Antara Keterkejutan, Pembiasaan, dan Kemenangan Wacana Publik

Think of yourself as a role model for others - showing that you can be kind, generous, loving, and rich! – (T. Harv Eker)

Pikirkan dirimu sebagai teladan bagi orang lain- tunjukkan bahwa kau bisa menjadi baik, ringan tangan, penuh cinta, dan juga kaya serta berdaya – (T. Harv Eker)

sumber gambar: www.school-teacher-student-motivation-resources-courses.com

Psikolog Dale Miller, sebagaimana dikutip dalam buku Thinking , Fast And Slow karya Daniel Kahneman (Peraih Hadiah Nobel Bidang Ekonomi),  menulis satu esai untuk mencoba menjelaskan bagaimana peristiwa jadi dipandang sebagai normal dan tak normal. Peristiwa itu tampak normal karena melibatkan peristiwa pertama, mengambil peristiwa pertama dan ingatan yang terbentuk, dan ditafsirkan sesuai peristiwa pertama.

Otak kita memiliki kemampuan adaptasi. Bila melihat hal yang buruk, kita akan terkejut pada awalnya. Namun bila keburukan itu kerap terjadi, otak kita akan menyesuaikan, dan tidak kaget lagi. Otak kita belajar dan menganggap keburukan tersebut sebagai sesuatu yang “normal”. Tugas kita untuk tanpa lelah mengatakan yang salah itu memang salah. Tugas kita untuk terus mengatakan yang tidak normal adalah memang tidak normal. Sehingga masyarakat kita terlindungi dari perilaku-perilaku menyimpang. Otak kita memiliki sebuah kemampuan yang unik dalam memahami  apa itu Normal, terkejut, dan nilai kebenaran”. Baca lebih lengkap pada artikel (http://www.pksbandungkota.com/2015/01/normal-terkejut-dan-nilai-kebenaran.html).

Pada artikel sebelumnya, http://www.pksbandungkota.com/2015/01/normal-terkejut-dan-nilai-kebenaran.html kita telah membahas bagaimana kenormalan otak kita beresiko membuat orang memaklumi keburukan, dan menganggap kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Maka di artikel kali ini kita akan coba mendiskusikan, bagaimana memanfaatkan kondisi otak kita yang seperti itu untuk kebaikan.

Bila dikatakan bahwa otak kita mampu memaklumi keburukan, karena sering terjadi, otak kita pun akan mampu menyenangi kebaikan, bila itu kerap terjadi. Dulu pernah ada masa di Indonesia bahwa jilbab itu dianggap suatu hal yang aneh. Namun para da’I dan da;iyah kita berjuang tanpa lelah memperjuangkan hak muslimah untuk berjilbab. Sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh uang pajak umat muslim, kala itu melarang putri putrinya untuk berjilbab. Maka para muslimah yang sholehah, yang saat itu masih berumur SMA, berbaju putih abu tetap berjilbab meski sekolah melarang. Meski dengan resiko mereka harus dikeluarkan dari sekolah. Awalnya jilbab dianggap aneh, lama kelamaan karena sering digunakan dan semakin giat digunakan, berjilbab adalah lazim. Kini bila kita pergi ke SMA dan beberapa kampus, seperti ITB, UPI, dan UNPAD, jilbab adalah hal yang lumrah, dan justru melihat muslimah tidak berjilbab adalah suatu hal yang aneh. Otak masyarakat beradaptasi. Awalnya masyarakat kaget saat melihat perempuan berjilbab. Lalu saat semakin sering melihat muslimah berjilbab, masyarakat mulai memaklumi dan menganggap itu wajar. LAlu saat semakin seamkin sering melihat muslimah berjilbab, masayrakat mulai menggap kalau tidak berjilbab, justru aneh.

Dari sini kita belajar, bahwa bila ingin membudayakan kebaikan di masyarakat, salah satu yang bisa kita lakukan adalah membuat kebaikan itu sering tampil di panggung kehidupan kita. Kita buat masayrakat sering melihat contoh-contoh yang baik. Kebaikan awalnya dianggap aneh, namun lama kelamaan otak kita beradaptasi, dan menganggap itu tidak aneh bahkan mengganggap kebaikan itu harus dan perlu. Saat jam istirahat sekolah, kita sholat dhuha. Saat duduk di angkot, kita tilawah Qur’an. Saat di kantor, kita datang tepat waktu. Saat bekerja, kita berikan prestasi terbaik. Dan biarkan masyarakat melihat kebaikan itu terus tampil. Kekonsistenan kita diuji. Amat banyak keteladanan yang tersebar di masyarakat dan menjadi inspirasi bagi sesame (Keteladan Posyandu Regol. Baca lebih lanjut di: http://www.pksbandungkota.com/2015/01/posyandu-regol-prestasi-dalam-pelayanan.html)

Di sini kebaikan dan keburukan saling berebut panggung dan perhatian dari masyarakat. Bila keburukan yang terus tampil di panggung, masyarakat akan melihat dan mulai menganggap keburukan itu lazim. Dan cobaan bagi kita adalah betapa melakukan keburukan kadang tak sesulit melakukan kebaikan (baca lebih lanjut di: http://www.pksbandungkota.com/2015/01/semoga-kita-tidak-termasuk-didalamnya.html

Tugas kita merebut panggung tersebut, dan menampilkan kebaikan terus menerus, sehingga kebaikan itu dianggap lazim, dan keburukan itu dianggap tidak lazim. Bila kita simak media, kadang ada orang yang dia terus tampil dan berbicara di publik, terlepas dia benar atau salah. Mengapa ia melakukan itu? Karena dalam dunia politik, hilang dalam peredaran berarti kematian. Maka orang-orang baik harus vokal dan bersuara. Agar kebaikan tidak hilang dalam peredaran. Sebagaimana udara madinah saat masa kenabian pekat oleh wahyu. Maka kini di era kita, udara Bandung, Jawa Barat, Indonesia Keteladanan harus pekat oleh Al Qur’an, nilai kebaikan dan keteladanan.

"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (manusia) kepada Allah dan beramal shalih dan berkata, "Bahwasanya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)." (Q.s. Fushilat : 33)


Oleh: fanfiru

Posting Komentar

0 Komentar