Sri mengajarkan cara membaca Quran Braille |
pksbandungkota.com - Ini adalah salah satu sindrom kemunduran yang progresif
pada retina, yang mempengaruhi penglihatan di malam hari, penglihatan tepi, dan
pada akhirnya bisa menyebabkan kebutaan. Ini merupakan penyakit keturunan yang
jarang terjadi. Beberapa bentuk penyakit ini diturunkan secara dominan, hanya memerlukan
1 gen dari salah satu orang tua, bentuk lainnya diturunkan melalui kromosom X,
hanya memerlukan 1 gen dari ibu. Penyakit ini terutama menyerang sel batang
retina yang berfungsi mengontrol penglihatan pada malam hari, pada retina
ditemukan pigmentasi yang berwarna gelap.
Ini adalah penyakit langka, terutama di tahun 1996 di
Jambi, saat Sri menginjak usia 18 tahun, tiba-tiba penglihatannya berubah.
Tulisan yang dia lihat jadi pecah-pecah. Ketika ia ayahnya yang bekerja di
Agraria memeriksakannya ke dokter, mereka sempat tidak bisa menentukan sindrom
yang terjadi, hingga Sri berobat ke Profesor Ibrahim, seorang senior dokter
mata di Padang. Beliaupun mendiagnosa bahwa yang diderita Sri ialah RP
(Retinitis Pigmentosa).
Sri ialah anak ke-7 dari 8 bersaudara. Dua saudaranya juga
mengidap sindrom yang sama, yaitu kakanya nomor 2, dan adiknya yang nomor 8.
Saat itu Sri sedang berkuliah di jurusan Bahasa Inggris Komputer di Padang,
semester 2. Sedangkan kakaknya sedang berkuliah di Universitas Jambi, semester
5, jurusan matematika. Sedangkan adik bungsunya, terkena tunaganda (mata,
telinga, bicara), ketika masih berusia balita.
Perasaan Sri sempat down, tidak menerima kenyataan yang
ada, sedih, terlebih lagi saat dia melihat kawan-kawan sepermainannya sedang
menikmati masa remaja. “Kenapa ini terjadi padaku?”
Sebagai salah satu penyandang tuna netra, aktivitas Sri
bisa dikatakan luar biasa. Di rumah, ia biasa mengerjakan pekerjaan rumah
seperti menyapu, mencuci, masak, dan menyetrika. Indera perabanya sudah terlatih
sejak dia masuk di asrama PSNB (Panti Sosial Bina Netra) Tuah Sakato, Padang,
tahun 1999. Awalnya orang tua Sri tidak
mengijinkan Sri untuk bersekolah di sana, karena bagi mereka, gaji mereka masih
bisa cukup untuk menghidupi Sri dan ketujuh anak lainnya. Tak perlu anak semuda
Sri, yang termasuk tuna netra, belajar hidup mandiri.
Untungnya Sri bukan orang yang mudah dibujuk. Ia pun
mengancam tidak akan makan jika tidak disekolahkan. Luluh dengan keteguhan hati
Sri, orang tuanyapun membawa Sri untuk menghuni asrama selama 3 bulan. Alasan
orang tuanya tidak mau menitipkan Sri di asrama adalah karena mereka tidak mau
dianggap seolah-olah “membuang anak” ke sana. Sedangkan Sri beranggapan, dengan
dimasukkannya Sri ke asrama, Sri akan menjadi orang yang mandiri, yang tidak
menjadi beban orang lain. Untungnya kedua hal ini bertemu. Sripun memulai perjalanan
barunya di asrama.
Sri saat mengoperasikan HP |
Agustus 1997, Sri masuk ke asrama, dimana ia berteman
dengan penyandang tuna netra, iapun mengalami konflik batin lagi. Sehingga
iapun memutuskan untuk pindah asrama. Setelah itu, Sri dipertemukan dengan
seorang pembimbing yang tidak hanya membimbing dirinya selama di asrama, tapi
juga di kehidupan nyata.
Dialah Ibu Gusni. Seorang pembimbing yang disegani di PSBN,
hampir semua murid di sana takut pada beliau, kecuali Sri. Mendapati Sri dalam
keadaan lemah, Ibu Gusni memberikannya petuah yang menguatkan, “Kamu harusnya
bersyukur, sudah pernah melihat. Teman-temanmu disini dari lahir sudah tidak
bisa melihat. Mereka tidak tahu warna, beda denganmu”.
Sri pernah ditinggal sendirian di pasar oleh Bu Gusni.
Mereka berdua ke pasar, lalu di tengah pasar, Bu Gusni meninggalkan pegangannya
pada Sri. Sripun memanggil-manggil. Namun tak ada suara dan tangan Bu Gusni di
sana. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kembali ke asrama, tanpa tongkat,
dan meraba-raba dari cahaya yang masih bisa masuk ke matanya. Beberapa langkah
kemudian, Bu Gusni menghentikan langkahnya. “Berhenti!”. Sri terkejut, tak
menyadari apa yang akan terjadi. Bu Gusnipun dengan nada tegas menceritakan
alasannya:
“Kamu harus gunakan semua panca inderamu. Gunakan telingamu
untuk mendengarkan ada apa di dekatmu, dari arah mana kendaraan. Jangan asal
jalan”.
Selain huruf Braille, Sri juga belajar menggunakan tongkat
untuk berjalan. Namun, pernah saat belajar tongkat, Sri hampir masuk selokan,
sejak saat itu, Bu Gusni tidak
mengajarinya memakai tongkat lagi. Hingga saat ini, Sri tidak terlalu mahir
menggunakan tongkat dalam berjalan.
Di PSBN, dibagi di beberapa kelas pembelajaran. Setelah
mahir Braille dan menggunakan stilus dan riglet (alat tulis huruf Braille), murid
PSBN belajar merajut dan massage di kelas
2. Lalu belajar akupuntur di kelas 3. Sri ingin lanjut langsung ke kelas 3,
padahal peraturan tidak memperbolehkannya. Tapi Bu Gusni membantunya untuk
meyakinkan kepala sekolah untuk memberi Sri ujian kenaikan tingkat. Jika tidak
lulus, maka Sri akan tetap di kelas 2.
Hingga akhirnya ketika lulus asrama, Sri memutukan untuk
merantau, karena tak ingin dia kembali ke daerahnya, hal itu hanya akan
menyakitkan. Bu Gusnilah yang memberinya modal kompor, beberapa gelas beras,
dan Sri bertahan hidup dengan skill memijatnya.
Sebelum menderita RP, Sri pernah menjadi salah satu pasukan
pengibar bendera kabupaten dan provinsi. Namun semangatnya masih tetap sama,
Sri pernah menginisiasi untuk mengundang KPU (Komisi Pemilihan Umum) ke Padang,
pertama kalinya melakukan sosialisasi di
PSBN. Selain itu, Sri juga aktif di PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia).
Sri mengajarkan cara menulis huruf braille |
Pada waktu itu, tunanetra di daerah hanya dianggap tak
lebih dari beban, pengemis (fakih). Dan dengan berbagai kegiatannya, Sri
membuktikan sebaliknya. Tunanetrapun bisa berkiprah, bisa menjadi inspirasi.
Dan kebiasaannya inipun dibawanya hingga ke Bandung, dia
juga aktif di Sekolah Ibu, dan dengan semangat
mengajak ibu-ibu sekitar untuk aktif belajar di Sekolah Ibu yang
menyediakan materi beragam bagi ibu-ibu rumah tangga. Selain itu, Sri juga
aktif dalam kampanye PKS, hingga masuk di jajaran timses ketika pemilihan salah
satu calon. Dengan seadanya, Sri membawa brosur berbagai calon dan
menyebarkannya ke warga sekitar. Sri salah satu inspirasi di Rumah Keluarga
Indonesia, yang pernah diminta untuk menyemangati para kader. Sri juga
berkesempatan untuk bertemu dengan Ibu Ledia Hanifa. Ia kini sedang belajar
membaca Al Qur’an Braille, suatu hal yang sangat menantang. Namun dilakukannya
dengan suka cita. Tak malu, Sri mengajak warga sekitar yang masih belum fasih
membaca Al Qur’an.
Sri, dengan segala keterbatasannya, mampu menginspirasi.
Dan semua diawali dengan seorang guru, sekuat, sepositif, setegas, dan setulus
Bu Gusni. Bagi para penyandang cacat tubuh, Sri menitipkan pesan:
“Buka diri, terima yang Allah sudah berikan. Allah akan
mendatangkan orang-orang yang akan membawa apa yang kita butuhkan, karena Allah
Maha Dekat. Semakin kita tidak menerima keadaan kita, dan berpura-pura menjadi
orang lain (orang yang bisa melihat, red)”.(LH)
Nama :
Sri Agriani
TTL :
Kerinci, Jambi, 19 September 1979
Nama suami : Drs.
Muhammad Yusuf
Nama anak: 1.
Anisa Suci Ramadhani
2.
Halifah Yusri Sabila
3.
Khulqiya Rahmawati
Alamat :
Kel. Pasteur, Bandung.
0 Komentar