Oleh : Miarti Yoga
Salah satu alasan atas kebingungan atau mungkin kegalauan kita dalam perjalanan mendidik buah hati adalah karena kita tidak tahu dengan visi atau alasan fundamental atas apa yang kita lakukan. Bahkan mungkin kita tidak punya arah dari pembelajaran yang kita kenalkan.
Contoh :
• Cukup dengan mengikuti pola otangtua kita sendiri
• Cukup dengan berkiblat dengan budaya tetangga
• Cukup dengan mengekor keseragaman yang ada
Sebaliknya, saat kita menyusun sebuah kegiatan sederhana, lalu kita paham untuk apa hal itu dikenalkan, maka dengan sangat berenergi dan senang hati kita melakukannya.
Contoh kecil, saat diantara para ibu yang begitu semangat membuatkan makanan pndamping ASI saat putra putrinya lepas dari usia enam bulan. Untuk apakah mereka membuat pure, mereka menyiapkan alpukat atau labu, memarut jagung, memblender wortel, dan atau sejenisnya. Selain untuk keterjaminan gizi, tentu sang ibu juga punya maksud khusus untuk mengenalkan varian makanan sehingga anak bisa familiar dan kelak tidak “ngeyel” menghadapi berbagai makanan yang disodorkan.
Pun saat kita mengenalkan mereka dengan keharusan untuk menunaikan sholat. Meski masih jauh dengan waktu saat mereka diwajibkan untuk sholat, namun kita telah memperkenalkannya saat mereka masih di alam kandungan. Kita berbincang dengannya yang masih bebentuk janin untuk bersama-sama bersujud pada-Nya. Lalu saat mereka sudah terlahir, sang ayah mengajaknya pergi ke masjid meski hanya ikut duduk sambil “celingukan”. Lagi-lagi. Konteks sederhana tersebut sangatlah fundamental. Sangat mendasar. Bahwa apa yang dikenalkan padanya hari ini, menjadi tabungan positif untuk mereka kelak dewasa atau mungkin hingga berusia renta.
Bahkan dalam konteks pembelajaran jual beli pada anak. Bukan hal sederhana bagi orangtua untuk menyiapkan barang jualan dan mengkondisikan display jualan untuk sang anak. Pun bagi anak yang relatif pemalu. Tak gampang baginya untuk membuka diri dalam konteks tersebut. Cukup berat baginya untuk duduk responsif di depan meja display jualan.
Persis saat anak-anak dikondisikan dalam kegiatan perkemahan. Bermalam di dalam tenda dengan segala keterbatasan, bergegas menuju kamar mandi yang cukup berjarak dari tempat tenda terpancang, melintasi kolam hingga basah kuyup demi untuk sampai di sebuah penyimpanan tanda jejak. Memang tak mudah, meski ada rasa gembira karena dilakukan bersama-sama. Namun tetap saja ada beban atas baju basah yang telah menyatu dengan lumpur merah. Tetap saja ada bersitan rasa berat untuk menjalani. Apalagi jika dibanding-bandingkan dengan kondisi di rumah sendiri dengan keserbamudahan yang ada.
Jika terpikir sekelebat, untuk apa sebetulnya hal demikian mesti dikenalkan dan mesti mereka tempuh. Persis dengan prosesi baris berbaris yang mereka dapat, khususnya di hari di mana upacara bendera digelar. Namun di situlah makna sebuah pembelajaran kita sematkan. Bagaimana mereka membenamkan kepatuhan, bagaimana mereka mengkhidmatkan disiplin, bagaimana mereka bersikap rendah hati untuk tertib, bagaimana mereka bisa adaptif dalam berbagai kondisi.
Baik bagi orangtua maupun guru, mencipatakan kebermaknaan dalam sebuah pembelajaran, bukanlah sesuatu yang praktis. Sangat tak mungkin dijalankan dengan hanya bermodalkan sikap serba isntan, sikap serba ingin cepat saji, sikap serba ingin cepat menuai hasil. Apalagi hanya bermodalkan sikap malas menyusun rencana, sikap enggan mengambil resiko, sikap berat melalui tantangan.
Namun ketika kebermakanaan itu terbangun, maka kegemberiaannya bukan hanya bagi anak, melainkan juga bagi kita sebagai jembatan pembelajaran. Gembira lahir dan batin. Dan kebermakanan itulah esensi dari sebuah aset. Atau mungkin dalam dunia marketing, dikenal dengan istilah “intangible asset”. Artinya, ketika kita menciptakan sebuah pembalajaran demi menanamkan sopan santun, kerendahatian, kesabaran, kemandirian, ketangguhan, itu semuanya adalah “intangible asset”. Aset yang dibangun dalam rentang panjang, berkelanjutan, dan menjadi identitas atau keunikan tersendiri
bagi orang-orang sekitar yang mencerna atau memperhatikannya.
Jika dianalogikan dengan produk, persis saat diantara kita minum secangkir kopi Starbuck (maaf menyebut merk). Mungkin nominal sesungguhnya hanya 3000 atau 5000 saja. Tetapi harga jualnya hingga 48.000. Namun ada sebuah kemistri atau kepercayaan yang sangat tinggi bagi konsumennya saat mengkonsumsi minuman dengan “brand” tersebut. Meski harus dibayar dengan harga semahal itu. Dan itu wajar adanya. Karena yang dijual adalah “intangible asset”.
Sebaliknya, ketika kita hanya menyodorkan sesuatu yang instan, yang tanpa keunikan, yang cukup dengan hanya mengikuti pola-pola orang lain, yang tidak ada kebermaknaan, itu semua hanyalah “tangible asset”.
Mirip dengan sebuah fakta, dimana tak jarang kita terjebak dalam menyepakati definisi pembelajaran. Kita berpikir bahwa pembelajaram itu hanya dibangun di sebuah ruang kelas, bahwa pembelajaran itu cukup dengan “skill” baca tulis hitung, bahwa pembelajaran itu hanya konteks intruksi pragmatis dari guru kepada muridnya, bahwa pembelajaran itu cukup dengan berkompetisi nilai akademik, dan keterbatasan cara berpikir sejenisnya. Maka cara berpikir demikian hanyalah sampai pada kemampuan membangun “tangibel asset” dalam dunia pendidikan atau pengasuhan.
Maka lagi-lagi, meluaskan persepsi tentang makna pembelaran adalah semestinya. Menajamkan tujuan dari sebuah kegiatan yang kita ciptakan adalah niscaya adanya. Sehingga saat kita mendaftarkan buah hati kita pada sebuah lembaga pendidikan, maka kita akan selektif mencari kebermaknaan dari pembelajaran yang disajikan oleh lembaga tersebut. Kita tak cukup menjain hubungan transaksional saja. Melainkan terbuka menjalin hubungan emosional.
Maha Rahman Allah. Tak ada bakti yang tak terganti. Tak ada pengorbanan yang tak begitu saja dibiarkan. Tak ada proses yang terkhianati. Tak ada ikhtiar yang tak terhargai. Allah tentu membalasnya. Dan proses panjang yang kita lakukan dalam mengawal generasi, keunikan yang kita bangun demi kebaikan buah hati, keikhlaskan yang kita tuai untuk sebuah kebermaknaan tercipta, adalah tiang-tiang pancang pembangun “intangible assets”. Aset yang tak terbatas pada materi. Yang tak terbatas pada sesuatu yang berwujud. Namun aset yang bersubstansi. Yang mengundang kemistri.
Allohu ‘alam bishshowaab.
Semoga bermanfaat.
Taman Madinah Arcamanik, 17 Februari 2017
😍Salam pengasuhan😍
0 Komentar