempat yang cocok bagi warga yang berprofesi sebagai nelayan.
Tragedi yang dialami oleh etnis Rohingya ini berawal dari dicabutnya kewarganegaraan mereka pada 1982 oleh junta militer. Junta militer Myanmar hanya mengakui 135 etnis dan tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari warga negara, bahkan menuduh etnis ini sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Semenjak itu, hak-hak dasar etnis Rohingya tercerabut dan kehidupan mereka termarjinalkan. Kondisi ini berlangsung selama tiga dekade, hingga mulai mendapatkan perhatian dunia setelah kerusuhan yang terjadi pada 2012.
Kerusuhan tersebut kini telah menghasilkan ribuan orang tewas mengenaskan dan puluhan ribu lainnya berada di pengungsian yang berada di berbagai negara. Tercatat yang terbanyak ada di Bangladesh yaitu 75.000 orang.
Reaksi masyarakat dunia bermunculan hingga Pemimpin Tertinggi Vatikan pun turut prihatin akan tragedi ini. Banyak yang menyayangkan sikap dari Aung San Suu Kyi yang mengusir relawan kemanusiaan bahkan meminta Indonesia untuk tidak turut campur urusan negaranya. Pernyataan inilah yang memicu kecaman dari tokoh dunia, alasannya adalah Suu Kyi adalah penerima Nobel Perdamaian. Banyak yang mempertanyakan bahkan meminta hadiah Nobel tersebut dicabut dari dia.
Rakyat Indonesia diberbagai daerah dan tak lupa pula para kader PKS turut serta merasakan keprihatinan akan kejadian ini bahkan mengutuk atas pembiaraan Genosida etnis. PKS bergerak aktif dengan membuat Crisis Center dan meminta para kadernya untuk ikut menggalang dana kemanusiaan untuk Rohingya. (Al)
0 Komentar