Fokus pada Kelebihannya



 
ilustrasi
Dear Ayah Bunda.. Kembali bersalam sapa dengan Anda semua. Semoga semakin hari, kelucuan buah hati kita semakin mengairahkan kita untuk menyusun beragam karya.
Ayah Bunda dimanapun Anda.. Kembali kita menafakuri firah kita sebagai manusia. Kita terlahir sebagai pribadi yang unik, yang berbeda satu sama lain, yang berciri khas tertentu, dan memiliki kelebihan yang tak bisa disamaratakan. Nah, fitrah ini berlaku bagi semua manusia tanpa kecuali. Demikian pula dengan makhluk unik bernama anak. Bila diantara anak yang dikatakan normal saja terdapat beragam perbedaan dan keunikan, maka apalagi jika diantara anak berkebutuhan khusus.
Selanjutnya, seringkali menjadi kegalauan tersendiri bagi para orangtua ketika diantara putra putrinya belum atau tidak mampu melakukan sesuatu, atau tidak selihai temannya dalam membuat suatu karya, atau tidak sehebat anak saudara atau anak-anak tetangga. Padahal, kegalauan yang demikian hanya akan menggelamkan potensi kelebihan anak kita sesungguhnya. Karena setiap anak tak bisa diseragamkan kehebatannya. Bahkan, jangankan dibandingkan dengan anak tetangga atau teman satu sekolah, diabandingkan dengan saudara satu darah pun belum tentu sama. Oleh karenanya, sudah bukan zamannya bila diantara kita masih ada yang merasa tak tenang ketika mencoba membanding-bandingkan.
Ayah Bunda… Tak ada yang Allah ciptakan melainkan supaya kita berpikir. Termasuk keberadaan anak kita. Sanga mustahil Allah menganugerahkan pada kita seorang insan yang punya sisi kelemahan jika tak dimpurnakan dengan kelebihannya. Oleh karena itulah, jika ada sesuatu yang bisa dikatakan “tidak wajar” pada anak kita, maka balikkanlah cara berpikir kita dengan paradigma “Temukana sebanyak-banyaknya kelebihan dia dan abaikan sekecil apapun kekurangannya.”
Sebagai contoh, jika anak kita belum bisa menulis huruf pada usia SD, tak perlu kita memvonis bahwa dia tak mampu apa-apa atau dia anak yang terlambat atau anak bodoh. Banyak faktor yang menyebabkan dia mengalami kesulitan semacam itu. Bisa karena kelainan tulang belakang, bisa karena terlewatinya satu fase perkembangan -seperti merangkak-, bisa karena bermasalah dengan jari tangannya, dan lain-lain. Padahal, jika betul-betul mentok dia bermasalah dalam menulis, sebetulnya masih banyak yang bisa dia buktikan bahwa dia anak hebat. Dan sangat mungkin, ketika merasa lemah untuk menuliskan, maka dia akan sangat lihai dalam mengingat atau dalam berbahasa lisan. Oleh karenya, ketika dia berpotensi menjadi seorang penghafal Qur’an, atau berpotensi menjadi seorang public speaker, atau berpotensi sebagai negosiator yang di kemudian hari menjadi bekal berharga untuk terjun di dunia bisnis, mengapa kita terus menerus mengingat kelemahannya. Mengingat dan menyesali kelemahan anak kita bukanlah suatu yang produktif dan tak kan pernah menjadi solusi.
Bila mengingat-ingat kelemahan anak itu sangat tidak bermanfaat, maka membanding-bandingkan anak kita dengan kelebihan orang lain pun sama-sama tidak bermanfaat. Sebagai contoh, ketika anak saudara juara menggambar, atau anak tetangga juara pidato, kita langsung merasa iri dibuatnya. Jika rasa itu bisa produkf alias dapat memacu semangat kita untuk membentuk anak kita menjadi juara, itu tidak masalah, bahkan mungkin bernilai positif. Yang tidak baik adalah ketika kita secara spekulasi menginginkan anak kita menjadi seperti anak orang. Padahal, bidang atau minat yang dimiliki anak kita bukan disana. Atau dengan bahasa sederhana bisa diistilahkan; “Jika anak kita kesulitan dalam berkomunikasi lisan, tetapi sangat lihai dalam menggambar dan melukis, maka dongkrak setinggi-tingginya kemampuan dia dalam melukis dan menggambar. Bukan diarahkan untuk mengikuti lomba baca puisi atau kontes pildacil.”
Ayah Bunda… Memang perlu bagi kita untuk bijak melihat kelebihan anak. Paling tidak, lihat kesehariannya, perhatikan hobi dan minatnya, tanyakan dengan lugas pada bapak ibu gurunya di sekolah, atau lakukan tes yang mengarah pada potensi minat dan bakatnya. Mudah-mudahan kita bukan bagian dari rangtua yang mendidik putra putrinya dengan cara spekulasi alias sekadar mencoba dan meraba-raba. Karena setiap individu berpotensi untuk bisa hebat dan melesat jika minatnya terasah dan ter-mainantance.
Sebaliknya, menjadi orangtua yang tanpa cita-cita besar untuk kehidupan putra-putrinya kelak, ini merupakan bagian dari ketakberdayaan. Karena mendidik anak itu bersama perencanaan, bukan mengalir apa adanya. Selain itu, mendidik anak itu bersama impian, bukan menghabiskan waktu untuk berkutat dengan kerumitan. Maka jadilah kita sebagai ornagtua paling bahagia, supaya dengan mudah mendampingi dan membesarkan hati mereka.
Sungguh besar tugas kita. Sungguh besar pula kekuatan kita untuk memastikan tercapainya cita-cita mereka. Dan empat langkah yang saya sodorkan ini semoga menginspirasi.
1.      Pertahankanlah kebahagiaannya dan jangan biarkan ketidaknyamanan hati membuatnya tak bisa berkarya.
2.      Berikan dia kebabasan untuk mengasah pilihan, sehingga dia mencintai hobinya dan bersedia untuk terus belajar di bidang ilmu yang sesuai dengan bakatnya.
3.      Beri dia kepercayaan untuk membuktikan karya-karyanya.
4.      Uji dengan tantangan dan yakinkan bahwa dia bisa melakukan lompatan-lompatan indah dalam setiap tahapnya.
Semoga Ayah Bunda tetap tercerahkan selamanya. Peluk cium untuk Ananda. Semoga mereka menjelma pribadi-pribadi yang mewarnai dunia dengan kapasitasnya masing-masing, dengan talentanya masing-masing, dan dengan sentuhan karyanya yang berbeda satu sama lain.
Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.(Miarti)

Posting Komentar

0 Komentar