![]() |
ilustrasi |
Ah. Alangkah indah ketika setiap yang terjadi di sekitar
kita mampu menjadi cermin bagi diri kita. Setiap momen menjadi momen untuk
berintrospeksi, melihat hikmah dan menambah keimanan. Kekhilafan dan keburukan
orang lain, selalu dirasa serupa dengan perangai diri yang jauh dari sempurna.
Tak merasa lebih baik. Mungkin Allah tengah menunjukkan pantulan cermin diri
kita dengan wujud laku insan yang lain. Mengingatkan dengan wujud terhalus.
Bahwa apa yang tak disuka dari orang lain ternyata ada juga pada diri kita.
Mengingatkan bahwa setiap keburukan yang selalu kita tak suka, selalu
menjadi perangai keseharian yang tak
disadari
Ah. Atau Mungkin kitalah yang tengah melihat insan yang lain
dengan kacamata yang salah. Sehingga apa yang terlihat selalu kedengkian,
selalu kekurangan. Lupa untuk menelusuri ke lubuk hati terdalam apa yang
sejatinya terjadi. Lupa untuk menggunakan sudut pandang paling baik sebagai
seorang muslim. Husnudzhan. Kita terlalu
banyak untuk memilih sudut pandang yang paling nyaman dengan prasangka pribadi.
Tengoklah sebuah kisah yang semoga memberikan hikmah
mengenai sudut pandang seseorang,
Pasangan muda yang baru menikah menempati rumah di sebuah komplek
perumahan. Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri melalui jendela kaca. Ia
melihat tetangganya sedang menjemur kain. "Cuciannya
kelihatan kurang bersih ya", kata sang istri. "Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian
dengan benar. Mungkin dia perlu sabun cuci
yang lebih bagus." Suaminya menoleh,
tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun. Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian,
selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya
si tetangga mencuci pakaiannya. Seminggu berlalu, sang istri heran melihat
pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia
berseru kepada suaminya:"Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana
mencuci dengan benar. Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya? "Sang suami
berkata, "Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela
kaca kita."
Ah. Mungkin hati kitalah yang belum siap. Belum siap untuk
melihat sisi yang cerah dari saudara kita. Terlalu menyalahkan kondisi
dibandingkan dengan pribadi yang tengah compang camping. Seperti apa yang
dituliskan Ustadz Salim A Fillah dalam bukunya “Karena
saat ikatan kita melemah,saat keakraban kita merapuh saat salam terasa
menyakitkan saat kebersamaan serasa siksaan .saat pemberian bagai bara api,saat
kebaikan justru melukai.Aku tahu,yang rombeng bukan ukhuwah kita, hanya
iman-iman kita yang sedang sakit,atau mengkerdil mungkin dua-duanya,mungkin kau
saja tentu terlebih sering,imanku lah yang compang camping”. Ya, Mungkin
hati kitalah yang belum siap
Tak perlu kita pikirkan kesalahan orang lain. Karena bisa
jadi mereka terlahir sebagai alat untuk menuai amal baik kita. Mungkin, saat
sembilu mereka menusuk hati. Atau belati mereka menghujam perasaan. Atau bilah
pedang mereka memenggal asa. Kita sedang melihat mereka pada sisi yang keliru.
Dan bukankah kita bertugas melihat manusia dari sisi yang cerah saja. Dari sisi
paling elok yang ia miliki. Bumi saja yang dengan angkuh kita injak selalu
melihat rembulan pada sisi cerahnya. Padahal kita tahu bahwa di baliknya, bulan
memiliki sisi kelam.
Ah. Jika mungkin kesalahan itu kenyataan yang terjadi.
Mungkin kita belum bisa menjadi obat bagi khilafnya saudara kita. Kita terlalu
sibuk mendengki dibandingkan dengan mengobati. Belum mengupayakan dengan
sungguh-sungguh hidayah turun dengan perantara kita. Tidak bersegera untuk
merenyuhkan hati kawannya dengan hikmah.
Ah, alangkah indah nian, seorang muslim yang senantiasa
bercermin. Yang bercermin sebelum menghakimi. Yang bercermin dengan selalu
intropeksi diri. Selalu merasa dirinya yang serba kekurangan dibandingkan
dengan menyalahkan insan yang lain. Kurang menjaga hati, kurang mengingatkan,
dan kurang bersabar. Yang belum mampu menjadi pewarna yang bisa mengubah warna
kehidupan menjadi lebih baik tanpa melukai perasaan saudara yang lain. (zev)
0 Komentar