ilustrasi |
By : Miarti Yoga
(Early Childhood Consultant)
Seorang bapak yang sangat istimewa. Dialah Ibrahim. Bapaknya para nabi. Dialah cermin kehidupan. Cermin seorang ayah dengan keluhuran tulus. Cermin seorang ayah dengan kemapanan taqwa. Hingga jika bukan karena ta’at yang mengangkasa kepada Allah Sang Pencipta, mustahil adanya, beliau membiarkan sang isteri tercinta terasing di sebuah padang tandus dengan medan berbukit nan terjal.
Bunda Hajar. Perempuan kuat dengan keta’atan yang tak ada keraguan. Beramanahkan seorang bayi, terbuang dari riuh kehidupan, terasing dalam keterbatasan. Tegopoh-gopoh menyusuri bukit Safa dan Marwah demi setetes air untuk mengobati haus sang Ismail kesayangan. Jikalah bukan karena iman yang mengakar, manalah mungkin Hajar mampu melewati ujian itu dengan sangat menyejarah. Manalah mungkin usaha lelahnya berbalas hadiah fenomenal, dimana langkah terantuknya dalam menuruni kedua bukit tersebut diabadikan sebagai rukun haji. Dilalui oleh seluruh jama’ah haji dan umrah dari seluruh penjuru dunia. Dari tahun ke tahun. Tanpa henti. Sa’i.
Sebagai perempuan biasa, mungkin kita begitu dekat dengan keluhan, mungkin kita begitu pintar mengutarakan negosiasi, mungkin kita sangat ingin berharap yang termudah tanpa harus lalui perjuangan dahsyat. Namun tidak dengan Hajar. Karena memang beliau perempuan pilihan. Beliau cermin dari kesholehan sang suami, Ibrahim alaihissalam.
Benar adanya dalam Al-Qur’an. Bahwa perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Perempuan yang sholeh untuk laki-laki yang sholeh. Dan konteks ini terbukti nyata pada sepasang kekasih dunia akhirat, Ibrahim dan Hajar. Mereka bukan hanya dipersatukan raga, namun dipersatukan frekuensi dan resonansi. Mereka dipersatukan dalam ta’at yang sama, dalam tulus yang sebanding, dalam kekokohan iman yang sepadan, dalam optimisme yang satu takaran.
Dan ini adalah hikmah yang sangat layak kita jadikan bekal atau amunisi pengasuhan. Mengapa? Karena pengasuhan yang bijaksana bermula dari perpaduan tulus antara suami dan isteri. Bukan perpaduan saling curiga, bukan perpadua kesal, bukan perpaduan dendam, bukan perpaduan sikap saling menuntut.
Pun saat mereka diarak pada klimaks penakaran ikhlas oleh Allah SWT, dimana Ismail sang pemuda kecil diisyaratkan Tuhan untuk disembelih. Ini pun lagi-lagi menjadi keparipurnaan ta’at seorang hamba kepada Tuhannya. Beliau sadar betul bahwa buah hati hakikatnya milik Allah. Maka ketika Allah berkehendak dan meminta anak kita diperlakukan apa saja, maka Ibrahim dan Hajar mempersilakannya dengan tangan terbuka. Meski sebagai manusia biasa, tentu bersama keberdebaran rasa, namun ta’at di atas segala-galanya. Hingga diikhlashkannya Ismail untuk disembelih sesuai titah Yang Mulia, Allah Rabb Semesta.
Lalu dengan skenario indah dan terkesan spontan, Allah gantikan Ismail pada saat itu juga dengan seekor kambing. Maha Suci Allah. Selalu ada keajabiban bagi siapa saja ummat yang tunduk pada Rabbnya. Selalu ada hadiah istimewa bagi siapa saja yang mau bersabar.
Ismail, sang arif yang bermental surgawi. Betapi lagi-lagi menjadi cermin. Cermin atas kesholehan kedua orangtuanya. Bagaimana dia membuktikan keberterimaan (qona’ah) atas keharusan yang ada. Bagaimana ia meminta sang ayah untuk menelungkupkan wajah dirinya agar sang ayah tak getir saat melihat detik-detik meregang nyawa. Bagaimana Ismail meminta sang ayah untuk menyipkan pisau terbaik dengan ketajaman yang pasti, sehingga memudahkan proses penyembelihan.
MashaAllah. Kearifan yang menggetarkan. Ketulusan yang berdasar dan berhakikat. Bahwa apa yang dilakukan adalah demi Allah. Bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah ibadah dan ketundukan. Bukan sebuah khidmat kepada makhluk. Dan ini sebuah bahan muhasabah bahwa memang Sang Khalik adalah di atas segala-galanya.
Dan lagi-lagi, ketulusan jiwa itu terlegendakan menjadi ibadah indah. Qurban yang didambakan setiap tahun.
Semoga harta yang kita korbankan untuk beribadah qurban, menjadi penerang untuk kehidupan. Semoga setiap tetes darahnya, setiap helai bulu-bulunya, memperkaya timbangan amalan.
Dan sewajarnya, dari sejarah-seharah itu kita bermuhasabah. Kita gali dan kita reguk sekian nilai;
• Bersandar hanya pada-Nya
• Sabar dalam setiap proses
• Nikmati setiap ujian sebagai ladang naiknya kepantasan
• Fokus pada niat
• Selalu yakin bahwa pertolongan Allah di atas segalanya
• Menyerap energi positif dari orang-orang sekitar
• Berbaik sangka dengan keputusan yang ada
Lalu, cukuplah sejarah-sejarah itu menjadi pendongkrak rasa malu. Malu dengan kebesaran jiwa Ibrahim. Malu dengan ketangguhan Hajar. Malu dengan keberterimaan Ismail. Dan biarlah energi-energi negatif kita meluruh. Meluruh layaknya bulu-bulu hewan yang kita qurbankan. Maka enyahlah segala keringkihan mental seperti;
• Selalu berburuk sangka kepada orang di sekitar kita
• Sulit menghilangkan dendam
• Enggan melewati lelah
• Tak sanggup dengan ragam aturan
• Berat menuntaskan tugas-tugas
• Seringkali berpikir bahwa kitalah yang paling dramatis atas masalah-masaah
• Mudah menyerah dalam tantangan
Bismillah. Semoga momentum Hari Raya Qurban ini menjadi ladang tepat untuk kita mengepompong. Mengepompong untuk dapat terbang sebagai jiwa-jiwa yang baru. Jiwa-jiwa yang bertafakur. Jiwa-jiwa yang banyak belajar dari kehidupan. Jiwa-jiwa yang senantiasa antusias menyelamatkan keutuhan keluarga. Amiin Yaa Rabb.
Allohu’alam bishshowaab.
Salam Pengasuhan.
0 Komentar