bunda |
Dear Ayah Bunda. Selamat kembali beraktivitas pasca Ramadhan dan Idul Fitri 1437 H. Semoga semangat Ramadhan senantiasa terjaga dalam perjalanan pengasuhan kita hingga waktu yang entah kapan berakhirnya. Semoga mereka tetap tertib mengelola waktu, semoga mereka tetap membersamai Al-Qur’an, dan semoga mereka tetap pantang menyerah sebagaimana mengajarkan kita untuk menjadi ummat yang lebih ta’at dan kuat.
Sebagai konsumen atau mungkin sebagai klien dari sebuah lembaga pendidikan –baik negeri maupun swasta-, bukan satu dua orangtua yang rasakan bimbang atas beberapa pilihan pendidikan terbaik untuk putra-putrinya. Ada yang terbawa anti mainstream, ada yang kukuh pada jalur formal, dan ada yang memilih pendidikan alternatif –homeschooling-. Bahkan ada beberapa orangtua yang merasa lebih optimal dengan mengirimkan putra-putranya ke sebuah pesantren atau ke boarding school.
Dalam keseharian, bukan satu dua kali saya terlibat dalam diskusi panjang terkait pilihan pendidikan terbaik. Sebagai bagian dari orang yang memilih jalur formal berlembaga, yakni menyelenggarakan sekolah untuk anak usia dini hingga usia Sekolah Dasar, bukan tak ada bersitan hati untuk menghadiahkan pendidikan bagi kedua anak biologis saya dalam konteks homeschooling. Lalu saya sendiri yang menangani dan menjadi gurunya secara langsung. Namun perjalanan berkata lain. Saya menabur impian melalui pendirian sekolah formal. Yang dengannya, bait-bait amar ma’ruf nahy munkar pun saya upayakan dengan mendedikasikan rasa, karsa dan raga di ladang tersebut.
Dalam perjalanan 10 tahun, saya berkenalan dekat dengan beberapa praktisi homeschooling atau bahkan satu panel dengan diantara mereka dalam ragkaian seminar parenting dan atau sejenisnya. Racikannya, saya rasakan sebagai sebuah sinergitas yang harmoni. Perbedaan yang mewujud padu dengan kelebihan masing-masing, yakni antara model formal dengan model nonformal.
Namun rasa bimbang yang saya sampaikan di muka, masih tetap menjadi masalah bagi sebagian besar orangtua. Ada orangtua yang terkesan “paranoid” dengan sekolah dasar negeri –walaupun paranoidnya seseorang terhadap sekolah negeri- belum tentu bisa dirasakan secara seragam. Ada orangtua yang memilih jalur swasta hanya dengan modal ajakan atau tergiring mayoritas peminat dan testimoni. Bahkan hanya dengan melihat tampilan fisik sekolah tersebut serta hanya dengan mendengar profil sekolah tersebut sebagai sekolah yang bonafid, maka dipiutuskanlah untuk dijadikan pilihan. Dan ada pula orangtua yang memilih sekolah bonafid hanya karena dorongan ego diri dan pemantasan strata sosial.
Namun ada orangtua yang berakhir kecewa di sebuah lembaga formal dan pada akhirnya memilih homeschooling sebagai solusi. Ada orangtua yang sulit sekali memiliki trust terhadap sekolah tertentu walau pada akhirnya sekolah tersebut terpaksa menjadi pilihan. Namun ada juga yang memilih homeschooling dengan pilihan yang sangat natural, nyaris tanpa tekanan, dan tanpa dasar kecewa oleh salah satu lembaga manapun. Melainkan karena kondisi yang megharuskan demikian. Geografis, kondisi keluarga, idealisme, keluangan waktu dan kapasitas yang sangat mendukung, tugas kepala keluarga yang megharuskan pindah secara boyongan ke mancanegara dan ragam alasan lainnya, semuanya menjadi faktor yang sangat manusiawi.
Nampak dari kemengaliran wacana pendidikan yang ada, tentu butuh ruang muhasabah bagi kita, -para orangtua-.
Seorang ibu dimana rahimnya telah lahirkan sejarah bagi kehidupan, tentu akan sangat kenal siapa buah hatinya. Dan logikanya, merekalah yang seharusnya paling tahu apa yang anak-anak butuhkan. Pun seorang bapak. Dari pergulatannya membawa keluarga, secara alamiah akan menjadi sosok yang paling mencerna fenomena keluarga. Termasuk siapa dan bagaimana anak-anaknya.
Karenanya, apa dan seperti apa pendidikan terbaik bagi buah hati, itu berada di ranah komunikasi antara suami dan isteri. Persoalan pililhan, itu ibarat jamuan selera. Kita mau memilih yang mana, tergantung apa dan mana yang kita suka. Kita mau memutuskan yang mana, tergantung ketersediaan finansial yang setara dengan harga jual yang ada. Pun dengan kesepakatan diantara suami isteri terkait model pembelajaran apa yang hendak diberikan, itu pun akan menjadi bahan keputusan.
Karena di tengah ingar bingar pemikiran oangtua yang memilih jalur formal, bukan tidak mungkin jika sebagian diantara orangtua tersebut jauh lebih memilih jalur nonformal dengan ragam metode dan evaluasi tersendiri.
Semua lembaga sekolah yang ada, baik formal maupun nonformal, insyaAllah sangat bergaransi, selama kita memberikan pendampingan sejati, selama kita memilih dengan hati, selama kita berazzam untuk menguatkannya dengan ragam kontekstual, selama kita tidak terjebak pada arak-arakan wacana yang belum tentu tepat untuk kita dan anak kita.
Mengapa demikian, karena banyak hasil yang menakjubkan dari masing-masing pilihan. Seorang anak hasil didikan homescholing yang terjamin kedisiplinan dan keberlangsungannya, mampu memiliki skill mumpuni yang sangat tepat dikembangkan dalam kehidupan nyata. Seorang anak luusan sekolah negeri di sebuah pelosok dengan segala keterbatasan, mampu hadiahkan karya dan mampu bersaing di tingkat nasional. Seorang anak lulusan sekolah swasta terkemuka, mampu menjadi sumber inspirasi atas gagasannya yang original.
Dengan demikian, sejatinya kita arif dalam menyikapi dan memutuskan. Paling tidak, kita punya beberapa takaran seperti ;
1. Pilihan lembaga pendidikan yang dijadikan rujukan oleh tetangga oleh teman, belum tentu tepat dan cocok untuk anak kita.
2. Bersiaplah dengan support terbaik untuk kepercayaan diri anak kita dan serta upayakan ragam alternatif pembelajaran di rumah, saat kondisi lembaga pendidikan tempat anak kita beraktivitas tak mampu menjawab ekspektasi kita secara keseluruhan.
3. Betapapun kita telah menitipkan anak kita kepada sebuah lembaga pendidikan profesional bahkan mungkin “mahal”, kontrol harian tetaplah ada di tangan kita. Karena sehebat apapun lembaga pendidikan yang ada, bukanlah sebuah sandaran untuk kita mengalihkan amanah pendidikan.
4. Kembalilah kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itulah sebenar-benar kiblat pendidikan terbaik. Berbanggalah kita sebagai muslim dengan ragam akhlak dan adab yang telah diajarkan Rasul. Sehingga apapun pembelajarannya, kita berdasar secara utuh kepada aturan yang menakjubkan itu.
5. Sediakanlah sebanyak-banyak deposito kasih sayang kita untuk buah hati. Karena kitalah tempat berlabuhnya. Kitalah yang seharusnya menjadi sumber inspirasi baginya. Sehingga tidak ada kejadian di mana anak kita berkeliaran di luar dengan segala tingkahnya yang tak terkontrol, akibat mereka merasa terabaikan oleh orangtunya sendiri.
Maka tak ada lagi saling klaim paling benar atas masing-masing pilihan. Meski sikap persuasif hampir tak bisa dihindari.
Mari tunjukkan ikhtiar masing-masing dengan semangat kolaborasi. Hiasi semesta dengan warna-warni kapasitas.
Tetap berkiblat pada petunjuk Rasul teladan. Menyerap sedemiakn teori dan hasil temuan, itu pun menjadi ketawaduan kita sebagai manusia yang salah satu fitrahnya adalah; BELAJAR.
Demikian yang dapat saya bagikan. Semoga bermanfaat. Allohu a’lam bish showaab. (Miarti)
0 Komentar