Pejuang Tanpa Senjata, Tanpa Zirah (bag 3)

"Kembali dulu ke perang sabil, hai teungku emas sepuhan. Harta telah Tuhan terima, kini saatnya menyerahkan nyawa. Syarat bila Tuanku ingin bersenang, pertinggilah agama Rabbi."
Begitulah dikatakan putri bangsawan, kuning langsat, cantik tak dapat dikata. Saya terbangun wahai Sayidi. Bukan saya putus asa, tapi kemanakah putri jauhari. Sang pemuda menangis.

Abdul Wahid juga menangis. Berkata ia," Wahai muda rupawan, begitulah terjadi. Bintang timur jangan kau menangis lagi. Pergilah ke dalam saf perang. Nikahilah putih licin sang bidadari.

Si Bintang Pari meraih lutut gurunya. Menangis tersedu sedu. Gurunya pun menangis tak terbendung. Diciumnya dahi sang kesayangannya. Pergilah wahai Ananda, ke negeri suci. Untukmu surga indah, luas dan tinggi.

Sang pemuda melesat menaiki kudanya cepat. Meninggalkan guru dan rekan-rekannya yang menyusul di belakang. Tibalah dia di medan perang. Kafir Belanda garang tiada terperi, pedang panjang di jarinya menyerbu terus Si Kuntum Mekar.

Muda belia mencabut pedang. Kafir Belanda ditebasnya kanan kiri. Abdul Wahid dan rekan-rekan telah datang. Turut masuk di medan perang. Hati yakin pertinggi agama Rabbi.

Pria tampan amat gembira. Sembilan kafir telah terkapar, hilang nyawa. Kini ia dikepung kafir ganas. Muda belia tak dapat melepaskan diri. Roboh. Bergulir.

Alhamdulillaah. Sudah tiba waktunya. Janji dengan sang Putri bidadari.

******

Tafsiran bebas atas satu kisah dari empat kisah dalam Hikayat Perang Sabil karya Pante Kullu.

Seorang serdadu Belanda yang beralih profesi menjadi wartawan, Zentgraff dalam bukunya "Aceh", menilai bahwa belum ada karya sastra di dunia yang begitu berpengaruh selain karya Pante Kullu. Kalaupun ada karya Le Marseillaise di masa Revolusi Perancis atau karya Common Sese di perang kemerdekaan Amerika, belumlah sehebat pengaruh karya Pante Kullu.

Hasjmy, penulis Indonesia pun menyejajarkan karya Pante Kullu dengan karya sastra Hasan bin Tsabit di masa Rasulullaah.
Bahkan penyair kenamaan Indonesia Taufik Ismail pun menyampaikan apresiasi tinggi intuk Pante Kullu dalam syairnya:

Nampakkah olehmu puisi itu
Diserahkan kepada Teungku Chik di Tiro
Di sebuah desa dekat Sigli
Dan puisi itu berubah menjadi sejuta rencong
Terdengar olehmu
Merdunya Al Furqan dinyanyikan
Kemudian puisi perang Sabi dibacakan
Yang mendidih darah memanggang udara
Menjelang setiap pasukan terlibat pertempuran
Mengobarkan panji fii sabilillaah
Hamba menulis puisi juga
Tapi betapa kurus puisi hamba
Kurang sikap ikhlas hamba
Banyak riya dan ingin tepuk tangan
Apalah artinya dibandingkan puisi perang sabi
Muhammad Pante Kullu
Allah, berkahi penyair abad sembilan belas ini
Beri dia firdaus seluas langit dan bumi

Posting Komentar

0 Komentar