Leuleus Jeujeur



By : Miarti Yoga

Egosentrisme adalah sangat fitrah bagi makhluk Tuhan bernama manusia. Padanya, terdapat potensi rasa antipati, rasa ingin menang sendiri, rasa ingin diakui, rasa ingin mengalahkan lawan, rasa ingin diangap paling benar. Dan begitulah fitrahnya seorang manusia.

Namun akan menjadi tak wajar jika potensi rasa yang sangat fitrah itu tak kunjung melunak dalam kurun sekian lamanya. Sementara, siapapun kita yang belajar dan terus belajar, siapapun kita yang menjalin hubungan kehidupan bersosial, seharusnya dapat memperlunak diri dari sikap-sikap egosentrisme yang ada. Sederhanya, manusia itu seharusnya berubah dengan pendidikan –baik formal maupun non formal- yang didapatnya selama bertahun-tahun.

Dan salah satu ladang pembelajaran bagi kita adalah bagaimana kita bisa tetap hidup dengan indah dalam heterogenitasnya latar belakang, dalam perbedaan life style, dalam perbedaan ideliasme, dalam perbedaan paradigma, dalam lintas organisasi dengan segala perbedaan dan karakteristiknya.

Hal ini telah Allah analogikan dalam struktur organ tubuh kita. pada bagian kepala, kita diberi dua mata, dua telinga dan satu mulut. Jika kita tafakkuri, maka sejatinya kita harus lebih banyak mencermati dan mendengar dengan seksama. Dengannya, kita juga diajari untuk mampu menghargai dan menghormati orang lain. Sementara satu mulut adalah ladang muhasabah bagi kita bahwa berhati-hati adalah semestinya. Pun dalam hal berkomentar, menilai dan meng-klaim sesuatu. Butuh latihan panjang untuk dapat menjaga mata, telinga dan mulut kita sehingga tidak terjebak dalam konteks menyaiti dan mem-bully.

Hidup dalam keberagaman cara pandang, dalam keberagaman gagasan, dalam keberagaman cara, tentu tak semudah kita dalam menentukan visi dan misi hidup kita sendiri. Dalam perjalanannya, akan ada pergulatan bathin, pertentangan pendapat, hingga perang opini. Namun demikianlah seni dan sensasi hidup bersosial.

Kiranya, sikap “leules jeujeur” dapat kita jadikan kunci sukses dalam menyelami samudera perbedaan. Dan berikut adalah lima indikatr dari sikap “leuelus jeujeur” itu sendiri.
1.         Tak perlu reaktif dengan apapun bentuk ketidaksepahamahan orang-orang. Karena pro kontra adalah suatu yang wajar adanya. Karena sehebat apapun kita, tentu ada sekian orang atau sekian golongan yang tak sepaham dengan cara kita.
2.         Dengar dan simak baik-baik pendapat orang, sekalipun kita sudah tahu atau bahkan kita menentangnya. Tetaplah berikan sikap terbaik, minimal dengan senyuman. Sehingga sikap lunak seperti itu, sangat memungkinkan kita menyampaikan penjelasan detail secara puas pasca dia menyampaikan banyak hal kepada kita.
3.         Hati-hai dalam menyikapi kabar burung atau berita yang berlevel rumor. Tahan diri untuk berkomentar dengan sekehandak. Dan pilihannya hanya dua, abaikan atau lakukan konfirmasi tentang keabsahan rumor tersebut.
4.         Hindari sikap pragmatis dalam mengambil solusi yang tengah diperdebatkan. Jangan biarkan orang-orang sekitar menilai kita dengan watak keras kepala atau otoriter. Tetap mintai orang-orang untuk berpendapat dengan logika masing-masing.
5.         Gunakan langkah “tabayun” ketika kesan “blunder” sudah mengemuka. Dan betabayunlah kita dengan ikhlas, tanpa unsur mencari sebanyak-banyaknya pembenaran.

Bismillah. Perbaikan nilai itu niscaya. Dan kita pasti dapat berupaya. Sehingga sikap keras yang tak seharusnya, bisa melunak dengan alamiahnya. Keangkuhan yan menguasa, bisa turun secara perlahan sehingga kita dapat wujudkan kerendahatian.

Dan muara  dari sikap “leuleus jeujeur” itu sendiri adalah bagaimana kita dapat memiliki kecerdasan sosial. Dengan kecerdasan sosial inilah, kita akan lihai berdiplomasi, mampu bernegosiasi, dan mumpuni dalam berorganisasi dengan tetap menjaga keindahan persahabatan.

Posting Komentar

0 Komentar