Esther Duflo adalah nama seorang
Professor yang mengajarkan matakuliah “Tantangan Kemiskinan Global” di kampus
Amerika bernama MIT (Massachusetts Institute of Technology). Bagi penonton setia
film Iron Man tentu tahu MIT karena Tony Stark (Iron Man) Berkuliah di MIT.
Kode mata kuliah yang diajarkan oleh Esther Duflo adalah 14.73 yang dalam
bahasa inggris bernama “Challenge of
Global Poverty”.
sumber gambar: mit.edu |
Kemiskinan merupakan permasalahan
dunia saat ini. Banyak Negara maju, namun tak sedikit Negara yang susah payah
memberi makan rakyatnya. Dalam kuliah tersebut dibahas seluruh negara mulai
dari India, Negara-negara Africa, RRC, Negara Amerika Latin, bahkan Indonesia.
Kisah Indonesia termaktub dalam salah satu bahasan tentang “Jebakan Kemiskinan”
(Bahasa Inggris: Poverty Trap).
![]() |
sumber gambar: edx.org |
Jebakan kemiskinan adalah suatu
kondisi di mana seseorang yang miskin tidak dapat mengubah kondisi hidupnya,
dan terus terjerembab dalam lubang kemiskinan. Jebakan tersebut ada
bermacam-macam. Salah satu jebakan yang menimpa Indonesia adalah Jebakan
Nutrisi.
Kisah yang diangkat adalah kisah
Pak Solihin. Cukup menarik bagaimana logat Prancis Professor Esther Duflo
mengeja bahasa Indonesia “Pak Solihin”. Berikut adalah kisahnya:
Esther datang
mengunjungi rumah Pak Solihin. Di rumahnya tidak ada listrik, tidak ada
furniture, tidak ada air. Sampai musim panas terakhir pak solhin adalah buruh,
dia tidak punya tanah. Orang tuanya punya 13 anak. Tanah warisan yang ada harus dipecah jadi
kecil kecil untuk lalu dibangun rumah.
ilustrasi gambar. Sumber: Solopos.com |
Saat musim panas, karena meningkatnya
harga pupuk dan minyak, petani berhenti menyewa tenaga kerja untuk menghemat
biaya. Para petani menanam sendiri atau menggaji buruh seperti Pak Solihin
dengan gaji yang kecil. Pak solihin tidak sanggup menerima gaji kecil tersebut
sehingga memilih keluar kerja. Harga makanan turut mengalami kenaikan harga.
Pak Solihin dengan gaji yang kecil tersebut, tidak sanggup membeli makanan,
tanpa makanan ia tidak punya energi. Tanpa energi, untuk bekerja pun beliau tak
sanggup. Beliau tidak bisa menjadi pekerja konstruksi, terlalu lemah untuk
pekerjaan dasar, tidak punya skill untuk pekerjaan yang lebih baik, dan terlalu
tua untuk menjadi magang.
Beliau tidak
punya uang untuk memberi makan dirinya dan anak-anaknya. Maka istri dan anak
sulungnya pergi ke kota. Anak sulungnya keluar dari sekolah dan menjadi pekerja
konstruksi. Dengan penghasilan Pak Solihin yang seadanya itu, ia tidak sanggup
membeli makanan untuk dirinya dan anak bungsunya yang tinggal di rumah, setelah
istri dan putra sulungnya pergi. Tidak ada siapapun yang bisa meminjaminya
uang. Kakek nenek dari si bungsu, menyatakan siap untuk merawat anak pak
solihin. Pak Solihin makan hanya sekali tiap harinya, yaitu ketika ia
mendapatkan beras bersubsidi atau ia menangkap ikan di sungai. Ia tidak bisa
berenang, sehingga ia tidak bisa menangkap ikan secara baik. Pak Solihin sangat
depresi. Ia merasa masa depannya amat suram. Ia hampir menangis pada saat
wawacara dilaksanakan.
Demikian kisah potret bangsa kita
yang dijadikan bahan penelitian di Amerika sana, untuk dicarikan solusi. Kita
bisa melihat bahwa Pak Solihin terjebak dalam kondisinya. Untuk bisa makan ia
harus bekerja, untuk bisa bekerja ia harus makan, namun untuk bisa makan ia
harus punya uang dengan cara bekerja. Terjadi lingkaran sebab akibat yang tak
berujung. Pak Solihin mutlak tidak bisa berbuat apa-apa.
Makanan adalah kebutuhan dasar
manusia. Dari makanan itu manusia mendapatkan energi. Dari energi itu kita bisa
berkarya dan menunaikan tanggung jawab kita sebagai manusia, yaitu beribadah
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Dahulu penulis sering bertanya,
mengapa dalam beberapa ayat Al Qur’an perintah yang diberikan adalah memberi
makan faqir miskin, bukan memberi uang. Mengapa Idul Fitri perintahnya adalah
membagikan makanan pokok? Mengapa ada Idul Adha menjadi semacam moment makan
daging bersama? Mengapa fidyah anjurannya adalah dibayarkan dengan makanan dan
bukan uang. Mungkin hikmah dari ajaran tersebut dapat kita lihat dari kasus Pak
Solihin. Bahwa sebelum berbicara berbagi uang, pemerintah harus dapat memastikan
bahwa seluruh rakyatnya mendapatkan cukup nutrisi, sehingga lalu dapat berkarya
membangun negara. Tanpa nutrisi yang cukup, tidak akan berarti emas berlian
segunung.
Dari kasus tersebut kita bisa
belajar bahwa salah satu cara membebaskan suatu masyarakat dari kemiskinan
adalah memastikan seluruh masyarakat makan dengan cukup. Baru setelah itu, kita
membahas aspek pembangunan lainnya.
![]() |
sumber gambar: FP Facebook Ridwan Kamil Untuk Bandung |
Penulis melihat, salah satu
semangat yang dibangun dari agenda Bandung Culinary Night adalah semangat
menghargai warisan kebudayaan Kota Bandung yang berbentuk makanan. Masyarakat
berkumpul untuk, bersilaturahim, bermain, dan makan bersama. Seiring ulang
tahun kota Bandung ke 204, Pada tanggal 27 September 2014, Bandung culinary night
diadakan serantak di bebera titik yaitu, Bandung Kulon CN, Cibeunying Kaler CN, Ujungberung CN,
Cicendo CN dan Gedebage CN.
Semoga dengan semaraknya Bandung Culinary Night
menjadi langkah awal untuk memperbaiki nutrisi rakyat Indonesia dan membebaskan
Indonesia dari jebakan kemiskinan.
oleh: Fanfiru
oleh: Fanfiru