MEMBANGUN BUDAYA CURHAT ANAK KEPADA ORANGTUA



 
sumber : google
Ayah Bunda yang dirahmati Allah.

Satu tulisan istemewa yang ingin saya bagikan adalah tentang budaya curhat. Tepatnya, membiasakan anak curhat kepada orangtuanya sendiri.

Berbicara budaya curhat, secara tidak langsung akan bersinggungan dengan konteks “keterbukaan”. Artinya, bagaimana seorang anak bisa terbuka kepada orangtuanya, tanpa ada rasa sungkan, tanpa ada rasa canggung atau ada rasa “kagok”. Bahkan yang lebih ekstrem adalah saat seorang anak tak berani menyampaikan.

Banyak kasus mengemuka, dimana sebuah kecelakaan fatal tersebab oleh aktivitas “curhat” yang tidak pada tempatnya. Bermula dari sekadar mengungkapkan kekesalan di sosial media, bermula dari sekadar berbagi keresahan hati kepada lawan jenis, bermula dari niat konsultasi tentang rumah tangga kepada seseorang, berujung pada kehamilan di luar ikah, berujung pada perselingkuhan, berujung pada perceraian, bahkan berujung pada pertengkaran hebat. Padahal hakikat tempat curhat terindah dan ternyaman selain kepada Allah SWT adalah kepada orangtua sendiri. Sedangkan bagi yang sudah berkeluarga, maka curhatnya adalah kepada pasangan masing-masing. Dan curhat kepada Allah akan berbanding lurus dengan budaya curhat kita kepada orang yang tepat.

Salah satu bahan renungan untuk kita bersama adalah manakala buah hati yang kita besarkan, yang kita berangkatan dari rumah, tiba-tiba lebih merasa nyaman dan betah bersama orang lain. Pun ketika mereka menyampaikan hal-hal prinsip yang sebetulnya harus dipecahkan bersama di keluarga. Beberapa contohnya adalah;
1.       Anak lebih memilih menahan sakit atas suka bekas jatuh yang baru saja dialaminya, daripada harus bercerita kepada ibu bapaknya.
2.       Anak lebih memilih jalan berdua dengan pacar, untuk sekadar mengungkapkan isi hati yang selama ini tak terakomodir.
3.       Anak lebih betah berada di rumah teman bahkan sampai menginap.
4.       Anak lebih memilih melakukan aksi kabur dari rumah daripada harus lagi-lagi menghadapi larangan dari orangtua. Baginya, terlalu lelah ketika lagi-lagi harus memelas dan merajuk jika ujung-ujungnya dilarang dan lagi-lagi dilarang.

Oleh karenanya, ketika kita bermasalah dengan soal keterbukaan, ini bagian dari persoalan kasih sayang. Bisa jadi kasih sayang kita kurang tertransformasi dalam bentuk verbal seperti bahasa tubuh dan kata-kata. Atau bisa jadi, karena kasih sayang kita tertutup oleh berbagai persoalan. Apakah persoalan pribadi kita dengan pasangan, apakah persoalan pribadi kita dengan lingkungan kerja, dana atau sejenisnya.

Beberapa hal sederhana yang bisa kita temukan di lapangan terkait kesungkanaan seorang anak dalam mengungkapkan perasaan kepada orangtuanya adalah;
1.       Saat mereka jatuh dan terluka. Lalu mereka memilih untuk bungkam karena berbagai alasan. Salah satunya adalah karena takut dimarahi.
2.       Seorang anak yang merupakan korban “bully” di lingkungan luar rumah, memilih untuk menutup rapat kejadian yang menimpanya karena takut akan ancaman orang yang mem-“bully”-nya.
3.       Seorang anak perempuan yang sudah beranjak gadis, merasa galau dengan pengalaman haid pertamanya. Ia kebingungan harus menyampaikan kepada siapa. Sedangkan baginya terlalu malu jika harus menyampaikan kepada ibunya.
4.       Seorang anak laki-laki yang baru melewati pengalaman pertama mimpi basah, begitu sungkan bercampur malu saat harus bertanya aturan atau fiqih atau tata cara melakukan mandi wajib.

Pada dasarnya, konteks yang bermunculan terkait kesungkanan anak untuk berbicara pada orangtuanya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa diantaranya adalah;
1.       Karena ada beberapa gangguan fisiologis yang membuat kesulitan mengungkapkan secara verbal. Seperti speech delay dan berbagai indikasinya. Namun untuk poin yang satu ini, keterbatasan fisik sebetulnya tetap bisa memungkinkan dapat mengungkapkan perasaan melalui berbagai cara.
2.       Karena orangtua seringkali bersikap reaktif saat menghadapi sikap atau ungkapan anak. Sehingga perlahan tertanam rasa sungkan bahkan rasa takut seorang anak kepada ibunya. Ketakutannya pun beragam. Bisa berupa ketakutan menghadapi penolakan orangtua, takut akan kemarahan yang muncul dan takut jika orangtuanya malah membahas kesalahannya yang sudah-sudah.
3.       Karena orangtua kurang hangat, kurang humoris dan relatif jarang memuka ruang diskusi kepada anak.
4.       Karena cukup sering melihat orangtua dalam keadaan tengah saling bersitegang atau tengah saling mendiamkan.
5.       Karena seringkali melihat orangtua yang disibukkan dengan persoalan. Sehingga sang anak cukup tak kuasa melihat raut muka orangtuanya yang begitu lelah, melihat gestur orangtuanya yang tengah dirundung cemas, dan atau sejenisnya.
6.       Karena adanya faktor eksternal seperti ancaman dari teman atau malu jika diketahui oleh guru.
7.       Karena secera ketepatan, ibunya memendam masalah dalam pernikahannya. Salah satunya adalah karena tak cukup bertahan dalam menghadapi sikap otoritas suaminya. Sehingga ia meyimpan banyak kesungkanan untuk menyampaikan atau meminta sesuatu kepada suaminya.
8.       Dan lain-lain

Nah, setidaknya kita dapat kembali memahami tentang pola asuh, sebagai bekal untuk kita lebih bijaksana dalam menyikapi atau menghadapi buah hati. Dan jika mencoba berkaca atau berkiblat pada cara Nabi Salallaahu ‘alaihi wasallam dalam pengasuhan, beliau menerapkan pola yang berbeda pada masing-masing usia.
1.       Pada 7 tahun pertama, Rasul menerapkan pola dialogis-permisif
2.       Pada 7 tahun kedua, Rasul menerapkan pola dialogis-koersif
3.       Pada 7 tahun ketiga, Rasul menerapkan pola dialogis-dialogis

Keterangan :
1.       Dilaogis = disiplin tanpa kebebasan
2.       Permisif = bebas tanpa disiplin
3.       Koersif = disiplin dengan kebebasan

Artinya, pada usia 0 hingg 7 tahu, semestinya memang kita memberikan ruang berekspresi kepada anak-anak. Apakah berekspresi melalui kata-kata, melalui talenta dan melalui keinginan-keinginannya. Karena, kepuasan berekspresi pada masa kecil atau keembiraan yag anak rasakan di masa kecil, akan menjadi input kebaikan untuk kelak anak kita sudah berusia dewasa. Mungkin jadi lebih seimbang dalam bersikap, lebih matang dalam mempertimbangkan, lebih lugas dalam menyampaikan, dan atau sejenisnya.

Menginjak usia remaja awal, yakni di 7 tahun kedua, orangtua sudah mulai memberikan penegasan untuk menghindari konteks keblablasan. Mengapa? Karena anak sudah mulai mengenal dunia luar dengan lintas lingkungan dan lintas teritori yang lebih jauh. Sehingga usia tersebut menjadi cukup transisi atas keterbatasan lingkup pergaulan di 7 tahun pertama. Maka sering-sering megingatkan dan memberi beberapa aturan adalah salah satunya. Walaupun tentu saja disampaikan dengan cara yang bijak.

Dan saat anak mulai pada usia remaja akhir hingga kuliah, orangtua harus cukup berhati-hati. Karena usia mereka berada pada fase dimana mereka seolah-olah memiliki otonomi sendiri untuk melakukan sesuatu. Sehingga mereka akan cukup defensif terhadap vonis, terhadap penghakiman, dan terhadap kalimat-kalimat yang terkesan penekanan. Oleh karenanya, langkah cukup bijak untuk usia mereka adalah menggunakan pola dialogis-dilaogis. Mungkin dnegan cara ngobrol berdua, mungkin dengan cara mengeksplorasi minat dan hobinya, mungkin dengan bertanya kabar aktivitasnya selama ini, dan atau sejenisnya.

Nah, kembali pada konteks keterbukaan antara anak-anak dengan kita, berikut beberapa “insight” yang bisa sama-sama kita bangun.

1.       Terbukalah menjadi orangtua yang rendah hati. Rendah hati untuk memulai obrolan, rendah hati untuk melunakkan dan mencairkan suasana, rendah hati untuk mengeluarkan guyonan pembangun keakraban.
2.       Pada saat-saat tertentu, orangtua harus memposisikan diri sebagai teman. Sehingga anak merasa ada kesepadanan, lebih memiliki ruang untuk berkata-kata dan mengekpresikan rasa.
3.       Jelaskan beberapa teknis atau tata cara atau tentang hukumum-hukum, sebelum mereka meginjak usia baligh. Contohnya, seorang ibu bercerita tentang mengapa perempuan haid tidak dikenai kewajiabn shaum. Dari sana, bisa dilanjutkan secara natural pada obrolan detail tentang bagaimana caranya ketika suatu saat nanti mereka mendapat haid. Sehingga secara natural, teknik ini menjadi sarana pendidikan seks sejak dini.
4.       Mintalah anak kita untuk menceritakan profil teman-temannya. Biarlah kita tahu lebih jauh siapa saja teman dan lingkungannya, dan biarkan pula ia nyaman menyampaikan cerita seputar pertemanannya. Ini satu langkah orangtua untuk menghindari kebohongan atau manipulasi kepada kita tentang kebersamaannya dengan teman-temannya.
5.       Saat kita bertanya, ambil titik fokus sudut pandang yang mengesankan bahwa kita peduli terhadapnya. Contohnya, ketika kita mengkhawatirkan anak kita yang belum pulang.  “Kaaak. Udah makan siang belum?”.  Bukan dengan lemparan pertanyaan yang sifatnya mempertanyakan. “Kakaak. Masih di mana? Kok jam segini masih belum pulang?”
6.       Bagi seorang istri, mari kembali untuk mengulang dan melanjutkan sikap qona’ah atau keberterimaan pada suami. Karena bagaimana pun, fitrah seorang suami adalah memimpin dan mengambil keputusan. Maka
7.       Bagi seorang suami, kembali tafakuri bahwa isteri butuh ruang berekspresi. Karena hakikatnya mereka ingin bahagia dan diterima.

Demikian yang dapat saya bagikan.

Allohuaalam. Semoga bermanfaat.

Salam pengasuhan

Miarti Yoga

Posting Komentar

0 Komentar