“Perkembangan emosi anak, maju atau mundurnya, sangat ditentukan oleh
komunikasi”, tutur Bunda Ery Sukresna dalam mengawali seminar parenting yang diselenggarakan di Al
Hikmah Preschool, Margamakmur. Ciwastra. Kali ini beliau membahas “Bagaimana
Menjadi Orang Tua Berkualitas dengan Komunikasi sehat”.
Dalam pemaparan 30 menit
tersebut, dijelaskan bahwa berprofesi sebagai orang tua membuat kita harus senantiasa belajar. Menjadi orang
tua berarti mendaftar pada suatu profesi di luar latar belakang pendidikan
kita, di luar gelar pendidikan yang kita sandang, namun disaat yang bersamaan kita
dituntut untuk memperoleh hasil kerja yang gemilang. Sehingga, menjadi orang
tua adalah menjadi seorang pembelajar.
Dalam menggeluti ‘pekerjaan’
sebagai orang tua, salah satu yang menjadi kemampuan dasarnya adalah
komunikasi. Komunikasi merupakan hal fundamental dalam membangun hubungan
antara orang tua dan anak. Ironisnya, menurut penelitian, seorang anak setiap
harinya rata-rata menerima 450 komentar negatif dan 75 komentar positif dari
orang tua, guru, dan orang-orang dewasa lainnya. Lebih jauh lagi, memarahi
seorang anak dapat mematikan 250 sel otaknya.
Secara umum, komunikasi dapat
dibagi menjadi komunikasi instruktif dan komunikasi produktif. Orang tua sering
kali menggunakan komunikasi instruktif untuk menyampaikan informasi pada anak. Larangan
untuk makan sebelum mencuci tangan, jangan menangis setelah terjatuh, tidak
boleh kotor, dan sebagainya. Informasi ini disampaikan begitu saja sehingga
mengakibatkan anak tidak mengerti penyebab larangan atau perintah yang
diberikan.
Agar anak dapat mempertahankan
informasi yang ia dapat sampai besar, ia harus menerima informasi dari batang
otaknya, atau dalam istilah kedokteran disebut sebagai otak reptil. Otak reptil
ini hanya akan merespon dengan 2 perilaku: taat atau melawan. Selanjutnya,
apabila informasi ingin diserap secara optimal, maka sistem limbiknya harus diaktifkan.
Sistem limbik berkaitan dengan emosi. informasi akan cepat ditangkap dalam
perbincangan yang menyenangkan. Ketika seorang anak bahagia, otak yang aktif adalah
bagian neokorteks. Dalam kondisi ini, mereka dapat berpikir tingkat tinggi.
Namun sehari-hari, sering kali
orang tua melakukan aktivitas yang menghambatan sampainya informasi secara
optimal. Kecenderungan untuk menghardik, menunjuk-nunjuk, menyakiti, dan
meyindir menghalangi esensi sebenarnya dari informasi yang diberikan. Sering
membuat anak merasa dirinya bersalah akan mengakibatkan anak tumbuh sebagai
orang yang rendah diri. Namun, terlalu menganggap mereka sebagai teman dan
banyak mentolerir kesalahannya akan membuat anak menjadi lemah dan tidak
mandiri.
Pada seminar kali ini, Bunda Ery
Sukresna mengangkat komunikasi produktif sebagai solusi untuk menjadi orang tua
berkualitas. Komunikasi produktif berarti mengajak anak-anak untuk berpikir dan
bereksplorasi dengan fenomena yang terjadi terhadap dirinya dan lingkungan
sekitarnya. Orang tua diharapkan tidak memberikan arahan langsung, namun berupa
pertanyaan-pertanyaan yang memfasilitasi seorang anak untuk bisa menganalisa.
Dengan cara seperti ini, anak akan lebih mengerti esensi dari suatu perintah
atau larangan dari orang tuanya.
Lantas sudah produktifkah
komunikasi kita? komunikasi sehat memiliki ciri-ciri:
1. Penerima
pesan dan pengirim pesan mempunyai persepsi yang sama.
Eye contact sangat dibutuhkan saat komunikasi
langsung. Paling tidak selama 5 menit, orang tua dapat menatap mata anak selama
berbicara. Dengan eye contact, orang
tua dapat menganalisa sudah sejauh mana, atau sudah sebanyak apa informasi yang
mereka tangkap. Libatkan pula para ayah dalam komunikasi, karena logika laki-laki
cenderung lebih kuat sehingga perbincangan dengan anak juga menjadi
perbincangan yang logis.
2. Terjadi
hubungan yang hangat dan akrab.
Hubungan yang
hangat dan akrab akan membuka kesempatan percakapan selanjutnya.
3. Saling
mengerti dan memahami
4. Saling
bekerja sama
5. Anak
lebih banyak bicara, orang tua lebih banyak mendengar.
Seringkali orang
tua memiliki keinginan untuk mengajarkan banyak hal pada anaknya tanpa arah
komunikasi yang berimbang. Dalam membangun komunikasi sehat, seorang anak
diajak untuk berbicara dan bereksplorasi sementa orang tua akan lebih banyak
mendengar pendapat mereka.
Komunikasi yang sehat akan
membentuk anak-anak dengan kemampuan spiritual yang tinggi dan emosi yang
stabil. Anak-anak seperti ini secara sosial akan menyenangkan bagi sekitarnya.
Lalu seiring dengan itu, kognitifnya juga akan ikut melejit.
Sebagai penutup, Bunda Ery Sukresna menyampaikan bahwa dalam pola komunikasi sehat, orang tua akan sering menghitung, mengukur, dan membuat aturan main untuk orang tua dan anak secara fair.
“Jangan hanya memperlihatkan dompet pada anak saat uangnya sedikit,
perlihatkan pula jika isinya ketika sedang banyak. Dengan begitu, anak akan
belajar percaya dan ia juga akan belajar memahami akibat untuk dirinya”
(NAJ)
0 Komentar