Ini bukan tentang orang ketiga. Bukan tentang pria
idaman lain atau perempuan idaman lain. Ini tentang kita, pasangan kita, dan
buah hati kita.
Terkadang begitu sulit untuk sekadar mencintai
pasangan kita sendiri. Bahkan dalam bentuk sederhana sekalipun. Egosintrisme
menjadi dinding kokoh yang begitu sulit untuk ditembus. Hingga ikhlas
beterbangan entah ke mana. Dan lagi-lagi, egosentrisme diantara kita dengan
pasangan, berdampak natural terhadap komunikasi diantara kita dengan buah hati.
Kita yang tanpa sadar berharap banyak terhadap
pasangan kita, kita yang begitu otoriter menerapkan berbagai aturan, secara
alamiah mewujud cermin. Cermin penyikapan. Sederhananya, sikap kita terhadap
pasangan, mewujud ceminan sikap kita terhadap buah hati.
Demikian pula saat kita merasa kesal terhadap
pasangan, saat kita memendam ragam ketidaksetujuan terhadapnya, saat kita tak
sepaham dengannya, saat kita membatin, maka reaksi kemarahan pun begitu
mudahnya termuntahkan pada buah hati kita. Dan mereka hanya mampu terdiam lesu
sebagai jiwa-jiwa yang terdampak atas diskoneksi kita dengan pasangan kita.
Apalah lagi saat kita bertengkar di hadapan buah
hati. Saat kita saling debat kusir di depan mereka. Saat kita saling menjelekkan.
Maka penggiringan profil pun terjadi pada saat itu. Anak kita tergiring untuk
tidak suka terhadap profil salah satu diantara kita atau bahkan dua-duanya.
Mereka bahkan mengadopsi seluruh dialog pertengkaran kita hingga dengan
refleksnya mereka pergunakan dialog-dialog ketus tersebut dalam pertemanan
sosialnya.
Dan saat kita telah terbiasa dengan superioritas, kita
yang mematok target pada buah hati kita, kita yang berharap banyak agar anak
kita menjadi “kecap nomor satu”, kita yang memasang ragam keharusan agar putra
putri kita mampu begini mampu begitu, kita yang menunggu kesempurnaan atas
segala yang ada pada darah daging kita, namun kita lena dalam memberi andil,
bahkan kita khilaf dari budaya apresiasi, bagaimanakah perasaan dia yang kita
targetkan habis-habisan.
Dia ringkih menanggung beban-beban yang kita tanam.
Satu demi satu. Dan pada saat hatinya ringkih itulah, hatinya tertabir oleh
ketidakberanian mengungkapkan. Bahkan tak mampu untuk sekadar mengungkapkan
elakan atau ketidaksanggupan. Maka terjadilah diskoneksi. Diskoneksi atas cara
atau “delivery” kita dalam menyampaikan harapan.
Mungkin kita telah mematok dengan paksaan. Mungkin
kita telah mengancamnya tanpa sadar. Mungkin kita memasang wajah kecut saat dia
menyodorkan hasil yang tak terlalu istimewa. Mungkin kita refleks bertanya
kenapa saat dia tersisih oleh salah satu atau beberapa temannya. Dan menjadi
sangat menyakitkan baginya saat kita tak ada ada andil atas setiap target yang
harus dia lampaui.
Sedih hati. Demikian satu perasaan yang bersamayam
dalam hati terdalamnya.
Maka membenahi cinta diantara kita dengan pasangan
kita, menjadi niscaya adanya untuk sebuah rasa nyaman anak-anak kita.
Pun membenahi komunikasi. Manalah mungkin pengasuhan
sempurna itu mengemuka, jika kita dengan pasangan kita tertabir oleh oleh rasa
tak suka. Manalah mungkin kita dapat lembut berkata-kata pada buah hati kita,
jika berkomunikasi dengan pasangan saja tak kunjung melunak.
Semoga semangat pengasuhan Rasulullah Saw senantiasa
menghunjam dalam jiwa-jiwa kita. Semoga Allah SWT senantiasa benamkan kita
dalam nikmatnya tafakur.
Allohu’Alam.
(Miarti Yoga)
0 Komentar