Berapakah Nilai Kita?


Hari itu seperti biasa kami mengaji di pinggir surau kecil di seberang sekolah. Siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Sebelum guru mengaji datang, kami pun berselonjor di ujung-ujung surau. Berebut udara sepoi-sepoi dari jendela.

Lusuh, lapar serta lecek. Itulah kami setiap kali memulai mengaji setiap pekannya. Pulang sekolah memang waktu yang analog dengan kondisi lewat jenuh dari sebuah larutan. Tapi anehnya, selalu saja ada manuver dari murobbi (guru mengaji-red) kami untuk membuat kondisi kami fit kembali. Salahsatunya dengan membawa makanan. Dan selalu, murobbi kami-lah yang membawa makanan. Katanya, untuk mendekatkan kita dengan orang lain, ada dua hal yang harus diikat : hati dan perut.

Belum sampai kami kepada kondisi ketiduran, murobbi kami datang. Bungkusan yang dibawanya adalah fokus kami pertama kali. Dengan pura-pura malu, satu orang dari kami memohon izin untuk membukanya. Begitu dibuka, kami benar-benar kaget. Kali ini murobbi kami tidak membawa makanan, melainkan membawa sebungkus uang receh koin Rp. 500-an, dan selembar uang Rp. 100.000-an. 

"Teh, ini untuk belanja makanan ya Teh?" polosnya, satu dari kami berkomentar melihat hal itu.
Murobbi kami pun menjawab dengan senyumnya yang teduh,
"Bukan, itu untuk kita pelajari hari ini." 
"Lho, kita bukan mau bahas fikih atau semacamnya Teh? Kita mau bahas ekonomi ya?" Jawabku
"Bukan juga. Hari ini kita akan membahas sesuatu yang berhubungan dengan uang ini. Tapi, kita mulai dulu ya halaqoh kita...Silahkan yang bertugas jadi MC hari ini memulai..." Jawabnya

Halaqoh pun dimulai. Seperti biasa kami memulainya dengan basmalah lalu bergantian membaca alqur'an, hingga tiba saatnya giliran murobbi kami yang bercerita, mengungkapkan maksud kehadiran uang-uang tadi.

"Bagaimana pendapat kalian, kalau uang tadi ana tinggalkan di jalan. Uang mana yang lebih dulu akan diambil orang di jalan?" Tanya murobbi kami, memulai pembahasan.
"Ya yang seratus ribu dong Teh" Jawab kami kompak
"Bagaimana kalau ana lipat-lipat sampai kecil, lalu ana injak-injak sampai uang itu kotor, baru ana tinggalkan di jalan. Apa masih mau diambil?" Lanjutnya
"Iya dong Teh! Biar diinjak-injak 'kan masih laku kalau dibersihkan.." Jawab kami masih kompak
"Bagaimana kalau setelah ana injak-injak, ana lempar ke selokan. Masih mau diambil?" Lanjutnya 
Kali ini kami agak ribut. Sedikit berbeda pendapat karena ada yang jijik-an, tapi mayoritas dari kami masih mantap, "Kami siap ambil dan cuci, Teh!"
"Bagaimana kalau sesudah itu ana sobek uangnya jadi dua. Masih mau diambil?" Lanjutnya lagi
Mulai melemah kekompakan kami, tapi masih ada sebagian yang menjawab, "Kami carikan solatif untuk menyambungnya, Teh!"
"Bagaimana kalau sisa sobekannya ana bakar. Jadi hanya satu sobekan saja tersisa. Masih mau diambil?"
"Ya enggak dong, Teh! Buat apa? 'Kan sudah nggak bernilai...." Kami menjawab dengan kompak kembali.

Murobbi kami pun melanjutkan,
"Begitulah kita. Nilai diri kita menentukan seberapa berharga diri kita, dan seberapa akan disukainya kita oleh banyak orang, termasuk oleh Allah." 
"Uang tadi, kenapa kita lebih memilih mengambil uang seratus ribuan bisa dipahami, karena nilainya lebih berharga bagi kita. Sekalipun sudah kita lipat hingga kecil, bahkan diinjak-injak dan dilempar ke selokan, disobek hingga terputus, kita masih terus akan mengambilnya, karena kita tahu uang itu masih memiliki nilai. Apalagi nilainya memang tinggi. Namun, begitu uang itu disobek dan dihilangkan sobekannya, kita langsung mantap tidak mau lagi memungut uang itu. Sekalipun tadinya ia bernilai, tapi begitu sebagiannya hilang maka hilang juga nilainya, dan tidak lagi dipandang orang." Lanjutnya.

Penjelasan murobbi kami pun berlanjut, hingga kami larut di dalamnya. Memang benar. Hal yang membuat kami tetap mantap untuk memungut uang seratus ribuan itu adalah nilai yang dikandungnya. Padahal, jika ditimbang dengan bahan pembuatnya tentu uang koin berharga lebih daripada uang kertas. Namun, ketika kita belanjakan maka uang seratus ribuan itu lebih bernilai. Inilah yang disebut dengan nilai diri. Tampilan luar bisa jadi lebih berharga, seperti halnya uang koin itu. Namun, nilai instrinsiknya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan uang kertas seratus ribuan tadi. 

Dalam hidup, kita pun sering menemui kondisi-kondisi serupa. Nilai diri inilah yang akan menentukan seberapa berharga dan bermanfaat hidup kita bagi orang lain, serta seberapa berharga pula kita di mata Allah. Seperti halnya Bilal dan shahabat lain yang seolah tidak bernilai jika dilihat dari status sosialnya, tapi ternyata memiliki nilai diri yang lebih baik daripada bangsawan Quraisy yang sombong dan kafir. Ini pula yang menjadikan diri Bilal dan Shahabat lainnya lebih bernilai di mata Allah. Bukkankah kita ingin memperoleh hal yang sama dengan para Shahabat yang mulia itu?
***

Rangkaian halaqoh kami hari itu terus berlanjut. Tiba-tiba bunyi pukulan tongkat penjual bakso pada mangkuknya mengagetkan kami.
"Nah, sekarang coba belanjakan uang seratus ribuan ini menjadi bakso sebanyak jumlah kita...tolong yaa.." Kata murobbi kami
"Tapi gak perlu dilempar ke selokan dulu 'kan Teh? Hehehe..." Jawab ketua kelompok halaqoh kami yang langsung menyabet uang tadi.
Siang itu, kami pun tertawa lagi. Lupa dengan kondisi lelah, lapar dan lepek di awal tadi. (RD)

Posting Komentar

0 Komentar