Ayah Bunda yang dirahmati Allah.
Satu tulisan istemewa yang ingin saya
bagikan adalah tentang budaya curhat. Tepatnya, membiasakan anak curhat kepada
orangtuanya sendiri.
Berbicara budaya curhat, secara tidak
langsung akan bersinggungan dengan konteks “keterbukaan”. Artinya, bagaimana
seorang anak bisa terbuka kepada orangtuanya, tanpa ada rasa sungkan, tanpa ada
rasa canggung atau ada rasa “kagok”. Bahkan yang lebih ekstrem adalah saat seorang
anak tak berani menyampaikan.
Banyak kasus mengemuka, dimana sebuah
kecelakaan fatal tersebab oleh aktivitas “curhat” yang tidak pada tempatnya.
Bermula dari sekadar mengungkapkan kekesalan di sosial media, bermula dari
sekadar berbagi keresahan hati kepada lawan jenis, bermula dari niat konsultasi
tentang rumah tangga kepada seseorang, berujung pada kehamilan di luar ikah,
berujung pada perselingkuhan, berujung pada perceraian, bahkan berujung pada
pertengkaran hebat. Padahal hakikat tempat curhat terindah dan ternyaman selain
kepada Allah SWT adalah kepada orangtua sendiri. Sedangkan bagi yang sudah
berkeluarga, maka curhatnya adalah kepada pasangan masing-masing. Dan curhat
kepada Allah akan berbanding lurus dengan budaya curhat kita kepada orang yang
tepat.
Salah satu bahan renungan untuk kita
bersama adalah manakala buah hati yang kita besarkan, yang kita berangkatan
dari rumah, tiba-tiba lebih merasa nyaman dan betah bersama orang lain. Pun
ketika mereka menyampaikan hal-hal prinsip yang sebetulnya harus dipecahkan
bersama di keluarga. Beberapa contohnya adalah;
1. Anak lebih memilih menahan sakit atas suka bekas jatuh yang baru saja
dialaminya, daripada harus bercerita kepada ibu bapaknya.
2.
Anak lebih memilih jalan berdua
dengan pacar, untuk sekadar mengungkapkan isi hati yang selama ini tak
terakomodir.
3.
Anak lebih betah berada di rumah
teman bahkan sampai menginap.
4. Anak lebih memilih melakukan aksi kabur dari rumah daripada harus
lagi-lagi menghadapi larangan dari orangtua. Baginya, terlalu lelah ketika
lagi-lagi harus memelas dan merajuk jika ujung-ujungnya dilarang dan lagi-lagi
dilarang.
Oleh karenanya, ketika kita
bermasalah dengan soal keterbukaan, ini bagian dari persoalan kasih sayang.
Bisa jadi kasih sayang kita kurang tertransformasi dalam bentuk verbal seperti
bahasa tubuh dan kata-kata. Atau bisa jadi, karena kasih sayang kita tertutup
oleh berbagai persoalan. Apakah persoalan pribadi kita dengan pasangan, apakah
persoalan pribadi kita dengan lingkungan kerja, dana atau sejenisnya.
Beberapa hal sederhana yang bisa kita
temukan di lapangan terkait kesungkanaan seorang anak dalam mengungkapkan
perasaan kepada orangtuanya adalah;
1. Saat mereka jatuh dan terluka. Lalu mereka memilih untuk bungkam karena
berbagai alasan. Salah satunya adalah karena takut dimarahi.
2.
Seorang anak yang merupakan korban
“bully” di lingkungan luar rumah, memilih untuk menutup rapat kejadian yang
menimpanya karena takut akan ancaman orang yang mem-“bully”-nya.
3.
Seorang anak perempuan yang sudah
beranjak gadis, merasa galau dengan pengalaman haid pertamanya. Ia kebingungan
harus menyampaikan kepada siapa. Sedangkan baginya terlalu malu jika harus
menyampaikan kepada ibunya.
4. Seorang anak laki-laki yang baru melewati pengalaman pertama mimpi
basah, begitu sungkan bercampur malu saat harus bertanya aturan atau fiqih atau
tata cara melakukan mandi wajib.
Pada dasarnya, konteks yang
bermunculan terkait kesungkanan anak untuk berbicara pada orangtuanya
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa diantaranya adalah;
1. Karena ada beberapa gangguan fisiologis yang membuat kesulitan
mengungkapkan secara verbal. Seperti speech
delay dan berbagai indikasinya. Namun untuk poin yang satu ini,
keterbatasan fisik sebetulnya tetap bisa memungkinkan dapat mengungkapkan
perasaan melalui berbagai cara.
2.
Karena orangtua seringkali
bersikap reaktif saat menghadapi sikap atau ungkapan anak. Sehingga perlahan
tertanam rasa sungkan bahkan rasa takut seorang anak kepada ibunya.
Ketakutannya pun beragam. Bisa berupa ketakutan menghadapi penolakan orangtua,
takut akan kemarahan yang muncul dan takut jika orangtuanya malah membahas
kesalahannya yang sudah-sudah.
3.
Karena orangtua kurang hangat,
kurang humoris dan relatif jarang memuka ruang diskusi kepada anak.
4.
Karena cukup sering melihat
orangtua dalam keadaan tengah saling bersitegang atau tengah saling mendiamkan.
5.
Karena seringkali melihat orangtua
yang disibukkan dengan persoalan. Sehingga sang anak cukup tak kuasa melihat
raut muka orangtuanya yang begitu lelah, melihat gestur orangtuanya yang tengah
dirundung cemas, dan atau sejenisnya.
6.
Karena adanya faktor eksternal
seperti ancaman dari teman atau malu jika diketahui oleh guru.
7.
Karena secera ketepatan, ibunya
memendam masalah dalam pernikahannya. Salah satunya adalah karena tak cukup
bertahan dalam menghadapi sikap otoritas suaminya. Sehingga ia meyimpan banyak
kesungkanan untuk menyampaikan atau meminta sesuatu kepada suaminya.
8.
Dan lain-lain
Nah,
setidaknya kita dapat kembali memahami tentang pola asuh, sebagai bekal untuk
kita lebih bijaksana dalam menyikapi atau menghadapi buah hati. Dan jika
mencoba berkaca atau berkiblat pada cara Nabi Salallaahu ‘alaihi wasallam dalam
pengasuhan, beliau menerapkan pola yang berbeda pada masing-masing usia.
1.
Pada 7 tahun pertama, Rasul
menerapkan pola dialogis-permisif
2.
Pada 7 tahun kedua, Rasul
menerapkan pola dialogis-koersif
3. Pada 7 tahun ketiga, Rasul menerapkan pola dialogis-dialogis
Keterangan :
1. Dilaogis = disiplin tanpa kebebasan
2.
Permisif = bebas tanpa disiplin
3. Koersif = disiplin dengan kebebasan
Artinya, pada usia 0 hingg 7 tahu,
semestinya memang kita memberikan ruang berekspresi kepada anak-anak. Apakah
berekspresi melalui kata-kata, melalui talenta dan melalui
keinginan-keinginannya. Karena, kepuasan berekspresi pada masa kecil atau
keembiraan yag anak rasakan di masa kecil, akan menjadi input kebaikan untuk
kelak anak kita sudah berusia dewasa. Mungkin jadi lebih seimbang dalam
bersikap, lebih matang dalam mempertimbangkan, lebih lugas dalam menyampaikan,
dan atau sejenisnya.
Menginjak usia remaja awal, yakni di
7 tahun kedua, orangtua sudah mulai memberikan penegasan untuk menghindari
konteks keblablasan. Mengapa? Karena anak sudah mulai mengenal dunia luar
dengan lintas lingkungan dan lintas teritori yang lebih jauh. Sehingga usia
tersebut menjadi cukup transisi atas keterbatasan lingkup pergaulan di 7 tahun
pertama. Maka sering-sering megingatkan dan memberi beberapa aturan adalah
salah satunya. Walaupun tentu saja disampaikan dengan cara yang bijak.
Dan saat anak mulai pada usia remaja
akhir hingga kuliah, orangtua harus cukup berhati-hati. Karena usia mereka
berada pada fase dimana mereka seolah-olah memiliki otonomi sendiri untuk
melakukan sesuatu. Sehingga mereka akan cukup defensif terhadap vonis, terhadap
penghakiman, dan terhadap kalimat-kalimat yang terkesan penekanan. Oleh
karenanya, langkah cukup bijak untuk usia mereka adalah menggunakan pola
dialogis-dilaogis. Mungkin dnegan cara ngobrol berdua, mungkin dengan cara
mengeksplorasi minat dan hobinya, mungkin dengan bertanya kabar aktivitasnya
selama ini, dan atau sejenisnya.
Nah, kembali pada konteks keterbukaan
antara anak-anak dengan kita, berikut beberapa “insight” yang bisa sama-sama
kita bangun.
1. Terbukalah menjadi orangtua yang rendah hati. Rendah hati untuk memulai
obrolan, rendah hati untuk melunakkan dan mencairkan suasana, rendah hati untuk
mengeluarkan guyonan pembangun keakraban.
2.
Pada saat-saat tertentu, orangtua
harus memposisikan diri sebagai teman. Sehingga anak merasa ada kesepadanan,
lebih memiliki ruang untuk berkata-kata dan mengekpresikan rasa.
3.
Jelaskan beberapa teknis atau tata
cara atau tentang hukumum-hukum, sebelum mereka meginjak usia baligh.
Contohnya, seorang ibu bercerita tentang mengapa perempuan haid tidak dikenai
kewajiabn shaum. Dari sana, bisa dilanjutkan secara natural pada obrolan detail
tentang bagaimana caranya ketika suatu saat nanti mereka mendapat haid.
Sehingga secara natural, teknik ini menjadi sarana pendidikan seks sejak dini.
4.
Mintalah anak kita untuk
menceritakan profil teman-temannya. Biarlah kita tahu lebih jauh siapa saja
teman dan lingkungannya, dan biarkan pula ia nyaman menyampaikan cerita seputar
pertemanannya. Ini satu langkah orangtua untuk menghindari kebohongan atau
manipulasi kepada kita tentang kebersamaannya dengan teman-temannya.
5.
Saat kita bertanya, ambil titik
fokus sudut pandang yang mengesankan bahwa kita peduli terhadapnya. Contohnya,
ketika kita mengkhawatirkan anak kita yang belum pulang. “Kaaak. Udah makan siang belum?”. Bukan dengan lemparan pertanyaan yang sifatnya
mempertanyakan. “Kakaak. Masih di mana? Kok jam segini masih belum pulang?”
6.
Bagi seorang istri, mari kembali
untuk mengulang dan melanjutkan sikap qona’ah atau keberterimaan pada suami.
Karena bagaimana pun, fitrah seorang suami adalah memimpin dan mengambil
keputusan. Maka
7. Bagi seorang suami, kembali tafakuri bahwa isteri butuh ruang
berekspresi. Karena hakikatnya mereka ingin bahagia dan diterima.
Demikian yang dapat saya bagikan.
Allohuaalam. Semoga bermanfaat.
Salam pengasuhan
Miarti Yoga
0 Komentar