Mendahulukan Cinta di Atas Kemarahan


Ilustrasi gambar : http://sumarnimohamadarif.files.wordpress.com

Harakah dakwah mustamirah, gerakan dawah yang berkelanjutan, tidak mengandalkan ishdarul ‘awamir, tetapi mengandalkan I’dadul ‘awamil al-harakiyah. Menggerakkan kader dengan menyediakan sarana prasarana, bukan mengeluarkan perintah-perintah. Jadi tugas kepemimpinan itu bukan memberikan perintah demi perintah. “Ini laksanakan! Tidak ada diskusi, ini instruksi, ayo jalan! Kalau tidak jalan ada ‘iqab (Hukuman).” Ini melemahkan kader. Jadinya ada yang berkomentar: “Yah, begini berjamaah ternyata, dibentak-bentak melulu. Padahal Ayah Ibu saya tidak pernah marah seperti itu. Padahal dia bukan siapa-siapa, tidak ada jasa apa-apa, marah-marah dan menyuruh-nyuruh”. Jadi dalam menggerakkan kader dakwah, harus lebih mendahulukan I’dad awamil al-harakiyah. Faktor-faktor yang menggerakkan dakwah itu adalah:… .(Hilmi Aminuddin) <baca artikel lengkapnya di majalah al intima edisi no 4. Oktober-November 2013>

Barangkali pernah dalam organisasi, apapun bentuknya, kita kesal pada seseorang. Biasanya dipicu oleh kecerobohan atau kesalahan orang tersebut. Rasanya ingin sekali menasehati. Dengan berbagai alasan; karena ingin memperbaiki dia atau bahkan sekedar ingin melampiaskan amarah. Maka tak jarang keluarlah kata kasar, bentakan, bahkan teguran yang sedemikian keras. Seringkali setelah kalimat keras yang kita keluarkan meluncur, (biasanya lewat sms atau media sosial) kita lalu menyesal dan yang dibentak tidak lantas berubah. Justru berbuah permusuhan beberapa hari dan perasaan tidak enak berbulan-bulan meski sudah berdamai.

Barangkali juga, kita sering mengalami kesalahan tersebut dulu dan mungkin juga sekarang. Namun, sesegera mungkin kita perlu menyadarkan diri; kalimat keras dan membentak itu pilihan terakhir bahkan sebisa mungkin jangan dipilih. Cobalah kita kembali menengok ke belakang. Sebesar-besarnya kesalahan kawan kita, seringkali jasa mereka lebih banyak. Setidaknya hal tersebut bisa kita jadikan alasan yang membuat mereka tidak pantas kita bentak. Sebelum marah menguasai diri dan kata-kata kasar meluncur dari mulut kita, coba pikirkan, ingat, dan bayangkan saat-saat dulu mereka membersamai perjuangan kita; saat mereka menjadi penasihat di kala lupa, atau mereka menjadi bagian dari sebuah kepanitiaan bersama kita, dan saat mereka tertawa bersama kita. Bukankah semua kebaikan kawan kita itu mereka lakukan tanpa minta dibayar? Jika dipikirkan seperti itu, rasanya tidak pantas kita berbuat kasar dan keras pada siapapun dari kawan maupun organisasi yang kita geluti.

Apabila kita membaca shirah (kisah sejarah) para shahabat, akan kita temukan adanya shahabat-shahabat yang sudah terampuni dosanya sebelum berbuat kesalahan. Tentu kita tidak bisa menyejajarkan kebaikan shahabat Nabi dengan diri kita. Namun, disini kita belajar bahwa Islam punya konsep penghargaan pada masa lalu. Shahabat-shahabat yang tadi diampuni dosanya adalah orang-orang yang berjasa baik pada awal-awal masa dakwah Islam. Jasa yang luar biasa itu menjadi bukti bahwa jikapun di masa depan berbuat kesalahan, pastilah dia khilaf dan tidak perlu dikasari untuk menyadarkannya. Ini yang perlu kita teladani.

Ketegasan dalam menasihati seorang kawan adalah perlu, akan tetapi Aa Gym pernah menceritakan bahwa tegas itu tidak lantas harus kasar. Ketegasan itu menegakkan aturan bahkan dengan kelembutan. Mengenai hal ini, penulis memiliki pengalaman. Murobbi (guru mengaji-red) penulis merupakan orang yang terkenal ‘buas’. Bagaimana tidak? JIL dan Misionaris beliau tekuk-tekuk sampai jadi bubuk. Namun, tiga tahun kami halaqoh (mentoring/mengaji) dengan beliau, tidak pernah sekalipun kami dibentak dan dikerasi. Beliau tegas dengan caranya. Jika menegur beliau sering dengan menyindir, lalu setelah itu tersenyum dan itu ternyata lebih berpengaruh dibandingkan teguran keras yang dilakukan orang lain.

Barang siapa dijauhkan dari sifat lemah lembut (kasih sayang), berarti ia dijauhkan dari kebaikan.' [HR. Muslim No.4694].

Bagaimanapun, kawan kita dalam organisasi dan dalam kehidupan adalah saudara terdekat diri kita. Bahkan tak jarang lebih dekat pertolongannya dari keluarga kita. Oleh karena itu, janganlah sebuah kesalahan menyebabkan hilangnya kasih saying kita kepada mereka. Bila ada tingkah laku seseorang yang menyebalkan, mari ingat kembali jasa-jasanya di masa lalu. Kiranya layak kita menyimak sebuah nasihat ini ketika rasa kesal menjumpai kita saat melihat kesalahan seseorang :

"Temukan 70 dalih untuk menganggap benar perilaku saudara yang tampak keliru di matamu." Dan jika setelah 70 alasan terasa tak masuk akal juga, maka katakan pada dirimu "Saudaraku ini punya ‘udzur yang tak kutahu" - Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’
Wallahu a'lam bishawab. [Rio Aurachman]


Posting Komentar

0 Komentar