Oleh : Miarti Yoga
(Bidang Seni Budaya PKS Kota Bandung)
Adalah benar adanya bahwa dakwah adalah tanpa batas. Dan itu berarti, keberadaannya tidaklah mungkin hanya kita jalani pada waktu-waktu tertentu dan pada kondisi-kondisi tertentu. Misalnya, dakwah akan kita lakukan manakala kita tengah berada dalam keadaan yang nyaman, tentram dan nyaris tanpa masalah. Sungguh tidak demikian. Justru dakwah itu senantiasa berjalan beriringan dengan kita selama hayat masih dikandung badan. Selama ajal belum menjemput. Bahkan sebuah kisah mengagumkan dari seorang pejuang yang syahid di jalan Allah, yakni Hanzhalah. Dramatisnya kisah Hanzhalah barangkali cukup membuka mata hati kita bahwa jihad adalah niscaya. Pada saat-saat bulan madu, bahkan dalam keadaan belum mandi junub sekalipun, Hanzhalah harus sigap dan berlari menuju medan da’wah. Ia tinggalkan bidadari tercintanya dan predikatnya sebagai pengantin baru pun harus pupus seketika karena syahid menjemputnya. Dan surga pun menyambut.
Sebuah kisah yang bisa dikatakan sangat senjang dengan kisah pengorbanan seorang Hanzhalah. Dia adalah Ka’ab Bin Malik. Bila kita coba mentafakuri, barangkali kelalaian Ka’ab Bin Malik yang berujung pada penyesalan juga sudah cukup bagi kita untuk dijadikan cermin bahwa jihad bukanlah sesuatu yang tidak bisa dinomorduakan. Melalui sikap Ka’ab Bin Malik pula, betapa kita bisa merenungi bahwa “penyepelean” terhadap panggilan jihad adalah suatu sikap yang indisipliner. Karena bagaimanapun,, panggilan jihad jelas-jelas merupakan amanah.
Lantas bila kita mencoba flash back akan semua yang telah kita lalui dan kita lakukan selama kita memproklamirkan dan terproklamirkan sebagai kader dakwah. Adakah responsibilitas kita telah terukur. Adakah kontribusi kita terhadap da’wah telah benar-benar bernyali. Adakah sami’na wa atho’na kita telah mewujud.
Berbicara tentang responsibilitas, pengorbanan, keringat, jasa, dan apapun namanya. Bukan hal yang mustahil bagi setiap kader da’wah untuk menyatakan bahwa ia telah banyak berkorban. Bukan hal yang mustahil pula bila seorang kader menyatakan bahwa energinya telah banyak terkuras dan terperas. Tentunya, demi dakwah. Demi memenuhi panggilan jihad.
Tetapi bila kita mencoba berpikir ulang. Apakah pengorbanan kita terhadap da’wah itu sudah menyentuh esensi? Sudah menembus substansi? Atau hanya sekadar senjata untuk memperkuat legimitasi kita sebagai seorang kader. Atau mungkin hanya sekadar alat pemuas legimitasi dan justifikasi.
Tanggap terhadap panggilan jihad, atau dalam bahasa lain dikenal dengan istilah Ruhul istijabah. Sungguh merupakan sebuah kalimat yang sangat mudah diucapkan. Bahkan oleh anak usia dini seklaipun. Namun menghunjamkan sikap dalam jiwa kita barangkali merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Karena ruhul istijabah ternyata tak cukup direalisasikan dengan hanya menyumbangkan materi berupa uang, misalnya. Atau berupa wakaf tanah, misalnya. Atau mungkin hanya berupa motivasi saja. Sungguh hal itu bukanlah satu-satunya indikasi bahwa kita merupakan ummat yang tanggap terhadap panggilan jihad. Tanggap terhadap panggilan jihad harus diwujudkan dengan aktivitas yang nyata. Diwujudkan dengan kontribusi pemikiran berarti dan gagasan yang cerdas. Diwujudkan dengan sense of belonging, yang berarti bahwa Islam adalah agama haq milik kita, Allah tujuan kita, Muhammad teladan kita, Qur’an tuntunan kita jihad jalan kita dan syahid cita tertinggi kita. Subhaanalloh.
Dalam urusan apapun, tanpa kecuali dalam urusan dakwah. Terkadang kenyataan tak berbanding lurus dengan harapan. Terkadang teori tak sejalan dengan praktek. Terkadang janji tak mewujud dalam bukti. Dan terkadang, azzam kita tak menjelma dalam karya nyata. Maka bukanlah hal yang mustahil bila diantara kita yang jelas-jelas tahu dan paham bahwa seruan jihad itu harus dipenuhi, namun respon dan sensitivitas kita untuk merealisasikannya masih sangat tipis dan rentan.
Sebagai contoh, banyak diantara kita yang merasa diri terlalu dibebani dengan tugas-tugas da’wah. Banyak diantara para ummahat yang menjadikan kesibukan mengurus rumah tangga menjadi satu-satunya senjata alasan untuk menyatakan bahwa dirinya tak bisa memenuhi sebuah tugas da’wah. Banyak diantara para mahasiswa yang “uring-uringan” akibat IP-nya anjlok gara-gara terkuras oleh aktivitasnya sebagai pimpinan ormawa (organisasi mahasiswa). Bahkan banyak diantara kita yang akhirnya memilih diam ketika seruan untuk berda’wah tiba, hanya gara-gara tidak punya ongkos untuk menempuh perjalanan menuju tempat tujuan.
Pembaca setia. Lagi-lagi sebuah keniscayaan bahwa jalan dakwah sangatlah terjal dan berliku. Bahwa amanah dakwah itu sangatlah tinggi menjulang. Bahwa untuk sebuah keberhasilan dakwah itu memerlukan rentang yang panjang dan pengorbanan yang nyata. Maka adalah benar bahwa ketangguhan seorang penyeru dakwah itu memang wajib adanya. Karena beban dakwah yang memuncak tak kan mungkin diimbangi dengan kekuatan yang apa adanya. Beban dakwah yang tak ubahnya sebuah bukit terjal itu tidaklah mungkin didaki hanya dengan energi yang terbatas.
Tetapi saudaraku. Sebuah aksioma yang sering kita dengar dan kita temukan dalam pendakian menuju keberhasilan dakwah, adanya berbagai permasalahn dan rintangan. Permasalahan yang timbul dari diri sendiri, dari keluarga, dari dunia luar dan berjuta permasalahan lainnya. Atau bisa jadi permasalahan itu hadir sebagi wujud keterbatasan materi, wujud keterbatasan sumberdaya manusia, dan lain sebagainya. Dan mengenai hal ini, barangkali kita patut meyakini dengan seyakin-yakinnya dengan pertolongan Allah yang tak mungkin ingkar. Kita bisa renungi dalam perkatan indah-Nya sebagai berikut.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Al-Insyirah, 94:5-6)
Kiranya, patut kita renungi satu pepatah dalam bahasa Sunda. Hayu Rancagé, Tong Éléh ku Panonpoé. Kurang lebih, maknanya adalah bahwa kita semestinya lebih sigap. lebih tanggap. Lebih responsif. Karena kegagalan, pada umumnya bermula dari kemalasan. Dari keengganan.
Allohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.
0 Komentar