Anak Kita, Keliaran Berwacana dan Kecintaan pada Tuhannya


Oleh : Miarti Yoga

Dear Ayah Bunda..
Mungkin diantara kawan-kawan ada yang pernah mengalami pengalaman lucu saat kecil dimana orangtua atau nenek kakek kita memberi keleluasaan pada kita  untuk tidak menunaikan sholat. Contohnya, pada Minggu subuh. "Sudah, kamu tidur lagi aja. Mumpung libur." Begitulah mereka biasanya meyakinkan kita untuk tetap memilih istirahat dan lebih santai dari hari-hari biasanya. 
Hmmmm.... Secara pribadi, saya mengalami hal ini. Kurang lebih 25 tahun yang lalu saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Dan saat diingat-ingat, menggelikan memang. 
Ketika beranjak dewasa dan mulai sadar akan perintah agama, saya mencoba merenung atas pengalaman unik tersebut. Sebagai anak atau sebagai cucu, tentu saya tak bisa menyalahkan begitu saja terhadap langkah mereka dalam memberi keringanan beribadah. Saya menafsirkannya sebagai bentuk rasa sayang. Tidak lebih. Semata-mata karena rasa sayang. Lalu kenapa saya berpandangan demikian? Alasannya adalah bahwa selama saya hidup bersama mereka, lalu secara sadar maupun tidak sadar saya merekam cara dan pola hidup mereka, saya tidak menemukan "kenyelenehan" mereka dalam beriman kepada Allah SWT. Mereka menjaga shalat lima waktu, mereka juga memberi nuansa beragama yang baik pada keluarga, dan yang sangat jelas terekam oleh saya hingga kini adalah bahwa mereka adalah sosok-sosok normatif yang sangat menjaga sebagaisikap dalam berkeluarga, bertetangga dan bermasyarakat yang lebih luas. Oleh karenanya, tak pantas rasanya saya memvonis mereka sebagai orangtua yang nyeleneh. Ketidaktahuan atau kebelumpahaman mungkin menjadi faktor yang membuat mereka memberi dispensasi kepada saya untuk libur bersholat subuh.
Namun akan sangat berbeda jika perlakuan tersebut kita contohkan atau kita terapkan pada anak kita di masa kini. Meski sebagai bentuk ungkapan kasih sayang, namun akan sangat fatal akibatnya. Apa sebab? Aqidah anak-anak kita butuh benteng pertahanan. Sebuah benteng yang tak cukup dengan cara menitipkan ke sebuah lembaga. Terlepas apakah lembaga pengajian atau lembaga pendidikan formal, tetap orangtualah pemilik tanggugjawab terbesar yang harus menjamin keselamatan aqidah mereka.
Jika kita mencerna beragam fakta yang ada, sungguh rapuh filter yang kita punya. Liberalisme terus berkelindan dan secara perlahan namun pasti mencabuti logika anak-anak negeri. Mungkin diantara kawan-kawan masih ingat dengan fenemona "Anjinghuakbar", dimana seorang mahasiswa filsafat memiliki sebuah simpulan bahwa tak ada beda antara Allah dan anjing. Na'udzubillaahimindzalik.
Atau mungkin kawan-kawan masih ingat dengan pernyataan sekolompok mahasisa yang dituangkan dalam sebuah spanduk; "Selamat datang di Kampus Bebas Tuhan"... MasyaAllah. 
Kedua contoh tersebut adalah bagian dari "kenyelenehan". Mereka dilahirkan dari rahim agama Islam, dibesarkan oleh keluarga dalam nuansa muslim, namun terseret cara berpikir logisnya saat baru saja menginjak semester awal di bangku kuliah. Mungkin mereka merasa sudah punya ilmu sekepala, padahal faktanya baru semata kaki. Jadi begitulah performanya, "keblinger".
Sangat jelas bahwa ancaman untuk anak-anak kita bukan hanya westernisasi, melainkan dari orang-orang sesama muslim yang berpersepsi liar dan merasa paling benar. Sesama muslim yang begitu gagahnya menginjak nama baik rasulullah Muhammad Saw. Sesama muslim yang menganggap tak mesti shalat dalam kondisi tertentu. Sesama muslim yang membolak-balikkan fakta Al-Qur-an dan mencabik-cabiknya dengan penghinaan yang membabi buta.
Yuk berpikir dan bertindak lebih untuk anak-anak kita. Kikis anggapan kita tentang bolehnya menangguhkan pemahaman islam pada mereka. Buang jauh persepsi kita bahwa anak itu belum bisa diajak diskusi. Hamburkan keyakinan kita bahwa memperekenalkan sholat itu cukuplah pada saat usianya sudah baligh.
Anak memang operasional konkret, dimana segala sesuatu akan mereka pahami jika memang jelas terlihat objeknya. Namun anak itu telah Allah ciptakan dengan daya serap yang hebat. Meski Allah tak bisa dilihat, namun kita bisa menjelaskan dengan gamblang tentang ragam ciptaan-Nya yang Maha Dahsyat. Memang anak perempuan itu baru dikenai kewajiban menutup auratnya saat berusia baligh, namun apakah upaya pengkondisian bisa kita lakukan secara pragmatis.
Sungguh tak ada kebiasaan baik yang serta merta mengemuka. Tak ada kepahaman seorang manusia yang tiba-tiba. Tak ada keunggulan atas salah satu kecerdasan seorang manusia itu membumi begitu saja. Sungguh tak ada yang serta merta. Sangat tak ada. Karena hakikat pendidikan itu sendiri adalah;
  • Bertahap dari mudah ke sulit (gradually)
  • Berkelanjutan dan tak ada kata berhenti belajar (life long education)
  • Ajeg (reliable)
  • Butuh percobaan (inquiry)
  • Butuh pembiasaan (habbits)
  • Butuh teladan (good example)
Kiranya kita perlu bersama-sama dengan persepsi yang sama, dengan rasa takut yang sama akan kehancuran generasi, dengan impian besar yang sama untuk menyebarluaskan Ke-Mahabesaran Allah SWT. 
Ayah Bunda....
Banyak upaya yang bisa kita tempuh. Banyak cara yang bisa kita coba. Mengenalkan pada anak kita  bahwa Islam itu ceria, bahwa Islam itu indah, bahwa Islam itu dinamis, bahwa Islam itu smart, bahwa Islam itu rangkaian gagasan. Bahkan dengan mengenalkannya busana muslim yang enak diihat atau nyaman dipakai, atau dengan membawakan kisah nabi dan para sahabat yang selautan inspirasinya, atau dengan menyentuhkan kehebatan anak-anak Palestina yang tak merasa gentar dalam hadapi cobaan.
Dan satu kunci yang perlu kita pegang adalah bahwa mereka butuh kesan terkait agamanya. Terkait Tuhannya. Terkait Rasulnya. Bagaimana mereka bisa mengakrabi setiap komponen agamanya, jika kita abai dalam mengenalkannya. Dan bagaimana pula mereka bangga dengan agamanya, jika kita sendiri tak cukup percaya diri untuk meyakinkan bahwa islam itu indah dan Allah itu Maha Indah.
Oleh karenanya, yuk fasilitasi mereka dengan banyak hal yang secara kreatif kita bisa mengupayakannya. Sebagai contoh:
  • Hadiahkan padanya baju muslim yang nyaman dan fashionable
  • Arak mereka ke masjid yang hidup dengan ragam aktivitas
  • Biarkan mereka mengkonsumsi buku-buku sejarah islam dalam kemasan yang asyik untuk “disantap”
Duhai Allah.... Istiqamahkan kami para orangtua dalam memberikan pengasuhan terbaik. Tetapkan kami dalam agama-Mu yang satu hingga anak-anak kami merasa sangat bangga dengan agamanya, dengan kitabnya, dengan rasulnya. Jangan biarkan mereka menjauh dari fitrahnya.
Duhai Allah... Jauhkan kami dari rasa malas. Malas bereksperimen, malas menggali ilmu, malas merogoh uang saku demi satu eksemplar buku, malas memberikan dongeng pengantar tidur pada anak-anak, malas berkumpul dengan sosok yang menyegarkan keyakinan....
Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar

0 Komentar