Risalah Pengasuhan, KASIH YANG TERSELEBRASI





Satu rasa yang sangat universal itu bernama cinta. Bagi muslim, romantika Rasulullah bersama istrinya, cukup menjejak sejarah. Bagaimana Bunda Khadijah wakafkan tulus dalam menamani saat-saat Baginda Rasul gundah. Bagaimana api cemburu Aisyah yang justru makin membenamkan kerinduan Baginda Rasul terhadapnya. Dan itulah sebenar-benar cinta platonik dimana kasih sayang yang sagat afektif muncul dari hati terdalam. Dimana syahwat bukan sesuatu yang dibuat pragmatis begitu saja.

Dan konteks ekstrem adalah saat ribuan remaja berduyun mengkiblati budaya selebrasi kasih sayang dimana sebatang coklat menjadi simbol yang dihidupkan untuk menghidupkan rasa dan suasana. Saling menjamu ekspresi dengan pacar, saling berbagi kejutan istimewa dengan teman istimewa. Larut dan tunduk pada pemahaman yang keliru. Membeku dalam warisan sang dewa kesuburan yang dipercayai oleh bangsa Roma tempo dulu.

Namun nyata bahwa cinta tak sekadar berbicara romansa. Melainkan berbicara rasa dengan makna yang samudera. Seperti sepasang suami istri. Harmoni kehidupan diantaranya tumbuh karena berbaurnya sikap saling menjaga, empati, dan kemistri. Bukan semata-mata nafsu yang tak terelakkan.

Pun dalam sekian segmen. Manalah tumbuh ikatan batin seorang murid kepada gurunya, jika hanya materi pelajaran yang mereka dapat. Manalah tumbuh khidmat seorang santri kepada kiyai-nya, jika sang kiyai tak sematkan tulus dan rangkaian do’a untuk santri yang diayominya. Karena memang kehidupan tak cukup dengan komponen kognitif dan psikomotor. Melainkan butuh komponen afektif yang biasanya berefek dahsyat terhadap karakter seorang anak manusia. Dan komponen afektif itulah, ternaung dalam  bejana kepribadian bernama CINTA.

Dalam segmen berorganisasi, juga tak luput dari ranah cinta. Bagiamana seorang pemimpin dapat mengarungi perasaan rakyatnya, bagaimana seorang pemimpin dapat menyelami ekspektasi timnya. Ruhnya ada dalam segumpal daging yang jika kotor gumpalan daging tersebut maka menjadi kotorlah cara berpikir dan bertindaknya. Dan betapa bagaikan batu, hatinya yang tak lagi mampu refleks terhadap kondisi yang megemuka.

Dan ranah cinta itu kian memukau jika bertolak dari sebuah lingkungan surga kecil bernama keluarga. Bagaimana seorang ibu bisa tukmaninah menghadapi buah hatinya, jika dirinya sendiri tak bisa tukmaninah menghadapi suaminya. Pun sebaliknya bagi seorang suami. Lalu bagaimana seorang anak bisa tukmaninah mengekspresikan rasa dan mengeksplorasi kapasitas diri di lingkungan sosialnya, jika kasih sayang di dalam keluarganya terlalu banyak sumbatan.

Dan bagaimana pula dengan mereka yang masih berseragam putih abu, atau baru saja menginjak dunia kampus, harus tergerus tradisi kebebasan berintim dengan dia yang bukan muhrim. Bersitatap bebas, saling menggenggam jemari, saling mengais pinggang, saling berpelukan. Tidakkah keintiman yang terekspresikan itu tak tersadari. Bahwa kurangnya elusan, kurangnya usapan, kurangnya selebrasi kasih sayang dari Ayah dan Ibu menjadi salah satu jalan dan alasan menuju rasa haus mereka akan sentuhan seseorang yang bukan seharusnya.

Keluarga memang tempat bertolak dan tempat kembali. Keluarga adalah tempat bersandar dan tempat membenamkan gundah. Keluarga adalah jembatan penyeberangan menuju utuhnya kepribadian seorang manusia. Maka tak heran bila seseorang yang tuntas melampaui semua tugas perkembangannya dari bayi hingga dewasa, performanya akan jauh lebih integral. Jauh lebih memesona.

Maka masihkah kita lunak dengan perayaan hari kasih sayang di tanggal 14 Februari dalam setiap tahunnya. Padahal kasih sayang itu semestinya diselebrasi setiap waktu. Sebagaimana Rasul suguhkan dalam rangkaian shiroh. Sebagaiman Ummu Sulaim mengharu biru dalam sandiwara mulia.

Allohu ‘alam bishshowaab.

Semoga bermanfaat.
(Miarti Yorga)

Posting Komentar

0 Komentar