Untuk memberikan payung hukum
terhadap lembaga yang memfasilitasi pesantren di Kota Bandung, Panitia
Khusus (Pansus) 8 DPRD Kota Bandung sedang membahas soal Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Raperda ini dibentuk agar
pesantren yang ada di Kota Bandung lebih mudah berkembang dan berkreasi
sehingga bisa menjadi tempat yang bermanfaat lebih bagi lingkungannya baik dari
segi ekonomi, sosial, budaya bahkan kehidupan beragama.
Pesantren di Indonesia |
Wakil Ketua Pansus 8 DPRD Kota Bandung, Susi Sulastri mengatakan, untuk menggali potensi pesantren, Pansus 8 akan melakukan survei ke beberapa pesantren di Kota Bandung, sehingga DPRD Kota Bandung pun bisa ikut membantu terutama dalam hal kebijakan hukum dan bantuan anggaran.
"Selama ini tidak benar jika
dikatakan pesantren di Kota Bandung tidak berkembang. Pesantren di Kota Bandung
justru mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari segi jumlah maupun
kualitas," ungkap Susi.
Dikatakannya, cukup banyak
pesantren di Kota Bandung yang telah beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di
antaranya menghadirkan fasilitas modern, dan kurikulum yang beragam, termasuk
pesantren yang berfokus pada pendidikan teknologi dan bahasa asing.
Bahkan, kata Susi, banyak juga
pesantren di Kota Bandung yang telah bertransformasi menjadi pesantren modern.
Pesantren seperti itu memadukan nilai-nilai agama dengan pendidikan umum
teknologi terkini dan juga mengasah bisnis UMKM anak-anak atau para santrinya.
Menurut Data Kementerian Agama
Kota Bandung hingga Mei 2024, di Kota Bandung terdapat 97 pondok pesantren
dengan jumlah santri sebanyak 15.085 orang, terdiri dari 8.608 santri mukim dan
6.477 santri nonmukim.
"Secara umum, pondok
pesantren di Kota Bandung menghadapi masalah yang berkaitan dengan kualitas dan
kuantitas sarana dan prasarana, ketersediaan pembiayaan, kualitas SDM,
kurikulum dan strategi pembelajaran, serta manajemen atau tata kelola pesantren,"
ujarnya.
Tidak hanya itu, ungkap Susi,
modal sosial pondok pesantren di Kota Bandung juga sangat rentan oleh
friksi/konflik antarpengurus dan/atau akibat ulah “oknum” ustaz yang melakukan
perbuatan melawan hukum.
"Secara eskternal, pondok
pesantren di Kota Bandung juga menghadapi permasalahan belum kuatnya ‘jejaring
kerja’ antarpondok pesantren dan pihak luar pesantren, adanya resistensi atau
stigma negatif ‘radikal’ akibat kasus-kasus yang dilakukan 'oknum’ pesantren,
termasuk masih adanya ‘misrekognisi’ kepada lulusan pondok pesantren,"
ujarnya.
Selama ini, ungkapnya, aspirasi
masyarakat terkait dukungan terhadap pesantren masih sulit diakomodasi karena
keterbatasan regulasi. Untuk hibah yang diberikan kepada pesantren pun terbatas
hanya pada nominal kecil, seperti Rp50 juta untuk operasional, dan maksimal
Rp250 juta untuk pembangunan.
Selebihnya, pesantren masih harus
mengandalkan swadaya masyarakat. Karena itulah, Raperda ini bisa menjadi
landasan hukum. Diharapkan dari APBD pun bisa lwbih membantu Pesantren dalam
kegiatannya.
Dikatakannya, terdapat kewajiban
pemerintah daerah di BAB V Fasilitas Penyelenggaraan Pesantren di Pasal 14 di
mana Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya
bertanggungjawab memfasilitasi penyelenggaraan pesantren di daerah.
"Jadi memang sudah menjadi
kewajiban pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kota Bandung memfasilitasi
semua penyelenggaraan pesantren di Kota Bandung. Dan pesantren mempunyai hak
untuk mendapatkan perhatian, pengayoman, dan suport anggaran dari Pemerintah
Kota Bandung," terangnya.
0 Komentar