Cermin - Cermin Kehidupan

ilustrasi
pksbandungkota.com - Terkadang kita terlalu banyak menghakimi kesalahan orang lain. Membicarakan orang yang bertingkah bakhil. Menanam kekesalan di dalam hati terhadap perangai buruk seorang insan. Memperbesar masalah yang sejatinya tak begitu krusial. Merasa diri paling benar disetiap perangai buruk saudara yang lain.
Ah. Alangkah indah ketika setiap yang terjadi di sekitar kita mampu menjadi cermin bagi diri kita. Setiap momen menjadi momen untuk berintrospeksi, melihat hikmah dan menambah keimanan. Kekhilafan dan keburukan orang lain, selalu dirasa serupa dengan perangai diri yang jauh dari sempurna. Tak merasa lebih baik. Mungkin Allah tengah menunjukkan pantulan cermin diri kita dengan wujud laku insan yang lain. Mengingatkan dengan wujud terhalus. Bahwa apa yang tak disuka dari orang lain ternyata ada juga pada diri kita. Mengingatkan bahwa setiap keburukan yang selalu kita tak suka, selalu menjadi  perangai keseharian yang tak disadari
Ah. Atau Mungkin kitalah yang tengah melihat insan yang lain dengan kacamata yang salah. Sehingga apa yang terlihat selalu kedengkian, selalu kekurangan. Lupa untuk menelusuri ke lubuk hati terdalam apa yang sejatinya terjadi. Lupa untuk menggunakan sudut pandang paling baik sebagai seorang muslim. Husnudzhan. Kita terlalu banyak untuk memilih sudut pandang yang paling nyaman dengan prasangka pribadi.
Tengoklah sebuah kisah yang semoga memberikan hikmah mengenai sudut pandang seseorang,
Pasangan muda yang baru menikah menempati rumah di sebuah komplek perumahan. Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri melalui jendela kaca. Ia melihat tetangganya sedang menjemur kain. "Cuciannya kelihatan kurang bersih ya", kata sang istri. "Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar. Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus." Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun. Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya. Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia berseru kepada suaminya:"Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar. Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya? "Sang suami berkata, "Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca kita."
Ah. Mungkin hati kitalah yang belum siap. Belum siap untuk melihat sisi yang cerah dari saudara kita. Terlalu menyalahkan kondisi dibandingkan dengan pribadi yang tengah compang camping. Seperti apa yang dituliskan Ustadz Salim A Fillah dalam bukunya  Karena saat ikatan kita melemah,saat keakraban kita merapuh saat salam terasa menyakitkan saat kebersamaan serasa siksaan .saat pemberian bagai bara api,saat kebaikan justru melukai.Aku tahu,yang rombeng bukan ukhuwah kita, hanya iman-iman kita yang sedang sakit,atau mengkerdil mungkin dua-duanya,mungkin kau saja tentu terlebih sering,imanku lah yang compang camping”. Ya, Mungkin hati kitalah yang belum siap
Tak perlu kita pikirkan kesalahan orang lain. Karena bisa jadi mereka terlahir sebagai alat untuk menuai amal baik kita. Mungkin, saat sembilu mereka menusuk hati. Atau belati mereka menghujam perasaan. Atau bilah pedang mereka memenggal asa. Kita sedang melihat mereka pada sisi yang keliru. Dan bukankah kita bertugas melihat manusia dari sisi yang cerah saja. Dari sisi paling elok yang ia miliki. Bumi saja yang dengan angkuh kita injak selalu melihat rembulan pada sisi cerahnya. Padahal kita tahu bahwa di baliknya, bulan memiliki sisi kelam.
Ah. Jika mungkin kesalahan itu kenyataan yang terjadi. Mungkin kita belum bisa menjadi obat bagi khilafnya saudara kita. Kita terlalu sibuk mendengki dibandingkan dengan mengobati. Belum mengupayakan dengan sungguh-sungguh hidayah turun dengan perantara kita. Tidak bersegera untuk merenyuhkan hati kawannya dengan hikmah.
Ah, alangkah indah nian, seorang muslim yang senantiasa bercermin. Yang bercermin sebelum menghakimi. Yang bercermin dengan selalu intropeksi diri. Selalu merasa dirinya yang serba kekurangan dibandingkan dengan menyalahkan insan yang lain. Kurang menjaga hati, kurang mengingatkan, dan kurang bersabar. Yang belum mampu menjadi pewarna yang bisa mengubah warna kehidupan menjadi lebih baik tanpa melukai perasaan saudara yang lain. (zev)

Posting Komentar

0 Komentar