Tak Berdiri Sendiri (Part 1)


pksbandungkota.com - Mungkin diantara Ayah Bunda ada yang masih ingat dengan fenomena gantung diri yang dilakukan oleh anak SD sekitar tahun 2007 silam yang cukup ramai diberitakan media. Adapun alasannya sangat sederhana dimana dia merasa malu akibat belum membayar biaya sekolah. Sementara kedua orangtua terbatas secara finansial.

Kasus tersebut memang sangat tak lazim, dimana kondisi disequilibrium (ketidakseimbangan) tersebut mengharuskan seorang anak bingung. Dan mengakhiri hidup harus menjadi pilihan.
Jika dicermati, kasus tersebut tentu tidak terjadi serta merta alias tak berdiri sendiri. Melainkan banyak faktor yang turut terlibat. Yang pertama adalah karena bisa jadi karena anak tersebut berada dalam lingkungan yang pesimistis. Bahkan mungkin apatis, dimana ayah, ibu, saudara, atau orang yang ada di lingkungan rumahnya terbiasa mengeluhkan ragam kekesalan dan miskin keyakinan akan masa depan. Keberlimpahan dan keberuntungan seolah serba tak mungkin bisa didapat. Karena latar belakang keluarga telah benar-benar astenik dimana menjalani hidup tanpa gairah, lemah, lesu, letih, lemas, dan tak ada tenaga sepanjang hidupnya. Sehingga kebiasaan tesebut menjadi sebuah mental yang terwujudkan dalam bentuk pola pikir.

Faktor kedua adalah karena adanya contoh. Baik yang terjadi di lingkungan keluarga terdekat, di lingkungan masyarakat lebih luas, atau melalui berita-berita di media. Kehadiran contoh tersebut secara tidak langsung melegitimasi setiap niat dan perlaku buruk menjadi suatu yang wajar.
Persis fenomena remaja kita yang beramai-ramai pacaran lalu berakhir dengan kisah hamil di luar nikah. Bahkan saat aib dirinya telah terberitakan sekalipun, sang remaja tersebut masih bisa berjalan dengan tunggang lenggang tanpa beban malu dan tanpa perasaan terhina. Mungkin ini bagian dari pergeseran moral dimana perilaku-perilaku menyimpang telah dianggap biasa. Dan dari manakah lagi kemunculan rasa tersebut bermula, jika bukan dari contoh yang mengemuka serta legalisasi oleh orangtuanya sendiri.

Beban zaman memang tak pernah sama. Terlebih era digital telah menyuguhkan kondisi serba mudah. Maka imunitas yang dibutuhkan oleh kita pada saat zaman dulu tentu akan berbeda dengan imunitas yang dibutuhkan oleh anak-anak yang hidup di zaman sekarang atau pada masa yang akan datang. Karena takaran dampak negatif yang didapat tentu sangat berbeda. Pun dengan skema pemikiran yang diperoleh. Anak yang hidup pada masa dimana sangat minim terjadi penyimpangan, akan memiiki skema berpikir yang beda degan mereka yang hidup di zaman multi masalah dan penyimpangan.

Maka sangat wajar jika menjamur kasus-kasus memalukan pada generasi kita seperti aborsi, narkoba, pencurian, pencabuan dan atau sejenisnya. padahal usia mereka masih terbilang remaja. Bahkan masih transisi (antara usia SD dan SMP). Bahkan tak heran bila anak kelas  SD sudah mimpi basah (laki-laki) dan sudah haid (perempuan). Karena memang libidinal dan sensualitas telah benar-benar tervisusalisasi, baik melalui gadget, iklan di televisi, dan lain-lain.

Namun secara fitrah, anak-anak berada pada kondisi tidak tahu batasan norma. Sehingga pada saat mereka melakukan penyimpangan sekalipun, semata-mata karena dorongan coba-coba. Meskipun secara pengetahuan mereka sudah bisa menyerap, namun bisa saja belum sampai pada tingkat memahami. Dan kewajiban memahamkan itulah berada di tangan kita, -orangtuaya-.
Selanjutnya, proses memahamkan anak (bagi orangtua) atau proses asimilasi (bagi anak), tak bisa berlangsung seketika dan berhasil dalam satu kali penyampaian. Melainkan butuh penegasan dan pengingatan secara berulang (reminder).

Seperti dalam konsep kepribadian menurut Islam, manusia memiliki dua potensi akhlak yang bertolak belakang, yaitu taqwa (baik) dan fujur (buruk). Keduanya adalah pilihan, sebagaimana Allah firmankan dalam surat Asy-Syams 8-10; “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Dengan dua pilihan tersebut, kita dituntut bijaksana memberikan pola. Karena penyimpangan yang terjadi pada mereka bisa menjadi sebuah pelampiasan atas ketidaknyaman atas sikap kita yang diktatoris. Baginya, diktatoris itu menyakitkan. Dan diktatoris itu mendorong mereka untuk mencari sensasi yang memuaskan, terlepas apakah sensasi itu mudharat atau tidak.
Kiranya kita perlu cerdas dalam memilihkan jalan untuk mereka. Jangan biarkan diri kita terjebak pada pilihan yang salah. Karena setiap pilihan tentu bersama resiko masing-masing. Namun yang perlu kita yakini adalah bahwa terdapat satu pilihan lurus yang kemanfaatannya tak terbantahkan.

1. Tipe Adaptif (QS Al-Baqarah 3-5)
Tipe ini adalah pilihan sejati, dimana anak dapat menerima aturan dan berkomitmen untuk mentaatinya. Selain itu, pada tipe tersebut terdapat ke-qana’ah-an serta keyakinan akan ke-Mahabesar-an Tuhan.

2. Tipe Defensif (QS Al-Baqarah 6-7)
Anak dengan tipe defensif akan mengungkapkan rasa tak suka secara verbal. Segala bentuk ketidaksetujuan, penolakan, dan perlawanan diungkapkan dengan terang-terangan baik melalui ucapan maupun perbuatan.

3. Tipe Manipulatif (QS Al-Baqarah 8-14)
Pada tipe ini, anak berusaha keras memperlihatkan kepatuhan dan ketakutan, namun tidak demikian ketika berada jauh di belakang orangtua atau orang dewasa. Mereka bisa melakukan tindakan apa saja, mulai dari penuimpangan kecil hingga tingkah laku yang destruktif (merusak).

Sekian dulu pembahasannya, tunggu part 2 nya ayah bunda. (Miarti Yorga)

Posting Komentar

0 Komentar