Makna Ayah pada Rasa Puas Mereka


Dear Ayah Bunda..
Seorang lelaki, menikah, dikarunia putra, lalu melekatlah predikat alamiah padanya. Ayah. Itulah panggilannya.
Dari benihnya, tumbuhlah janin yang mengemrio dalam perut sang isteri sembilan bulan lamanya. Sejarah pun bertambah lengkap dengan hadirnya mereka.
Sekian sosok ayah diabadikan dalam Al-Qur’an, kitab yang mulia. Luqman, Sulaiman, Daud, Musa, dan sederet nama lainnya yang tak kalah melegenda. Pun Rasulullah Saw adalah seorang ayah bijaksana yang dari sikap dan teladannya, terpancar kehangatan, kelembutan, kasih sayang, dan rasa iba terhadap anak muslim yang beliau dapati tengah menderita.
Sebagai pemimpin keluarga, maka melekatlah kewajiban pada seorang ayah untuk menjaga keluarga. Termasuk menjaganya atas keselamatan di akhirat sana, sebagaimana dalam surat At-Tahrim ayat 6 Allah berpesan.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Ayat tersebut menjadi dasar tentang betapa besarnya tanggungjawab seorang laki-laki berpredikat ayah terhadap keselematan keluarga. Di tangan para ayahlah keterjaminan keluarga berada. Di tangan seorang ayah pula, keselematan dunia akhirat teramanahkan. Tak terkecuali, kebahagiaan, kebutuhan dasar, pendidikan, kesejahteraan, lingkungan sosial yang kondusif, hiburan, semua berada di pundak sang ayah. Dan pada sosok ayahlah harapan keluarga bersandar.
Maka tak bisa bermodalkan apa adanya bagi seorang lelaki yang bemaksud memasuki gerbang pernikahan. Karena pernikahan sangat tak terbatas pada konteks menjalin cinta dengan pasangan, melainkan jauh lebih kompleks dari itu. Pernikahan tak sederhana berhubungan suami isteri, melainkan menciptakan kehidupan sosial sinergi, harmoni dan satu visi.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.
Ini menyiratkan betapa pentingnya seorang ayah menjamin pendidikan bagi keturunannya. Sementara pendidikan itu sendiri adalah gerbang pembuka menuju kesejahteraan dan kehidupan yang penuh wawasan.
Sebagai pemimpin pula, seorang ayah mempunyai amanah yang wajib adanya untuk menafkahi keluarga. Apapun akan ditempuhnya demi menghidupi keluarga, yang penting terstandar menurut syariat alias halal untuk dilakukan.
Namun sayang, kewajiban menafkahi keluarga kadang-kadang menjadi kesan yang menyempit dimana urusan ayah hanyalah pada ranah-ranah mencari nafkah. Sehingga dianggap tidak berlaku untuk urusan pendidikan, untuk urusan kenyamanan, untuk urusan minat dan bakat, dan untuk urusan-urusan lain yang jumlahnya tak terbatas.
Adapun sosok ayah seringkali hanya ditautkan dengan kewajiban menjadi wali saat menikahkan putrinya. Sehingga menjadi dramatis saat sosok itu tak ada. Padahal perannya tak sesempit demikian.
Kadang-kadang sosok ayah ada alias bersama-sama. Namun hadirnya bukan untuk membersamai mereka. Melainkan lebih banyak bergelut dengan pekerjaan yang masih harus diselesaikan di rumah. Mereka tak punya sedikit pun berani untuk mengalihkan perhatian atau sekadar bersalam sapa. Yang ada hanyalah ragu yang perlahan menjadi takut.
Ada pula ayah yang berpikiran terbuka dan bersedia memberi pendidikan terbaik untuk mereka dengan cara menyekolahkannya pada sekolah pilihan. Tak peduli dengan biaya besar yang harus dikeluarkan, karena yang terpenting adalah nilai yang didapat. Namun sayang, kebersediaan sang ayah tak sebanding dengan kebersediaannya untuk mengawasi atau mengetahui lebih jauh kondisi putra-putrinya di sekolah. Barulah saat terjadi apa-apa, sang ayah marah tak terkira. Padahal memenuhi undangan konsultasi dari pihak sekolah saja tak pernah dilakukannya.
Ayah juga seringkali terlupa. Lupa mengungkapkan dengan kata-kata. Lupa bahwa anak tak bisa disamaratakan dengan ibunya. Jika pengungkapan cinta pada sang isteri bisa dengan selain kata, maka anak tak bisa diperlakukan begitu saja. Karena mereka butuh ekspresi yang terungkapkan dengan verbal. Tidak seperti para ibu yang bisa memaklumi suami yang menunjukkan cinta dengan benda atau tindakan, sementara gestur dan kata-katanya “datar”.
Ayah juga seringkali menjadi penyebab ketidaknyamanan mereka, dimana tingkah ayah yang “bikin” ibu kesal, selalu sampai pada mereka. Mereka menyerapnya melalui muka masam ibu, melalui aura negatif ibu, melalui gestur ibu, bahkan melalui marah dan sumpah serapahnya.
Sekian kisah tentang ayah diungkapkan dalam Al-Qur’an. Ini sangat menakjubkan. Nasihat Luqman kepada putra-puterinya tentang keyakinan, bakti pada orangtua dan pentingnya nilai-nilai. “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”  (Luqman : 13)
Rangkaian kisah tersebut menjadi satu pertanda bahwa begitu besar pengaruh keberadaan seorang ayah bagi ketentraman anak-anak. Hal ini sangat terkorelasi dengan beragam kenyataan dimana banyak anak yang ketika tumbuh menjadi seorang gadis atau pemuda atau bahkan saat menjadi manusia berusia dewasa, tak dapat mengendalikan emosi dengan baik lantaran punya riwayat terjauh dari kebersamaan dengan ayah. Atau dalam istilah yang lebih familiar, kurangnya sentuhan kasih sayang ayah memberi peluang besar pada terbentuknya kondisi broken home. Bahkan banyak contoh sederhana tentang luputnya perhatian seorang ayah, membuat anak membawa rasa kecewa sampai pada waktu yang cukup panjang.
  • Enggan untuk dekat dengan ayah akibat ayah jarang sekali menyapa. Bahkan untuk hal sesederhana seperti bertanya tentang apakah sudah makan atau belum.
  • Merasa tak berminat untuk berdiskusi dengan ayah, karena ayah terlalu otoriter dan memaksakan pendapat.
  • Memvonis bahwa setiap laki-laki itu pengkhianat, gara-gara mengetahui ayahnya selingkuh.
Bagi diantara kawan-kawan berstatus ayah. Semoga hanya pengasuhan terbaik yang mereka dapatkan darimu. Karena ternyata pendidikan dan pengasuhan anak itu bukan semata-mata tugas dan kewajiban ibu. Melainkan tugas yang harus dilakukan bersama-sama dengan ayah.
Tanpamu, mereka merasa tak sempurna. Tanpa cintamu, mereka merasakan sesuatu yang pincang. Dan tanpa hadirmu, mereka begitu lelah memendam rindu dan menangguhkan harapan-harapan.
Begitu berartinya dirimu untuknya. Sebaliknya, begitu berpengaruh kesalahan besarmu pada sikap dan cara berpikir mereka.
Tak hanya satu kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang ayah, dimana kemampuan mengais rizqi seolah-olah menjadi sebuah konsensus sebagai satu-satunya kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang sosok bernama ayah. Padahal lebih dari itu. Sekian banyak kemampuan harus dimiliki untuk menyempurnakan makna bagi mereka.
Pun dalam urusan mencari harta demi sesuap nasi, tentu urusan pencarian itu bersama mekanisme yang benar. Karena hanya harta yang halal yang layak mereka terima dan mereka gunakan. Sebaliknya, saat dirimu mengais rizki yang tak halal, lalu digunakan untuk membuat orang sekeluarga kenyang dan terpuaskan, maka ini menjadi sebenar-benarnya bahaya. Meski secara kasat mata, tampak dirimu bekerja keras, pergi pagi pulang malam, namun Allah tak ridho dengan harta tak halal yang mengair pada mereka.
Selanjutnya, mereka juga bukan hanya membutuhkan keberadaan secara fisik semata. Melainkan butuh kehadiran secara lengkap bersama perhatian dan kasih sayang. Bukan sebaliknya, dimana waktu yang dimiliki oleh seorang ayah di rumah hanyalah waktu yang sifatnya serba sisa sehingga tak cukup luang untuk membersamai anak-anak. Karena pada kondisi demikian, yang jauh lebih dibutuhkan oleh seorang ayah adalah istirahat dari lelah. Sementara anak-anak menunggu kebersamaan dengan sangat berharap-harap.
Maka berazzamlah kita untuk tidak menciptakan kondisi “bertepuk sebelah tangan”, dimana mereka merasa sangat butuh kehadiran kita sementara kita sendiri terlalu berkutat dengan dunia kita sendiri. Yang pada akhirnya berujung pada rasa kecewa yang sangat mungkin mereka bawa hingga waktu yang tak terkira.
Maka bertahanlah kita pada prinsip yang arif bahwa;
  1. Ayah yang baik adalah ayah yang bisa memberi perhatian.
  2. Ayah yang berkesan adalah ayah yang memberikan jejak teladan.
  3. Ayah yang dibanggakan adalah ayah yang pintar membuat pesan kehidupan.
  4. Ayah yang mengagumkan adalah ayah yang berani meluruskan anak-anaknya dari kesalahan
  5. Ayah yang menimbulkan kerinduan adalah ayah yang dengan sengaja mencipatakan tawa dan rasa riang.
  6. Ayah yang tak luput dalam ingatan adalah ayah yang mampu bertahan dalam ujian
  7. Ayah yang layak menjadi idaman adalah ayah yang menggiring anak-anaknya untuk mencintai Al-Qur’an sebagai pedoman.
  8. Ayah yang layak menjadi panutan adalah ayah yang mampu meledakkan keyakinan akan janji Tuhan.
Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.
(Miarti Yoga)

Posting Komentar

0 Komentar